Theodoric dan Edgar kompak meneguk ludah pahit, memandangi makhluk yang tubuhnya sudah terbelah menjadi dua itu perlahan bergerak saling menyambung menjadi satu. Bukan, tubuh satu orang saja tapi enam orang itu kini menyatu dan membuat tubuh mereka menjadi besar. Seperti monster dengan dua belas mata yang kini menunduk menatap dua pemuda yang sudah mendongak kaget.
“Ini bukan hanya monster penghisap darah, tapi juga penghancur kerajaan.” Kata Edgar dengan rahang mengeras.
“Apa maksudmu?” Tanya Theodoric tidak paham, memegangi tali ransel beratnya dengan erat. “Karena kalau satu atau dua tubuh saja mungkin bisa kita singkirkan sekarang, tapi mereka malah menyatukan tubuh mereka. Sulit bagi kita untuk membuat menghadapi monster seperti ini,” jelas Edgar kini memejamkan mata sekilas lalu perlahan membuka matanya membuat suhu di sekitar pemuda itu makin terasa dingin mencekam.
Theodoric yang bersamanya pun, refleks memeluk diri dengan lengan.
Edgar kini mengayunkan pedangnya, berusaha menyerang otak dari enam monster yang menyatu itu. Bukannya tersiksa akan kekuatan Edgar yang sosok itu hadirkan, monster itu malah makin membesar dan kuat. Seperti menyambut apa-apa yang Edgar lakukan.
Monster itu maju menyerunduk tubuh Edgar sampai pengawal pangeran mahkota itu terpental jauh dan membentur kasar pohon besar di belakang Theodoric yang masih berdiri membatu. Pemuda itu gemetaran dengan kelopak mata bergerak tidak tenang, apalagi monster itu makin mendekat padanya.
“Kkkkkkhhhhhh,” tangan monster sudah maju menarik belakang ransel Theodoric membuat pemuda itu tergantung di udara dengan ketakutan.
Theodoric makin panik saat enam mulut monster terbuka seakan sudah ingin melahapnya.
“Aku tidak akan mati di sini,” teriak Theodoric ketakutan, dengan berusaha menendang-nendang kepala monster yang ingin maju melahapnya. Namun, karena monster yang kini menjadi satu membuat mereka saling berebut dan menguntungkan Theodoric bisa punya kesempatan untuk hidup lebih lama.
Edgar yang baru terlempar ke belakang pohon, dengan cepat beranjak berdiri dan melompat maju kembali mengayunkan pedang tajam ke arah kepala-kepala monster itu. Tubuh para monster itu pun terbelah, Theodoric pun terjatuh kasar ke tanah. Tanpa menunggu lama, Edgar mengambil kesempatan dan menarik Theodoric pergi dari sana sebelum dihabisi oleh monster-monster penghisap darah.
“Itu makhluk apa?” Tanya Theodoric sambil berteriak disela larinya, Edgar tidak menanggapi hanya sesekali menoleh dengan memegang pedangnya siaga. “Kau yakin kita harus membunuh monster-monster itu? Ini bukan game di hape yang kalau mati bisa hidup lagi ya,” decak Theodoric ngos-ngosan, ekspresinya masih ketakutan membuat Edgar di sebelahnya yang berlari sejajar dengannya mengeraskan rahang saja.
“Astaga, ya tuhan.” Panik Theodoric makin mempercepat larinya saat monster-monster tadi masih menyerangnya dan makin terlihat agresif. “Ini … tidak ada cara lain untuk kabur?” Teriak Theodoric mulai kelelahan, menoleh pada Edgar yang menatapnya kesal.
“Harusnya pangeran yang ada di sini, bukan kau yang tidak berguna.” Lirih Edgar mendecak kasar, menarik belakang ransel Theodoric dan melesat secepat kilat membuat Theodoric merasa takjub.
“Woah! Keren!” Puji pemuda itu tanpa dosa mengacungkan jempol membuat Edgar yang memegangi ranselnya membuang muka ke samping, “sementara kita sembunyi di sini.” Kata Edgar kini memegangi batu besar di depan mereka.
