18. Questions That Makes Me Nervous

1708 Words
“Dannys!” Aku mendelik dan seketika kembali pada kenyataan. Sekejap aku mengerjapkan mata sebelum memutar pandangan. Hal pertama yang kudengar adalah desahan napas dari Kang Minho, kemudian kenyataan bahwa aku sedang berada di mobil bersamanya lalu entah di mana aku selama ini hingga aku baru menyadari bahwa kami telah berada di depan asrama. “Soal yang kau ceritakan tadi ....” Mendengar ucapan itu seketika membuatku tahu di mana perginya pikiranku selama perjalanan pulang. Aku pun mendesah panjang lalu menundukkan kepala. “Sungguh, Dannys. Aku percaya sepenuhnya padamu dan aku mencoba untuk memahami apa yang kamu rasakan, tapi ....” “Sudahlah, Minho,” Aku menyergah lalu memalingkan wajahku ke samping, memandang Kang Minho kini. “entah siapa yang benar di sini, kita hanya sama-sama berpegang pada apa yang kita alami.” Kulihat wajah Kang Minho berubah murung dan sekali lagi dia mengembuskan desahan napas panjang. Lelaki itu memalingkan wajahnya dan membawa kepalan tangannya di depan bibir. “Dannys, aku sungguh—“ Ucapan Kang Minho terhenti ketika aku memalingkan wajah dan mendengkus. Aku menarik gagang pintu dan mendorongnya lalu melesak keluar. “Dannys!” “Minho, aku tak ingin berdebat hal ini denganmu, kumohon.” Kang Minho terdiam dan kulihat dadanya mengembang ketika dia melakukan tarikan napas panjang. Pria itu mengangguk sambil mengembuskan desahan napasnya keluar. “Hem,” gumam Minho. “well, Dannys, sebenarnya ada yang ingin aku katakan padamu.” Aku mendengkus sekali lagi. Kepalaku kembali berkedut dan terasa pening. Aku menyisir rambutku dengan jari-jari sebelum kembali membawa pandanganku pada Kang Minho. “Oke, aku akan mendengarnya.” Kang Minho terdiam untuk beberapa lama dan yang dia lakukan hanya mendesah panjang. Aku melihat kegelisahan di wajahnya, tetapi mulutku seolah keluh untuk bertanya. Sungguh, pikiranku kacau balau dan yang kuinginkan hanyalah pergi ke kamar dan merendam tubuhku ke dalam bak mandi. Kupikir aku akan menenggak aspirin terlebih dahulu, sebab kepalaku serasa ingin pecah sekarang. “Well, Dannys, kupikir ini bukan waktu yang tepat, tapi ....” Sekali lagi Kang Minho menjeda ucapannya. Dia terdiam dengan mulut menganga dan dengan kedua sisi alisnya yang melengkung ke tengah. Sepertinya ada sesuatu yang dipikirkan oleh Kang Minho dan membuatnya gelisah. “Dannys, eum... sebenarnya aku....” Aku mencoba untuk bertahan di sana sambil menahan rasa nyeri yang berkedut-kedut di kepalaku. Entah apa yang akan diucapkan oleh Kang Minho, aku hanya bisa diam dan menantinya sambil mendengkus. “Oh ya, apa... akhir pekan nanti kau akan bekerja?” Keningku mengerut dan mataku bergulir, memandang Kang Minho. Aku mendesah berat sebelum menggelengkan kepala. “Hem,” gumamku. Tiba-tiba Kang Minho menarik sudut bibirnya ke atas. “Baguslah. Kalau begitu apakah kamu mau pergi bersamaku?” Lagi-lagi aku mengerutkan dahi. “Pergi?” “Ya! I mean,” Kang Minho mengerjap dan menggoyangkan kepalanya. Seketika dia terlihat panik. “ada festival musik di Wisconsin Dells, eh....” Kang Minho menunduk sejenak dan menggaruk pelipisnya. “eum... apa kau mau ikut denganku?” DEG Detak jantungku menghilang selama beberapa detik kemudian memori tiba-tiba saja menerbangkan aku pada kejadian tadi pagi saat pertama kali aku melihat Stacy. ‘Dannys, kau harus berjanji kalau kau akan bilang iya!’ ‘Kang Minho akan mengajakmu kencan!’ Seketika mataku terbelalak kemudian aku mendongakkan dagu, memandang Kang Minho. “Well, Dannys, aku tahu mungkin ini bukan waktu yang tepat, kau mungkin mengalami hari yang buruk dan berpikir bahwa aku tidak memercayaimu, tapi aku benar-benar percaya padamu dan... sebenarnya... se—sebenarnya aku sudah—“ Ucapan Kang Minho terbata-bata. Entah apa yang terjadi pada lelaki itu. Apakah aku yang berlebihan jika menganggap Kang Minho sedang gugup? Tapi aku berani bersumpah bawah aku tak pernah melihat Kang Minho seperti kehilangan kendali atas perasaannya sendiri dan entah apa juga yang sedang kualami hingga detak jantungku kian bertambah di setiap detiknya. Ya Tuhan, lagi-lagi aku merasakannya. Sebuah perasaan yang membuat hatiku gelisah dan mulai membuat gadis batinku tersipu malu. Kumohon, Kang Minho, katakan saja. Aku bersumpah bahwa aku akan mengatakan ya. “Sebenarnya aku sudah... ehhh... maksudku kami berencana untuk ke sana. Thomaz, Stacy, Pryanka, Kayla dan Alex. Kami berencana untuk pergi ke festival musik. Aku juga ingin ke sana bersama denganmu.” Sejenak Kang Minho terdiam dan sekali lagi dia menghela napas dan menahannya di d**a. “Dannys!” panggilnya kemudian Kang Minho mendesah panjang. Ya Tuhan, pria itu benar-benar mengacaukan detak jantungku. Sementara gadis batinku melotot dan berkata bahwa aku harus menganggukkan kepala. Namun, seluruh tubuhku terbeku dengan ada yang memberat. “Katakan padaku bahwa kau tidak akan bekerja di akhir pekan.” Ucapan Kang Minho membuatku bergeming. Seketika menyadari bagaimana padatnya akhir pekan saat di restoran dan hal itu langsung membuat gadis batinku menggeram dan berteriak marah. Sial! “Ah... aeh... ba—bagaimana ya, ta—tapi a—aku tetap bekerja di akhir pekan.” Kudengar desahan penuh kekecewaan dari Kang Minho, wajahnya berubah murung, tapi itu hanya sesaat. Dia kembali mendelik, memandangku. “Jam berapa kalian tutup?” Aku ikut mendelik dan secara alamiah mulutku menjawab, “Ja—jam sepuluh.” Aku menggeleng singkat. “I mean, sebelas. Entahlah. Mungkin sekitar jam sebelas.” Sekali lagi Kang Minho mendesah lirih. Wajahnya berubah murung, membuat gadis batinku menjambak rambutnya sendiri dan mulai merutuki Mr. Dunne karena harus memperkerjakan aku di akhir pekan. “Dannys,” panggil Kang Minho dengan suaranya yang lembut. “aku akan menjemputmu.” Bagai ada sesuatu yang memukul dadaku dan membuat mataku mendelik. “A—apa?” “Aku akan menjemputmu dan kita akan pergi bersama.” Aku tercengang di tempat dengan mulut yang mulai menganga dan dagu yang mulai bergerak ke atas. Setelah itu yang kulakukan hanyalah menganggukkan kepala. Aku terkekeh dan yakin dengan pasti bahwa wajahku terlihat sangat aneh. “Ya, Dannys. Acaranya akan dimulai jam sepuluh jadi kupikir kita masih bisa menonton konsernya. Akan ada sejumlah penyanyi Korea Selatan yang akan hadir. Kupikir kita akan menyukainya. Aku akan menjemputmu.” Mataku masih terbelalak dan yang kulakukan selanjutnya hanyalah terkekeh. Kulihat wajahku dari pantulan cermin pintu belakang dan ya, aku seperti orang gila. “Y—ya...,” jawabku dengan kaku dan sekali lagi aku terkekeh. “ba—baiklah.” Ada senyum singkat yang kulihat di wajah Kang Minho. Dia pun menganggukkan kepalanya dan memutar kunci, menyalakan mesin mobil. “Dan... oh ya!” Aku kembali mendelik dan refleks mencondongkan wajahku. “Hem?” Sekali lagi aku mendengar desahan napas berat dari Kang Minho ketika dia sedikit ragu memandangku. “Soal apa yang kamu ceritakan padaku—“ Oh sial! Gadis batinku langsung mengubah raut wajahnya. Dia tampak begitu kesal. “Dannys. Maximus memang temanku dan kau mungkin tahu bahwa kami memiliki hubungan darah, tapi apa yang dia lakukan padamu tak bisa kumaafkan. I mean—“ Entah mengapa aku mendengkus dan berpaling dari Kang Minho. Kuusap wajahku dengan kasar