Semua orang di dalam ruangan yang sudah gelap itu saling merapatkan diri masing-masing. Apalagi saat mereka merasa para monster di koridor sekolah kembali terdengar agresif seakan sedang mengejar seseorang.
Galang yang kini berada di samping pintu masuk, berusaha menyipitkan mata mengintai keadaan luar. Karena suara-suara menakutkan itu makin kuat dan membuat bulu kuduk meremang dengan sendirinya. “Sepertinya memang ada seseorang di luar sana,”
Galang mengatakan kalimat itu sembari memandangi lima orang yang bersamanya di dalam ruangan yang mulai terasa pengap itu. “Apa salah satu anggota militer juga? Emangnya ada anggota militer yang mungkin saja masih selamat selain bapak bertiga?” Tanya Jesya sontak menoleh pada Tristan, Deon dan juga Allen yang mengedikan saja bahu tidak tahu.
“Ya, mungkin benar. Karena ada regu tiga yang belum masuk . Bisa saja bantuan datang untuk menyelamatkan kita semua.” Sahut Deon meneguk ludah kasar, tubuh pemuda itu masih gemetaran takut. “Yakin, kalau beneran tim kalian?” Tanya Elma lagi merasa ragu, “seharusnya terdengar suara tembakan kalau memang yang datang adalah anggota kalian. Tadi, hanya dua kali atau tiga kali yang terdengar,” gumam Jesya menggigit bibir bawahnya, penasaran ingin tahu siapa yang datang dengan sia-sia itu.
“Bisa saja itu memang anggota tim kami, mungkin juga mereka tidak bisa mendapat kesempatan untuk menembak … karena monster-monster di depan sana, begitu agresif. Sama sekali tidak memberi kita napas sejenak, saat pertama kali menginjakan kaki di dalam area sekolah.” Ujar Allen dengan mengeraskan rahang kuat.
“Padahal kalian orang-orang terlatih, tapi menghadapi monster saja kalian tidak bisa.” Sahut Elma tanpa beban membuat alis Tristan mengernyit saling bertautan. “Justru karena mereka monster kami tidak bisa. Kau kira mereka bisa mati saat aku dan anggota lain menembak mereka sekali, dua kali atau pun beberapa kali?” Tukas Tristan merasa tersinggung karena diremehkan. “Saat kena tembakan, mereka tidak tumbang. Mereka malah kembali bangkit seperti terlahir kembali dan menjadi kuat.” Lanjut pemuda itu menatap Elma tajam. “Kau kalau tidak tahu, lebih baik diam saja. Daripada mengatakan sesuatu hal yang membuatmu terlihat bodoh.” Elma mendecak kasar, ingin maju mengamuk. Namun, lengannya lebih dulu ditahan oleh Jesya yang berada tepat di sampingnya.
“Kalau senjata api saja mereka tidak bisa mati. Lalu, harus dengan cara apa?” Ujar Jesya dengan tatapan lurusnya mengarah pada Allen yang menggelengkan kepala tidak tahu, “entahlah, ada juga yang ditembak tumbang tidak bangun-bangun.” Kata pemuda itu bergumam lirih membuat Jesya makin mengernyitkan dahi merasa bingung. “Kalian semua tahu kan, di dalam film … zombie akan mati kalau ditembak kepala yang akan langsung mengenai otaknya, kan? Bisa saja yang tumbang itu yang terkena tembakan di bagian kepala.” Kata Jesya berspekulasi.
“Kita harus membuktikan itu, biar kita bisa mempraktekannya ke depan.” Kata gadis itu lagi mengangguk-nganggukan kepala yakin. “Jadi, kau beneran ingin keluar sekarang … mengambil senjata di luar sana untuk membuktikan apa yang kau katakan itu benar atau tidak?” Sahut Elma tidak habis pikir.
“Hm, kita harus mengambil resiko kalau mau tetap bertahan hidup.” Kata Jesya beranjak berdiri, melangkah mendekat ke arah jendela berusaha melihat keadaan di depan sana.
Jesya memicingkan mata, menatap ke arah parkiran sekolah yang dimana monster-monster itu masih berkeliaran. Tidak— lebih tepatnya tengah menyerang beberapa orang yang membuat pupil matanya melebar sempurna.
“Kalian coba lihat ke tempat parkiran sekolah,” ujarnya menoleh sesaat pada semua orang yang sedang bersamanya. Sontak, Galang, Elma, Tristan, Deon dan juga Allen langsung merapat dan mengikuti arah pandang Jesya. “Apa cuma aku saja yang melihat, kalau mereka memakai sebuah pedang?” Tanya Jesya lagi, memicingkan mata memandangi mata pedang yang seakan memantulkan cahaya bulan di atas langit.