Kini keduanya berada di atas gunung, sedangkan monster-monster tadi berkeliaran di bawah sana dengan linglung. Berjalan mondar-mandir tanpa tujuan, dengan bersuara yang terdengar menakutkan.
“Kenapa mereka bisa sampai seperti itu? Bukannya itu rakyat asli Eternal Ice?” Tanya Theodoric masih mengintip di balik batu, walau sesekali bergidik ketakutan saat hampir bertatapan mata dengan monster-monster sejenis zombie itu.
“Ini sih namanya zombie,”
“Zombie?” Theodoric mengangguk membenarkan, duduk bersilah membelakangi batu dan menoleh ke samping Edgar yang masih bersiaga. “Hm, benar. Di film yang aku tonton sih begitu, zombie itu haus akan darah manusia. Saat zombie menggigit manusia, maka manusia yang digigitnya akan menjadi zombie.” Jelas Theodoric yakin, Edgar menaikan alis tinggi merasa tidak yakin dengan apa yang pemuda di sampingnya itu jelaskan. “Terus bagaimana cara membunuh mereka?” Theodoric terdiam beberapa saat.
“Senjata api, tembak kepala atau tebas lehernya biar dia benar-benar mati.”
“Bukannya tadi aku sudah menebas leher mereka? Tapi, kau lihat sendiri kan, mereka malah menyatukan diri dan berubah menjadi monster aneh?” Balas Edgar mematahkan teori Theodoric yang tidak mendasar. “Benar juga,” gumam Theodoric jadi merenung.
“Senjata api yang kau bilang, bagaimana cara mendapatkannya?” Edgar kembali bertanya dengan ekspresi serius, “tentu saja di tempat kemiliteran atau kepolisian.” Edgar mengeryitkan dahi merasa bingung dengan istilah-istilah asing yang manusia itu katakan.
“Susah juga ya jelasinnya,” decak Theodoric jadi mendelik samar.
“Kau bisa kan jaga di sini?”
“Heh! Mau kemana sendirian, mau jadiin aku tumbal di sini?” Bisik Theodoric ingin berteriak namun menahan diri takut para monster mendengar suaranya, “aku akan memblokir tempat masuk di sini. Biar tidak ada siapa pun yang masuk ke tempat ini dan menjadi korban,” jelas Edgar mengerjapkan mata dingin. “Kau jaga dulu, jangan sampai mereka melewati tempat ini. Sekali pun, kau harus mati … kau harus menghalangi mereka dengan darahmu.” Lanjut Edgar pedas, berbalik pergi meninggalkan Theodoric yang mati kutu karena ucapannya.
Theodoric memandangi punggung Edgar yang mulai menghilang di balik turunan gunung. Jalanan yang menuju ke desa Haba, pergi ke sana untuk memblokir jalan entah dengan cara apa.
Setelah beberapa lama, Edgar pergi. Theodoric gelisah sendiri, ia bergerak melepas ransel di belakang punggung. Kemudian mengintip lagi keberadaan para monster yang masih bolak-balik dengan kepala yang bergerak ke kiri dan kana, seperti mencari sesuatu.
“Ini beneran zombie, tapi emang zombie di film darahnya hijau?” Gumam pemuda itu kebingungan sendiri, “aku datang ke sini buat bertahan hidup ceritanya. Eh, malah ketemu monster,” decaknya kesal, “emang sialan sih, Yatara. Dia enak sembunyi dalam tubuh aku, sedangkan aku … harus ketakutan setengah mati menghadapi monster.” Gerutu Theodoric berbisik, mengacak rambut gondrongnya frustasi.
Pemuda itu pun, mengerjap-ngerjapkan matanya melihat sosok mungil melangkah di bawah sana dengan obor di tangan sebagai penerang. Theodoric menoleh kanan-kiri, memastikan kalau jalan orang-orang Eternal hanya di tempatnya duduk bersembunyi saat ini.
Tapi, ternyata pemuda itu salah. Ada jalan lain yang menghubungi hutan dan juga jalan menuju desa Haba.
Theodoric melebarkan mata kaget, kini mengenali sosok yang berjalan di bawah sana. Anak kecil yang pernah ia singgahi rumahnya, dan membatu membawakannya air sungai.
“Aidan?”
Pemuda itu pun makin melebarkan mata kaget, saat melihat Aidan yang terhenti di depan salah satu monster yang kini perlahan menolehkan kepala.
Entah apa yang terjadi, Theodoric sudah melesat maju dan kini berdiri membelakangi Aidan yang nampak karena kemunculannya yang tiba-tiba.
Para monster yang menyadari kehadirannya membuat pemuda itu menajamkan pandangannya. Iris mata cokelatnya perlahan berubah menjadi iris bola api dengan kedua tangannya yang terbuka lebar membuat dua pedang tajam muncul dan langsung ia genggam dengan erat.
“Kkkkkhhhh,” para monster makin mendekat dan maju menyerangnya, namun tangan Theodoric lebih dulu mengayunkan dua pedangnya sekaligus, menembus jantung dua monster yang berada di depannya.
Theodoric tidak berhenti di situ, makin mendorong pedangnya sampai menembus monster di belakang yang sudah ingin maju menggigitnya. Namun, pemuda itu lebih dulu menembuskan ujung pedangnya pada jantung mereka yang kini langsung tergeletak di tanah. Pemuda itu membuka kepalan tangannya yang memegang pedang, sontak pedang tajam itu langsung lenyap begitu saja. Digantikan dengan kobaran api yang kini ia arahkan pada monster di depannya.
Sisa monster yang ada langsung terbakar hangus dan menjadi abu, begitu pun dengan monster-monster tadi yang ia hunuskan pedanganya pada jantung-jantung mereka.
Theodoric menolehkan kepala, iris mata bola apinya kini berkobar dan menatap Aidan tajam. Pemuda itu perlahan mendekat, mengayunkan pedangnya pada anak kecil itu seakan menganggap Aidan adalah salah satu dari monster yang telah lenyap.
**
Edgar melesat cepat ke arah jalan yang menghubungkan desa haba dan hutan yang mereka masuki. Ia menajamkan pandangannya, berusaha memfokuskan pikiran agar bisa segera memblokir jalan dengan kekuatan yang ia miliki.
Pemuda itu mulai memejamkan mata, menjulurkan tangan kanan ke depan udara. Sebuah teriakan terdengar memekikan telinga membuat Edgar menurunkan tangan. Fokusnya terpecahkan. Teriakan satu orang itu pun perlahan disambut oleh teriakan lain dari banyak orang.
Edgar mengerjap-ngerjapkan matanya dengan berjalan mendekat berusaha mencari arah sumber teriakan. Ia mengernyitkan dahinya melihat ada asap yang mengepul di depan sana, matanya perlahan melebar sempurna melihat asap tadi ternyata berasal dari kobaran api.
Langkah kaki lambat saat melihat ada anak kecil terkapar di pinggir jalan, Edgar dengan cepat menghampiri dan merebahkan kepala anak itu pada pahanya.
“Anna?” Ujar Edgar menepuk-nepuk pelan pipi anak perempuan yang bersimpah darah, ada bekas gigitan pada beberapa bagian tubuhnya. “Anna, bangun.” Kata pemuda itu lagi menggigit rahang kuat, dengan matanya yang penuh dengan amarah kini.
Edgar berdiri, merebahkan tubuh Anna pada tanah yang masih ada bekas darahnya di sana. Ia pun, mengedarkan pandangannya ke sekitar, orang-orang di desa haba kini berserakan di tanah. Berserakan di depan-depan rumah mereka, seperti daun kering yang tidak ada habisnya.
Entah apa yang sudah terjadi di desa asalnya, Edgar merasa ada yang aneh dengan serangan yang terjadi. Kalau memang monster-monster yang datang menyerang, pastinya mereka akan kembali hidup dan menyerang orang-orang lain yang masih hidup. Bukan terkapar kaku menjadi mayat.
