Desember jadi awal mula musim dingin, suasana kota jadi terlihat berbeda karena salju yang turun membuat seluruh kota ditutupi tumpukan berwarna putih. Mulai dari atap-atap, pohon, pagar, mobil-mobil yang terparkir bahkan danau akan membeku dan jalan-jalan jadi licin membuat setiap orang harus lebih hati-hati. Akan ada rutin mobil pembersih khusus salju yang lewat agar jalanan bebas dari tumpukan salju. Orang-orang akan memakai baju hangat, penutup kepala atau segan melepas sarung tangan dapat menghalau dingin yang begitu membekukan tubuh.
Setiap jalanan yang aku lalui dihiasi dengan lampu-lampu gemerlap cantik. Banyak Event dilaksanakan, mulai dari pasar-pasar akhir tahun, konser musik hingga pertunjukan siklus gratis di sudut kota.
Malam ini, di hari libur yang panjang aku sendirian datang ke Amsterdam Light Festival. Ada kegiatan lain juga mencuri keinginanku, bermain ice skating di ice rink yang ada di Leidseplein Square atau Museumple. Aku bisa lakukan besok.
Untuk malam ini cukup lihat cahaya-cahaya yang mengikuti bentuk hasil karya seniman lokal maupun internasional jadi pertunjukan sulit dilewati setiap tahunnya. Banyak bentuk, yang paling menyitaku adalah bentuk dandelion memanjakan mata dan melihatnya pasti ingin ambil foto tersebut sebagai kenangan.
Sambil menyaksikan cahaya-cahaya indah itu, aku duduk di salah satu kafe pinggir kanal. Segelas cokelat panas dan Poffertjes, makanan yang lebih mirip seperti american pancakes. Teksturnya ringan dan kenyal, disajikan dengan taburan gula dan buah-buahan beri yang segar.
Aku menikmati kesendirian ini dengan baik, sampai ponsel yang aku letakan di atas meja berdering. Menarik perhatian.
Abbas.
“Kamu dimana Anna?” tanyanya begitu aku jawab.
“Keizersgracht.” Aku menyebut lokasi kanalnya lalu menyebut nama kafe.
“Anna, sebaiknya kamu pulang.”
“Kenapa?”
“Malam ini akan ada badai salju, jalanan dan transportasi pasti banyak yang ditutup.” Beritahu Abbas.
Aku menegakkan punggung, bodohnya tidak memastikan sebelum pergi. Pantas sejak tadi angin dan hujan salju tidak berhenti. Kafe yang aku tempati terbilang sepi, dari biasanya. Orang-orang pasti sudah tahu akan ada badai salju, memilih tetap di rumah.
“Aku akan segera pulang. Terima kasih, Abbas.”
“Ya, hati-hati.” Abbas menutup telepon, aku langsung menyesap sisa coklat dan menyuap buah beri terakhir. Bergegas pulang, sebelum aku terjebak badai salju.
Sekitar dua puluh menit aku bisa bernapas lega melihat bangunan yang aku tempati. Angin kian bertiup kencang, intensitas salju yang turun semakin deras. Aku langsung masuk, begitu sampai di tempat tinggalku, menghidupkan penghangat ruangan dan melepas sarung tangan.
Hangat, aku memandang ruangan dan menghela napas.
“Syukurlah Abbas menelepon, bisa-bisa aku tidak pulang dan terjebak badai salju.” Aku melangkah ke kamar, melepas mantel tebal dan berganti pakaian untuk di rumah tetap memakai baju hangat dan panjang.
Baru aku akan berbaring dan menarik selimut untuk membuat tubuhku hangat, ketika suara bel pintu terdengar. Aku mengerutkan kening sambil bergegas untuk membuka pintu.
Sebelumnya aku pastikan tamu tersebut melalui layar monitor kecil yang terhubung dengan kamera CCTV di sudut pintu. Aku kembali mengernyit tidak kenal, meski ragu kutetap membuka pintu dan ternyata dia hanya kurir yang mengantar makanan dan minuman hangat.
