Nanti malam adalah malam pergantian tahun, artinya aku sudah berada di negara ini masuk tahun ke tiga. Hari ini pun jauh lebih cerah, salju dimana-mana masih menumpuk, setidaknya cuaca lebih cerah karena sejak semalam tidak ada hujan salju. Matahari pun mengintip malu-malu.
Orang-orang akan manfaatkan ini, keluar rumah untuk menikmati cahaya matahari yang tipis itu. Musim dingin membuat siang datang lebih lamban dan malam datang lebih cepat. Jam empat sore sudah gelap.
Untuk sarapan pagi ini aku sudah sibuk di dapur membuat creamy chicken soup yang akan disantap dengan roti tawar kering.
Dulu aku paling payah memasak, satu-satunya masakan anti gagal yang bisa aku buat hanya mie intans. Tidak ada yang protes dengan kekurangan satu itu termasuk saat menikah dulu, ada pekerja rumah yang akan siapkan makanan setiap hari. Setelah aku menetap di sini, aku mulai berdamai dengan peralatan dapur lalu belajar dengan resep-resep ringan yang cocok bagi pemula melalui internet.
Sudah jadi hukum alam bahwa kegagalan merupakan proses dari keberhasilan yang terlambat. Beberapa kali masakanku berakhir di tempat sampah karena sangat tidak layak dimakan, sampai akhirnya aku berhasil membuat makanan layak untuk manusia.
Abbas yang kerap rajin mencoba masakanku jadi saksi kemajuanku dalam memasak.
“Hm... yummy!” aku mencicipi soup dengan sendok kecil, rasanya sudah pas. Tepat, suara bel apartemen terdengar. Aku segera mematikan kompor, tanpa melepas apron segera membuka pintu setelah memastikan tamu dari layar monitor.
“Hai Abbas...” sapaku pada tamu pagi ini.
Abbas sudah kembali dari mengunjungi keluarganya, pagi ini kami ada janji untuk pergi ice skating. Keahlian lain yang aku punya belakangan. Kegiatan favorit warga Amsterdam jika masuk musim dingin seperti sekarang.
“Hai, Anna...” dia ikut melangkah masuk, aku menutup pintu. Abbas lalu menghirup dalam-dalam aroma yang sedap, menyeringai “hm harum sekali, coba aku tebak... kamu membuat creamy chicken soup?”
Aku terkekeh, mengangguk. Hebat sekali, Abbas menebak dengan tepat.
“Wah, kebetulan sekali aku belum sarapan!” Abbas mengusap perutnya. Semangat sekali.
“Karena kamu mau datang, aku sengaja buat banyak.”
“Baik sekali, Anna” Pujinya.
“Kita harus isi baterai dulu sebelum main ice skating.”
“Tentu, aku tidak sabar mencicipi sarapan spesialmu.”
Abbas langsung duduk di kursi makan tanpa aku minta, datang ke tempatku bukan pertama kali untuk Abbas. Sudah sering berkunjung, terbiasa.
“Mau minum apa?”
Abbas menatapku, “air putih saja.”
Aku segera mengisi pitcher kaca dengan air putih, membawa dua gelas kosong untuk kami berdua.
Meletakan dua mangkuk berisi soup dan piring lain untuk roti panggang kering.
“Selamat makan, Anna.” Kata Abbas mulai menyuap.
Aku mengulum senyum ikut menikmati suapan pertama, “bagaimana?” tanyaku menunggu pendapat Abbas.
Dia tidak langsung menjawab, melainkan kembali menyuap soup lalu mencoba dengan roti kering yang dicelupkan.
“Masakanmu semakin enak Anna” pujinya tulus.
Senyumku berkembang, “terima kasih.”
“Aku yakin jika kamu pensiun dini, lalu buka restoran akan laris. Masakanmu bisa lah disandingkan dengan chef resto bintang lima. Aku akan daftar jadi pengunjung tetap restomu!”
Aku menggeleng kecil, ada-ada saja pikiran pria ini. Aku yakin masakanku tidak luar biasa seperti yang dia katakan “kamu berlebihan, Abbas.”
Abbas tergelak, tidak takut tersendat "padahal aku serius, Anna."
Aku menggeleng tak percaya.
“Ngomong-ngomong, bagaimana makan malam waktu itu?”
Makan malam yang Abbas maksud beberapa waktu lalu yang dirinya tidak bisa hadir. Aku memang belum sempat bercerita pada Abbas.
“Meriah, banyak tamu yang datang.” aku menceritakan garis besar acara malam itu.
“Apa ada yang terjadi?” Abbas menunggu dengan penasaran, ekspresinya jelas berharap terjadi sesuatu.
Aku mengernyit, “maksudmu?”
“Kencan dengan seseorang, paling tidak ada yang mengajakmu berkenalan.”