hingga ke puncak kepala sebelum aku kembali memandang Kang Minho. “It’s okay, Minho. Aku paham posisimu, tapi sama seperti yang aku katakan bahwa aku tak mungkin salah lihat. Pria yang kulihat malam itu, yang mengejarku dengan motornya adalah Max Belanger dan sampai kapan pun aku tak akan mengubah pernyataanku.” Mulut Kang Minho terbuka. Dia menarik napas dari sana dan juga mengeluarkannya dari mulut. “Ya!” Kang Minho berucap dengan nada mengentak. “jika itu memang Maximus, maka aku bersumpah bahwa dia tak akan macam-macam padamu.” Tiba-tiba mataku mendelik. Tunggu dulu. Apa barusan Kang Minho sedang memperingatkan Maximus Belanger? “Ya, Dannys!” Mataku kian terbelalak mendengar ucapan Kang Minho yang seolah menjawab pertanyaan yang menggema di kepalaku. “Tak akan kubiarkan seorang pun menyakitimu. Tidak bahkan itu Maximus Belanger.” Aku bersumpah bahwa jantungku berhenti berfungsi dan meninggalkan aku dengan sejuta rasa terkejut. Bulu kudukku bangkit bukan karena aku takut seperti biasanya, tetapi karena aku dibuat syok atas pernyataan Kang Minho barusan. “Well, Dannys, aku ingin mengobrol banyak denganmu, tapi aku harus kembali ke kampus. Mr. France menyuruhku menggantikan dirinya mengajar pada mahasiswa baru dan sebentar lagi kelasnya akan dimulai.” Mendengar ucapan itu membuatku langsung bergeming. “Oh!” Aku memekik lalu terkekeh. “y—ya!” Kuulurkan tanganku yang gemetar karena gugup. “si—silakan!” Kang Minho menarik satu sudut bibirnya ke atas dan membentuk senyum memesona yang memperlihatkan deretan gigi putihnya yang tersusun dengan rapi. “Oh ya, apa hari ini kamu akan bekerja?” Kang Minho terkekeh dan mengusap tengkuknya. “maaf, sepertinya aku banyak bertanya.” “Tidak!” Kang Minho mendelik mendengar jawabanku. Kugelengkan kepala dan menjawab dengan lebih lantang, “Aku tidak bekerja hari ini.” Gadis batinku datang dan menampar wajahku, membuat aku menggoyangkan kepala. “I mean, jatah liburku jatuh di hari Senin.” Kulihat Kang Minho secara perlahan mengangkat dagunya kemudian pria itu menganggukkan kepalanya. “Baiklah, kalau begitu aku akan mampir setelah selesai dari kampus.” “Ehm?” Lagi-lagi aku terkejut dan sepertinya wajahku tampak sangat konyol sehingga membuat Kang Minho kembali terkekeh. “Bolehkah?” Semakin lama, kelopak mataku semakin terbuka lebar. “Hem?” Aku terus bergumam kemudian kuanggukkan kepala. “y—ya!” Lagi-lagi Minho terkekeh. “Oke,” dia terdiam dan sepertinya bukan hanya aku saja yang gugup di sini. Kang Minho juga gugup. “well, I gotta go.” Keningku mendelik ke atas. “Y—yeah. I—I mean, of course.” Aku terkekeh dan tubuhku terasa panas dingin. Melihat senyum di wajah Kang Minho dan bagaimana caranya memandangku dengan ragu-ragu, semua itu membuat detak jantungku yang sempat memelan, kini datang dengan tekanan kuat dan cepat. “Oke, I’ll text you later.” Kepalaku mengangguk, tetapi wajahku gemetar. “Yeah, sure!” Sekali lagi aku mengulurkan tanganku dan semakin lama tubuhku semakin bergetar. Lelaki Korea Selatan itu kembali menyunggingkan senyum di wajahnya. Dia terkekeh padaku sebelum mobilnya bergerak pergi. “Fyuh....” Aku mendesah sambil mengusap d**a. “ya Tuhan, apa ini.” Kugelengkan kepala kemudian aku memutar tubuh dan bergegas masuk ke apartemen. Well, sepertinya sakit kepalaku sudah hilang. Aku tak takut lagi dan semua pemikiran tentang Max Belanger tertutup begitu saja. Semua itu tergantikan dengan perasaan gugup. ‘Kang Minho akan mengajakmu kencan, Dannys!’ Aku memejamkan mata dan menggeram sambil mengepalkan kedua tangan. “Oh my gosh! Mimpi apa aku!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD