Theodoric berdiri menganga di depan tembok tinggi di hadapannya, kemudian ia menoleh kesal pada Edmund dan Harold yang datang menunjukan jalan pintas untuk mereka masuk ke dalam sekolah Bhinneka.
“Kalian serius, kalau jalan pintasnya harus naik tembok tinggi ini?” Tanyanya dengan mencuatkan bibir kesa, “benar pangeran, ini satu-satunya jalan agar bisa masuk ke dalam sana.” Sahut Edmund lebih dulu kembali memanggil Theodoric dengan sebutan pangeran.
“Kalian itu kenapa selalu panggil aku pangeran sih, aku kan bukan Yatara.” Decak Theodoric merasa frustasi.
“Karena Pangeran Yatara ada di dalam tubuh anda, jadi saya harus memanggil dengan sebu—“
“Caranya langsung manjat saja, kan? Atau ada cara yang lebih efektif?” Potong Edgar tanpa beban, kini melangkah maju membuat Theodoric yang sedang mendengarkan alasan Edmund dan Harold jadi mendesah kecewa. “Bocah ini emang paling bisa bikin orang emosi, kayak bocah prik.” Edgar yang mendengar gerutuan Theodoric hanya mengernyitkan dahi tidak paham, lagipula pemuda itu tidak terlalu mau menanggapi semua drama manusia itu.
“Ini kita semua beneran harus manjat tembok setinggi ini, tanpa tangga atau apa begitu? Siapapun tidak akan bi— wow?!” Theodoric langsung takjun melihat Edgar yang mengambil ancang-ancang mundur ke belakang kemudian melesat naik ke tembok dan kini tidak terlihat karena sudah masuk.
“Pangeran mau masuk duluan?” Tanya Harold menoleh dengan tersenyum masam, “kalian berdua saja, bintang utama harus muncul paling terakhir dong.” Katanya membusungkan d**a bangga, entah untuk apa.
“Baiklah,” Edmund dan Harold melesat seperti Edgar tadi. Tangan mereka seakan ada perangko yang bisa membantu tangan mereka menempel pada tembok, jadi tidak gampang terjatuh. “Keren banget, nilai plusnya orang-orang dari kerajaan Eternal itu begini … bisa melesat cepat dengan ringan.” Gumam Theodoric mengangguk-nganggukan kepala mengerti.
“Buset, giliran aku dong.” Ujarnya menghela napas samar, melangkah mundur beberapa langkah lalu hendak melompat meraih tembok di depannya. Nahasnya pemuda itu malah tersandung kakinya sendiri, alhasil wajahnya menubruk kasar tembok di depannya. “Astaga, muka tampan aku … sakit banget anj—“ belum sempat ia mengumpat kasar, Theodoric mendadak terdiam sendiri. Kemudian berdiri dengan iris matanya yang berubah kini—iri mata merah apinya yang seperti berkobar. Pemuda itu seperti mengaktifkan mode berubah, dan melesat masuk dengan menyentuh tembok di hadapannya. Menembusnya begitu saja dengan mudah.
Edgar, Edmund dan Harold mengerjapkan mata kaget melihat pemuda itu yang menembus tembok dan kini menatap mereka tajam seperti tatapan khas Yatara yang biasa mereka lihat.
“Pangeran Yatara,” gumam Edmund refleks dengan meneguk ludah takut, mereka semua masih shock dengan apa yang mereka lihat sekarang. Karena apa yang terjadi seperti sesuatu yang akan Pangeran Yatara lakukan tapi bedanya saat ini dengan tubuh Theodoric. Itu yang membuat mereka masih merasa takjub dan juga bingung dalam bersamaan.
“Apapun yang terjadi, jangan biarkan Theodoric tergigit oleh monster di depan sana.” Pesan sosok yang tidak lain adalah Yatara itu, masih dengan tubuh Theodoric. “Kalau sampai dia tergigit, bukan monster yang harus kalian hindari tapi … anak ini.” Lanjut Yatara membuat tiga orang di depannya mengernyitkan dahi tidak paham.
“Apa maksud pangeran? Kenapa Theodoric harus dihindari?”
“Uhuk … uhuk, eh?” Edgar menaikan alisnya tinggi, mengamati perubahan iris mata Theodoric bagai slow motion. Kini sosok di depan mereka adalah Theodoric yang asli. Karena gerak-geriknya yang membuat kepala geleng-geleng. “Loh, kok aku bisa ada di dalam sini?” Tanya Theodoric bingung membuat Edgar melengos saja.
Keempat orang itu mendadak bungkam saat merasakan getaran kuat pada tanah yang mereka pijaki. Awalnya mereka mengira ada gempa bumi, namun mereka baru sadar setelah mendengar suara menyeramkan dari monster-monster yang mendekat ke arah mereka.
“Pastikan Theodoric tidak tergigit,” pesan Edgar kini mengeluarkan pedangnya, melangkah maju lebih dulu dengan Edmund yang berdiri di sisi kanan Theodoric. Dan Harold di sisi belakang, mereka menjaga ketat Theodoric seperti apa yang Yatara katakan. Sebisa mungkin mereka tidak akan membiarkan manusia itu tergigit dan entah alasannya apa— masih menjadi tanda tanya.
Theodoric kembali panik saat melihat monster-monster kini berkerumunan mengejar mereka yang berlari ke arah koridor kelas dan berbelok ke arah parkiran. Perhatian Theodoric teralihkan pada bercak-bercak darah dan korban berjatuhan di lapangan sekolah. Koridor, di taman, di jendela kelas— ada banyak korban yang mati mengenaskan dengan seragam sekolah mereka yang masih mereka kenakan.
Pemuda itu mengernyitkan dahi saat melihat beberapa dari korban ada yang memakai seragam militer. Ia tidak mengerti kenapa ada banyak anggota milter yang mati di sana. Theodoric tersentak kecil saat melihat salah satu anggota kini bersembunyi di balik pilar dengan ekspresi mengerasnya. Ia pun, langsung mengajak Edgar, Edmund dan Halord yang sedari tadi berusaha melawan beberapa monster yang mengejar mereka.
Edgar memicingkan mata, perlahan menurunkan pedang di tangan saat melihat sebuah cahaya merah yang kini menutup mereka semua di sana seakan melindungi. Edgar tahu betul, kalau salah satu kekuatan itu milik sang pangeran. Entah Theodoric sadar atau tidak, yang pasti Yatara selalu melindungi tubuh Theodoric yang kini menjadi tempat persembunyiannya.
Salah satu anggota militer yang duduk bersembunyi itu nampak kaget melihat kemunculan mereka berempat. Theodoric tanpa pikir panjang langsung duduk di sampingnya dengan menatap pemuda itu lurus. “Apa presiden sudah tahu tentang monster-monster ini?”
“Iya, benar.” Balas sosok di sampingnya yang masih menatapnya tidak bersahabat.
“Jadi, presiden menyuruh kalian datang kemari untuk membantu murid-murid Bhinneka?” Tanya Theodoric kembali bertanya, “tidak, kami datang hanya untuk memusnahkan semua yang ada di dalam sini. Tidak peduli mereka ada seorang murid atau pun guru. Kalau tergigit, mereka adalah monster.” Jelas pemuda itu lagi dengan suara beratnya.
“Terus ngapain kalian datang kemari kalau tidak bisa membantu?” Decak Theodoric menggelengkan kepala heran, “kami hanya melaksanakan perintah dari atas.” Theodoric refleks memutar mata jengah, mendelik kuat memandangi anggota militer di depannya.
Ia kemudian, menyuruh Edgar maju saja untuk menyingkirkan beberapa monster di depan mereka yang kembali muncul. Theodoric baru sadar, akan satu hal. Padahal setahunya, monster atau pun zombie itu bisa datang menyerang mereka hanya karena mencium bau darah mereka. Dan anehnya, saat berada di belakang sekolah tadi monster-monster itu datang beberapa menit kemudian. Walau tidak bertahan lama, tapi seakan para monster tidak menyadari kehadiran mereka dalam beberapa saat. Seperti saat mereka berada di tempat parkir ini, monster-monster itu sama sekali tidak maju menyerang. Namun, mereka melangkah mundur namun beberapa saat kemudian muncul lagi dengan agresif.
Theodoric tidak paham sebenarnya apa yang terjadi, namun ia sangat yakin ada yang sedang tidak beres. Karena hari sudah mulai gelap membuat keadaan sekitar tidak lagi terlihat seperti sekolah. Darah ada dimana-mana, banyak korban berjatuhan. Daripada disebut sebagai sekolah, tempat mereka datangi itu lebih terlihat seperti tempat perang.
Edgar sibuk mengayunkan pedangnya ke sana-sini, menyerang balik monster-monster di depannya. Theodoric tidak sengaja menoleh ke samping, ia bisa melihat bagaimana kagetnya anggota militer yang bersamanya.
Edmund dan Harold maju membantu Edgar, langkah mereka membuat suhu di sekitar mendadak dingin. “Kalian sebenarnya siapa?” Pertanyaan orang di sampingnya membuat Theodoric tersentak kaget, apalagi melihat tatapan sosok itu yang penuh harap menunggu jawabannya. “Dijelasin pun, kau tidak percaya.” Decak Theodoric, menepis pelan tangan anggota militer itu dari lengannya.
“Kau seharusnya menjelaskannya terlebih dahulu, percaya atau tidaknya itu urusan nanti.” Theodoric sontak menaikan alis kirinya tinggi, agak ragu mendengar penuturan sosok baru yang ia temui di saat genting itu. “Mereka bertiga berasal dari kerajaan yang bernama kerajaan Eternal Ice,” jeda Theodoric dengan tatapan yakinnya. “Kerajaan yang sebenarnya, bukan kerajaan seperti di negara-negara tetangga … tapi benar-benar kerajaan. Ada raja, pangeran, ratu, prajurit dan juga sesuatu hal magic yang tidak bisa dipercaya.” Lanjut Theodoric jadi tersentak sendiri karena menjelaskan semuanya pada orang asing yang nampak diam mendengar penjelasannya.
Sibuk mengobrol dan tidak memperhatikan keadaan sekitar, Theodoric dan anggota militer itu sampai tidak sadar ada salah satu monster yang datang dari arah belakang pemuda di depan Theodoric. Maju dan hendak menggigit pemuda itu membuat Theodoric melesat maju dengan tidak sengaja menindih tubuh anggota militer itu. Tangan kanannya sudah memegang pedang bola apinya yang entah muncul dari mana dan kini berada tepat menusuk pada otak monster di depannya.
Sosok anggota militer yang tidak lain adalah Rendy itu nampak kaget dengan mata melebar sempurna. Apalagi saat ia melihat Theodoric yang melesat maju dan mengeluarkan pedang dari tangannya. Yang lebih mengagetkan lagi adalah saat iris mata pemuda itu yang kini berkobar seperti api. Berbeda dari yang lain.