Aku merasa tidak memesannya, tapi itu benar atas namaku. Begitu kembali menutup pintu, aku membawa bungkus makanan di ruang tengah. Kuletakan diatas meja, dan mataku membulat sempurna melihat nama kafe yang sama kutempati tadi.
Sunflower Kafe.
“Ada kartu ucapan?” gumamku menemukan kertas kecil berwarna putih di dalamnya.
Good night, Aleanna Zetta.
Aku langsung terkesiap, siapa saja yang mengirimkan makanan ini tahu nama lengkapku "bagaimana bisa? Siapa pengirim ini dan tahu nama lengkapku?!"
Drrtttt! Drrrrttt!
“Astaga!” Terlalu fokus membaca tulisan yang terasa familier itu, membuat aku sampai terlonjak hanya karena suara dering ponsel. Aku menarik ponsel itu, Papa.
Aku menarik napas dalam, tersenyum dan meletakan kartu ucapan kembali ke tempatnya “ya, Pa?”
“Ini aku, Michelle” bukan Papa yang menelepon melainkan sepupu perempuanku, Michelle.
“Miche? Bagaimana kamu bisa telepon dengan nomor Papaku?”
“Paman Ehshan yang memberi ijin.” Artinya Papa tahu Michelle sedang menelepon aku.
“Papa baik-baik saja, kan?” aku langsung tidak bisa berhenti berpikir aneh-aneh. Takut terjadi sesuatu pada Papa.
“Orang tua mana yang akan baik-baik saja jauh dari anaknya? Anna, kapan kamu akan kembali? dua tahun belum cukupkah membuatmu move on?” tanya Michelle dengan mudah. Dan aku kesulitan menjawab pertanyaan tersebut.
Aku bersandar, dengan kepala mendongak menatap langit-langit. Di luar sedang turun hujan salju yang lebat.
“Aku sangat betah di sini.”
“Benar karena itu?”
“Ya, tidak sulit membenci orang yang sudah menyakiti—“
“Membenci memang mudah, tapi membenci tidak menjamin kamu bisa melupakan seseorang.” Ucapnya menohok. Membuat aku terdiam. “Anna, aku senang kalau kamu baik-baik saja di sana, aku menelepon hanya ingin dengar suaramu. Setelah dua tahun kamu pergi dari rumah, kamu tidak membiarkan komunikasi terjalin dengan semua keluarga selain dengan Om Ehshan. Aku sebagai kakak sepupumu, hanya bisa mendoakan kamu. Jaga dirimu baik-baik.”
Aku menghela napas dalam, memijat keningku. “Maafkan aku Miche.”
“It’s oke. Tidak apa-apa.”
"Miche, nanti aku akan hubungi nomormu.”
“Tentu, kita video call ya, kalau nggak kita lakukan hari minggu ini, semua keluarga akan berkumpul.”
“Boleh, hm ada acara penting?”
“Ya, pertunanganku.” Jawab Miche.
Aku menyesal selalu dua tahun ini setiap ada acara di keluargaku, aku tidak bersama mereka. “Aku akan kirimkan kamu hadiah.”
“Aku lebih berharap kamu hadir di pernikahanku nanti” harap Miche.
“Sekali lagi, maafkan aku tidak bisa memberimu janji untuk penuhi harapanmu.”
Sisa malam itu kami habiskan bertukar kabar, setelah dua tahun berjalan aku yang lebih sering berkomunikasi dengan Papa, dibanding dengan keluargaku yang lain tanpa sadar sudah membuat diriku sendiri menjauh dari mereka.
Lukaku hanya disebabkan oleh Pria itu, satu orang. Tapi imbasnya membuatku melempar diri sejauh ini dari seluruh keluarga.