Edgar mengepalkan kedua tangan, melihat orang-orang kini berlari berhamburan dengan teriakan ketakutan yang memilukan. Para monster itu pun terlihat dan menyerang satu-persatu yang berhasil mereka kejar. Tanpa berpikir panjang, Edgar mengayunkan pedangnya menyerang monster mana pun yang menghalangi pandangannya.
Tebasan, hunusan, dan hempasan pedang Edgar membuat para monster yang sudah tidak terhitung jumlahnya itu terkapar di tanah. Beberapa ada yang tidak bangun lagi dan beberapa bangun lagi dan menjadi monster seperti tadi. Mencari inang tekuat, lalu menyatukan diri agar makin tidak bisa terkalahkan.
Edgar tidak paham dengan apa yang menimpa desa Haba sekarang. Bukan, bukan hanya desa Haba tapi juga semua bangsa Eternal Ice pasti akan kena imbasnya.
Ia berusaha menyelamatkan beberapa orang yang masih bisa diselamatkan. Ada juga beberapa orang di desa Haba yang mengangkat senjata membantu menyerang monster yang datang merusak ketenangan dan kenyamana hidup mereka di desa.
“Apa yang terjadi?” Tanya Edgar pada salah satu kenalannya yang kini bersembunyi dengannya di balik gubuk, “monster-monster itu tiba-tiba datang menyerang orang-orang yang sedang berkumpul, membicarakan raja baru yang menerima tahta di kerajaan.” Jelas laki-laki itu dengan napas ngos-ngosan, mukanya ada beberapa bercak darah di sana.
“Kau bisa kan bawa pergi orang-orang yang selamat, aku akan mencoba menahan para monster itu di sini.” Kata Edgar membagi tugas, “monster itu tidak bisa kau lawan. Bahkan, kekuatan seorang raja pun tidak akan bisa menghentikan serangan ini. Kita semua, akan mati sekarang.”
Edgar tidak menanggapi, bukannya tidak mempercayai apa yang laki-laki itu katakan. Hanya saja, ia tidak bisa menyerah begitu saja. Apalagi membiarkan para monster itu memporak-porandakan tempat tinggalnya.
Pemuda itu masih sibuk menyerang sana-sini, dengan sesekali mengeraskan rahang merasa geram. Karena monster-monster itu masih saja berkeliaran tanpa henti, maju menyerang dan melukainya. Tapi, sebelum itu terjadi—Edgar menghalangi mereka dengan pedang tajamnya. Pedang yang bisa menebas apapun, sekalipun tulang keras para monster yang haus akan darah itu.
Edgar menghentikan serangannya, menurunkan pedang saat melihat sebuah cahaya keunguan terbuka kini membuka portal menuju tempat manusia berada. Ia melebarkan mata kaget, menyadari kalau yang biasa melakukan itu adalah sang pangeran—Yatara. Dengan cepat, ia mendekati tempat portal berasal. Jauh di depan sana, berkilo-kilo meter dari desanya berada.
Dengan menggunakan sisa-sisa kekuatannya, Edgar melesat cepat bagai kilat. Menuju tempat portal terbuka, ia menghentikan langkahnya melihat sosok berjubah merah maroon di depan sana kini berdiri dengan memandangi cahaya keunguan yang berputar-putar di depannya membentuk seperti lingkaran yang bergerak-gerak meliuk di udara.
Setelah itu, sosok yang tidak lain adalah Virga itu menyeret salah satu orang ke depan cahaya membuat para monster datang berkerumunan dan menyerang pancingan yang sengaja Virga buat.
“Kalian semua, pergilah ke tempat manusia berada.” Katanya mendorong para monster keluar dengan kekuatannya. “Aku baru beberapa hari menjadi raja, jadi … jangan mengacaukan tujuan dan rencana aku selama ini.” Sambungnya kemudian perlahan menghilangkan cahaya keunguan di udara.
Edgar yang melihat itu jadi tersentak kecil, baru sadar kalau meninggalkan Theodoric di dalam hutan sendirian. Ia merasa makin kebingungan kini, antara harus kembali ke Theodoric atau menghentikan Virga yang berbuat seenaknya sampai mengirim para monster ke dunia manusia.