“Walau di depan sana, minim cahaya … tapi setidaknya kalian bisa melihat kan pakaian mereka?” Jesya kembali melontarkan pertanyaan membuat teman-temannya menganggukan kepala membenarkan. “Emangnya jaman sekarang, masih ada yang memakai pakaian seperti itu?” Allen mendengarkan perkataan Jesya, tanpa sadar mengangguk membenarkan.
Galang yang berdiri di samping pintu mengambil kesempatan, langsung mendorong pintu keluar membuat orang-orang yang bersamanya melotot kaget.
“Kau, mau kemana?” Tanya Jesya refleks, namun Galang sama sekali tidak menjawab. Pemuda itu dengan tanpa dosanya langsung menutup kembali pintu dan berlari ke koridor menuju parkiran sekolah. Yang dimana sedang ada kerubunan monster di sana yang sedang berusaha dikalahkan oleh orang-orang yang tidak dikenal itu.
Jesya dan semua orang yang berada di dalam ruangan menahan napas memperhatikan Galang yang kembali berbelok ke arah lapangan sekolah. Pemuda itu segera memungut beberapa senjata api yang berserakan di sana. Senjata para anggota militer yang sudah gugur.
Galang menyampirkan tali senjata api pada bahu, ia mengambil sebanyak yang ia temukan di sana. Pemuda itu menegakan tubuh, merasa merinding saat mendengar suara-suara menakutkan mendekat padanya. Ia segera mengotak-ngatik senjata apinya, karena tidak bisa menggunakannya. Galang jadi mendecak kasar, ingin menghajar para monster yang jadi berbalik padanya dengan senjata.
Pemuda itu mengayunkan ujung senjata api beberapa kali pada monster yang ingin mendekat membuat ujung senjata kini ada bekas darah di sana. Galang kembali mendecak, merasa frustasi karena tidak bisa menaklukan para monster yang kini sudah meindihnya di lapangan.
Jesya melebarkan mata melihat itu, tanpa pikir panjang ingin langsung berlari ke pintu. Namun, Allen menahan lengannya agar tidak nekat melakukan hal-hal yang membahayakan.
“Kau bisa mati, kalau nekat keluar sekarang.” Kata Allen mengingatkan membuat Jesya menatapnya tajam, “yang lebih menyebalkannya lagi adalah … mati adalah salah satu pilihan yang bagus sekarang. Tapi, kalau kau nekat keluar sekarang … bisa saja kau menjadi salah satu dari mereka yang haus akan darah manusia.” Kata Allen berusaha menyadarkan Jesya yang tidak sadar dalam beberapa saat.
“Guys, coba lihat di depan sana? Di lapangan, Galang … kenapa begitu?” Ucapan ambigu Elma membuat semua kembali menoleh, menyadari ada sesuatu hal yang aneh yang terjadi di depan mereka.
Galang yang ditindih oleh banyak monster tadi, kini beranjak berdiri dengan santainya. Tanpa luka sedikit pun yang membuat semua orang yang melihatnya mengernyitkan dahi bingung. Bukan, hanya itu— Galang sekarang sedang tidak sendirian. Tapi, ada sosok jangkung dengan hoodie putihnya berdiri di depan pemuda itu. Menjadi tameng untuk Galang dari monster yang maju menyerang.
Yang membuat Elma dan orang-orang di dalam ruangan merasa aneh adalah bukan karena Galang berhasil berdiri dan bertahan hidup. Tapi, munculnya sosok asing itu yang perasaan tadi tidak ada di sana. Entah bagaimana sosok itu muncul secepat kilat dan kini memperlihatkan sesuatu hal ajaib yang bahkan tidak bisa mereka percayai apa yang sedang mereka lihat sekarang.
Pemuda yang berada di depan Galang, kini menjulurkan kedua tangannya membuat dua pedang muncul dalam kedua tangannya. Bukan hanya itu, pedang tersebut sesaat menyala seperti kobaran api membuat tempat sekitar jadi terang. Bahkan, mereka semua melihat dengan jelas wajah sosok yang kini menatap tidak bersahabat ke depan para monster yang refleks melangkah mundur. Juga menampakan ekspresi seperti ketakutan.
Mereka semua menahan napas saat sosok itu mengibaskan kedua pedangnya dengan menyilang, membuat darah terciprat kuat dan merembes pada lapangan. Banyak yang tumbang tanpa kepala, dan monster yang kehilangan kepalanya itu tidak bisa bangkit lagi. Benar-benar mati tanpa kepala.