Aku mengedikan bahu, tidak ingin menjawab Abbas. Jelas yang dia harapkan tidak terjadi. Justru malam itu aku pulang dengan perasaan gamang setelah melihat seseorang yang tidak pernah kuharapkan akan berjumpa dikemudian hari. Biarpun penglihatan aku itu tidak bisa dibuktikan sebab selanjutnya aku malah melihat orang yang berbeda, tetap saja pulang dari pesta, aku tidak bisa tidur.
“Anna...” panggilan Abbas membawaku pada kenyataan bahwa sampai hari ini, yang kulihat tidak terbukti.
“Hm, aku hanya datang sebagai undangan. Tidak ada yang terjadi seperti harapanmu.”
Abbas mendesah kecewa, “sayang sekali.”
Aku kembali menikmati makanan, tapi Abbas terlihat bersungguh-sungguh ingin melihatku bersama seseorang.
“Malam ini kita akan keluar.”
“Tidak. Aku tidak mau ikut dalam rencanamu, Abbas.”
Abbas malah terkekeh, “belum dengar sudah menolak eh?”
“Aku tidak mau keluar.”
“Ayolah Anna, ini malam tahun baru. Semua orang ingin berada di luar. Melihat pertunjukan kembang api!”
“Kecuali aku” jawabku tegas, Abbas tidak menyerah membuatku untuk setuju.
“Kamu tidak akan menyesal.”
Aku akhirnya mendesah, Abbas tidak akan berhenti sampai aku mengiyakan “Katakan dulu, kita akan ke mana?”
Abbas menyeringai merasa menang sudah mengubah keteguhanku “hanya keluar makan malam, lalu menunggu tengah malam kita bisa ke kelab.”
“Janji dulu, jika aku tidak cocok dengan acara malam ini. Biarkan aku pulang.”
Abbas mengangkat tangan, mengedipkan satu mata. Ekspresi nakal yang sering dipakai menggoda para bule cantik, aku sudah kebal dengan ekspresi maut pemburu wanitanya itu “Aku berjanji kalau kamu akan menikmati pergantian tahun ini.”
Dia malah memberi janji yang lain.
***
Kami sudah di lokasi ice skating para warga Amsterdam, badai salju dengan suhu terbilang ekstrem membuat kanal-kanal di kota membeku dan bisa dijadikan area bermain ice skating. Tapi, hari ini lokasi ice skating yang kami pilih di alun-alun Museumplein Amsterdam.
Terbukti dari banyaknya orang-orang sudah bermain ice skating. Aku duduk di tepi untuk memakai sepatu ice skating—sepatu bot berpisau di bagian bawah yang berbentuk cekung dan punya dua mata pisau yang tajam—aku memakai baju hangat, lengkap dengan sarung tangan dan topi rajut berwarna merah muda yang cantik. Rambut kubiarkan terurai jatuh.
Abbas sudah siap lebih dulu dengan sepatu ice skating, dia berdiri di depan dan mengulurkan tangan yang kusambut.
Setelah aku bersahabat dengan lokasi ice skating, bisa berdiri tanpa kesulitan, Abbas melepasku. Lalu kami mulai bergerak menelusuri lokasi yang beku.
Senyumku sangat lebar sampai rasa-rasanya menyentuh ujung mataku. Aku melaju tanpa ragu lalu berputar sambil merentangkan tangan. Tentu hati-hati agar tidak menabrak yang lain.
Oh Tuhan... rasanya semua beban dihatiku terangkat!
Aku membuka mata dan melihat Abbas sedang memperhatikanku. Dia bergerak menghampiriku, “Anna, kamu benar-benar menyukai ice skating?”
“Satu yang aku syukuri setelah tinggal di sini. Di negara kita tidak turun salju, jadi kalau mau ice skating cari tempat khusus di dalam ruangan. Kalau di sini banyak lokasi ice skating di luar ruangan dengan suasana lebih hidup” Jawabku membuat Abbas tergelak karena setuju.
Lalu aku kembali menari di atas es itu, menikmati sekelompok anak-anak tidak jauh dari sana membentuk tumpukan salju menjadi bola-bola untuk di lempari. Atau ada anak bersama orang tuanya berlatih ice skating.
Penghujung dan memasuki awal tahun menjadi waktu liburan yang diisi dengan berkumpul bersama keluarga, mengeratkan hubungan. Sementara aku hanya punya Abbas sebagai teman baikku di sini. Seluruh keluargaku berada di belahan bumi lain.
“Anna...” panggil Abbas.
Aku menoleh, “Ya?”
“Aku angkat telepon dulu” dia mengangkat ponselnya, menunjukkan ada panggilan masuk.
Aku mengangguk, “Oke.”
Menatap punggungnya, meluncur menuju keluar dari area ice skating. Aku kembali menari, menikmati waktu libur dengan permainan menyenangkan. Udara dingin tidak menghentikan orang-orang untuk bermain, termasuk aku.
Aku berputar sampai tiba-tiba merasa seseorang sedang memerhatikan. Perasaan sama akhir-akhir ini, sudah beberapa kali dan berakhir dengan hal-hal tidak terduga.