Aku tertawa hambar, setelah panggilan berakhir. Apa hanya aku yang hancur dalam dilema patah hati ini? sedangkan Dia—mantan suamiku—masih bersama keluarganya mungkin memulai hidup baru dan bahagia.
“Huh...” aku menarik napas, lalu tubuhku luruh dilantai. Aku mulai meragukan keputusanku ini. “Benarkah menghindar sejauh ini adalah pilihan tepat? Apa yang telah aku lakukan? Aku korbankan banyak perasaan keluargaku, terutama Papa.” Air mataku jatuh, kali ini dengan rasa rindu pada seluruh keluarga terutama Papa.
Namun, detik selanjutnya dilema kembali menghantamku. Jika aku kembali ke rumah, kemungkinan bertatap muka dengan masa laluku kian ada. Apa aku sudah siap? Bagaimana jika rasa sakit kembali hadir?
Sebab, ketika sudah membenci seseorang hal tersulit adalah berhadapan dan menatap wajahnya.
Ya, aku sudah sampai pada tahap membenci dia, pria yang pernah aku cintai begitu dalam. sampai-sampai memberinya kesempatan untuk menyakitiku sedalam ini juga.
***
Satu minggu kemudian...
“Aku tidak bisa datang, aku sudah bilang ada kepentingan lain yang tidak bisa ditinggal.”
Aku menatap Abbas, melalui video call. Dia sedang berada di Den Haag, menemui keluarga yang tinggal di sana. Dia terlihat sedang di dalam ruangan, suara ramai terdengar jelas, ada suara anak-anak juga. Pasti sedang berkumpul bersama keluarganya.
Malam ini ada pesta ulang tahun atasan kami, makan malam bersama disalah satu resto hotel mewah. Abbas sudah bilang tidak bisa ikut, aku memastikan kembali.
“Aku akan sendiri.”
Abbas tertawa, “Yang benar saja, Anna?!” sindirnya. “Seluruh karyawan di undang, kamu memang harus bergaul. Wanita secantik kamu mudah menarik perhatian siapa pun, kamu hanya terlalu membatasi diri, membuat yang ingin dekat sadar diri lebih dulu.”
Aku mendengus, kesal dengar ucapan Abbas. “Aku hanya takut bertemu pria Players sepertimu.” mencibirnya.
Sama sekali tidak tersinggung, Abbas malah terbahak-bahak. “Tapi, pria sepertiku jadi teman baikmu.” Faktanya memang begitu.
“Terpaksa.”
“Oh, Anna.. kamu melukaiku dengan kalimat itu.” Guraunya, buat aku juga terkekeh.
“Baiklah, aku bersiap dulu.”
“Oke, dear. Selamat berpesta.”
Aku mengulum senyum tipis, dan panggilan berakhir. Kembali pada foto bunga mawar putih yang jadi pilihan walpaper ponselku dibanding foto diriku sendiri.
Segera aku bangun menuju lemari pakaian, mencari gaun malam yang ingin aku pakai dan cocok dengan acara malam ini. Namun, entah mengapa perasaanku di tengah sedang bersiap tidak enak.
Aku teringat banyak yang terjadi belakangan ini, mulai dari pemberi mawar putih misterius, sampai seminggu lalu makanan misterius yang tidak berani aku sentuh. Berakhir di tempat sampah, bisa saja di dalamnya ada racun yang bisa mencabut nyawaku dengan mudah. Aku bergidik membayangkan kejadian naas tersebut, sejak itu aku merasa ada seseorang yang mengawasi ke mana pun langkah kakiku pergi.
“Apa aku batal hadir saja, ya?” ucapku pada diri sendiri sambil memandang pantulan wajahku di cermin. Aku sudah selesai mengaplikasikan make up natural, gaun malam berwarna silver melekat sempurna ditubuhku.