Berhenti bergerak, aku berdiri ditengah-tengah area ice skating. Mataku bergerak liar, tubuhku berputar mencari pada setiap sudut—
Deg!
Aku membulatkan mata begitu tatapan kami beradu dengan seseorang yang sedang berdiri di sisi area ice skating, aku menatap lurus wajahnya. Beberapa detik yang membuat waktu seperti berhenti, tanpa sadar aku mengepalkan tangan dan gemuruh di dadaku begitu hebat.
“Tidak... ini pasti hanya bayangan!” Kali itu aku tidak ingin memejamkan mata, bertahan dan ingin memastikan bahwa itu nyata. Aku meluncur memberanikan diri mendekatinya. Dia masih di posisi itu, menatap dengan tatapan begitu intens.
“Anna...” sebuah panggilan dan cekalan ditangan membuat aku berhenti meluncur. Aku terpaksa berpaling dari titik tersebut.
Abbas ternyata yang menghentikan diriku, “kamu mau ke mana, Anna?” tanya Abbas lagi, melihat kecemasan diriku.
Sementara diriku seperti orang bingung, perasaanku campur aduk lebih ke marah jika benar-benar yang kulihat adalah orang itu. Aku akan mengusirnya dari hadapanku. Dia tidak punya hak untuk menganggukku dengan cara seperti ini.
“A-aku—“ aku kembali menatap pada titik dirinya berada tadi, tapi lagi-lagi hilang tanpa jejak.
Ada apa ini Tuhan?! Batinku.
“Anna...” panggil Abbas.
Aku bukannya menatapnya, malah menunduk membiarkan air mata tak terbendung dan pertahananku runtuh untuk pertama kali di depan Abbas.
Tanpa menuntut penjelasan, Abbas menarik tubuhku dalam dekapannya. “Kita keluar dari sini.”
Aku mengangguk, “ya, aku ingin pulang.”
Tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, penglihatan dan hatiku. Aku begitu yakin jika tidak hanya halusinasi, tapi, semua membingungkan.
Sudah sejauh ini aku berlari darinya, setelah dua tahun menata hati dan hidupku, mengapa memasuki tiga tahun, bayangannya harus muncul menganggukku dengan rutin?
Aku semakin tersedu-sedu, Abbas menangkup wajahku setelah kembali ke mobil.
“Kamu tunggu sini, biar aku beli minuman hangat untuk kita.” Katanya.
Aku mengangguk, butuh waktu dan ruang untuk sendiri dan merenungi yang terjadi belakangan.
Pintu mobil ditutup, tangisku pecah. Dalam bayangan saja aku runtuh seperti ini, bagaimana jika benar-benar harus berhadapan dengan dirinya?
***
Setelah sampai tempat tinggalku, dengan tidak enak hati aku minta Abbas langsung pulang. Awalnya Abbas terlihat berat, mungkin tidak tega dan takut terjadi sesuatu padaku.
Untuk pertama kali Abbas melihatku bahagia karena permainan ice skating, dalam satu waktu bersamaan dia melihat sisi rapuh yang aku, Aleanna Zetta punya dua tahun ini.
Dan aku sangat membenci seseorang itu yang sudah membuatku rapuh begini.
“Anna, kalau kamu mau... aku bisa temani.”
“Tidak perlu, Abbas.”
Abbas menghela napas, “Anna, kamu pasti tidak mau ceritakan?”
Aku terdiam.
“Baiklah, tidak apa-apa. Aku tidak akan memaksa. Hanya kamu perlu ingat, jika kamu butuh sesuatu dariku, butuh bantuanku. Aku siap kapan pun kamu mau.”
Sangat sadar kini Abbas sedang menatapku, tapi aku pilih menatap lurus. Sudah tidak menangis seperti tadi, tapi rasa sesak di dalam hati tidak kunjung hilang.
“Terima kasih Abbas, aku tahu kamu sangat baik” ya aku tidak ragu.
Abbas tersenyum, aku merasakan usapan lembut di puncak kepalaku. “Istirahatlah, nanti malam jika kamu tidak ingin pergi, aku mengerti—“
“Tidak!” aku langsung menghadapnya, penuh tekat. Kupandang Abbas “aku akan pergi bersamamu.”
“Kamu yakin?” tanya Abbas ragu, tidak seperti tadi pagi yang bersikeras aku ikut.
Memberinya anggukan mantap, “Ya, aku tidak bisa tetap mengurung diri di dalam kamar.”
Selain aku tidak ingin terperangkap pada bayangan semu yang menyiksaku, meruntuhkan susunan hidupku. Meski itu hanya bayangan saja, aku ingin membuktikan bahwa dua tahun ini tidak akan berakhir sia-sia.
Dia tidak akan bisa menganggukku, menyakiti aku sekali pun hanya bayangannya saja. Akan kuusir dari hidupku.