Jika aku tidak datang, aku tidak enak dengan atasanku yang sudah mengundang. “Baiklah aku akan datang, tapi hanya untuk sebentar dan pulang lebih awal jika memang tidak nyaman nanti.” rencanaku, mengambil tas tanganku yang serasi dengan gaun malam. Kakiku beralas Heels yang hanya setinggi tiga senti.
Rambut kubiarkan tergerai jatuh, mengikal di bagian bawah. Aku menyematkan kalung berlian sederhana koleksi pribadiku.
Ah, sudah lama sekalinya aku tidak berdandan semaksimal ini.
Lalu aku termenung, kalimat Abbas tadi menggangguku.
Wanita secantik kamu mudah menarik perhatian siapa pun, kamu hanya terlalu membatasi diri, membuat yang ingin dekat sadar diri lebih dulu
Aku bahkan tidak terpikir untuk dekat dengan seseorang dan mulai hubungan baru, untuk saat ini aku ingin menikmati kesendirian sambil pastikan sudah benar-benar siap mulai dengan yang lain.
“Abbas, membuatku terpengaruh.” Aku menggeleng cepat, menghalau pikiran bercabang.
Kata orang cara ampuh mengobati patah hati adalah hubungan baru, tapi menurutku itu sama saja menjadikan pelarian? Bukan tidak adil, kalau setiap saat bersama seseorang yang baru, pikiran masih tertinggal di masa lalu?
Lagi pula aku rasa untukku pribadi, cara itu belum tentu ampuh jika benar aku menemukan seseorang yang tepat, bagaimana jika justru aku bersama seseorang yang salah lagi dan aku tidak siap untuk terluka kedua kalinya.
Setengah jam aku sampai di hotel tempat pesta berada, aku langsung menuju restoran utama. Seluruh undangan dan bosku sudah ada di sana. Aku mengucapkan selamat, lalu bergabung di salah satu meja dengan teman kerjaku. Ada Alice dan Flo.
Keduanya warga lokal, baik dan cukup dekat denganku dan Abbas. Usia mereka di atasku, Alice bahkan berusia hampir empat puluh sementara Flo tiga puluh tujuh tahun.
Kami menikmati makan malam, berbincang sampai aku merasa seseorang sejak tadi memerhatikan diriku, membuatku tidak nyaman. Akhirnya aku pamit untuk ke kamar mandi. Aku melangkah melewati beberapa meja, tamu yang datang banyak hampir memenuhi seluruh kursi yang tersedia.
Deg!
Aku berhenti berjalan begitu pandanganku jatuh pada seseorang yang duduk di salah satu meja. Merasa familier dengan wajahnya, aku mengerjap kemudian refleks membekap mulutku sendiri, hampir berteriak saking terkejut, napasku tercekat dan berharap seseorang yang kulihat itu bukan dirinya hanya kebetulan mirip.
“Tidak mungkin... Oh ya ampun, bagaimana bisa aku melihat dia di sini?!” langkahku mundur, aku memejamkan mata hingga sebuah sentuhan di pundak membuatku terlonjak.
“Anna. Kamu baik-baik saja?” Aku menoleh cepat, menemukan Alice bertanya khawatir. Aku masih berdiri di sana, sebelum menjawab Alice, aku lebih dulu menatap ke kursi tadi dan mengernyit, seseorang yang tadi kulihat tidak ada di sana, selain orang lain dengan wajah yang berbeda.
“Hm ya-ya. Aku baik-baik saja, Alice.” Ucapku. Alice mengangguk, lalu pamit untuk mencari temannya.
Setelah sendiri, aku menghela napas lega “syukurlah aku hanya salah lihat! Tentu dia tidak tahu keberadaanku!”
Aku benci ketika dia tidak hanya muncul di dalam mimpi, melainkan berwujud bayangan yang tertangkap mataku. Aku yakin hanya bayangan semu saja. Pasti karena pikiran kacau belakangan ini.
Ya, pasti begitu!