Aku berlari sekuat tenaga hanya untuk mencapai keberadaan Kang Minho. Aku melihat kerutan di dahinya ketika kedua sisi alisnya melengkung ke tengah. Sekilas aku menoleh ke samping dan melihat pria itu berdiri tak jauh dari tempatku dan memantau aku seperti elang pemangsa.
Sekejap otakku berkata bahwa ada yang tidak beres ketika dia hanya memandangi aku dengan rahangnya yang mengencang dan bahkan desahan napasnya bisa kudengarkan. Menggema di telingaku dan pecah di dalam kepalaku.
Aku terus memacu tubuh dan kakiku untuk berlari dan dalam sekian detik aku berhasil mencapai Kang Minho. Tak ada sedikit pun keraguan dalam diriku. Seluruh ketakutan ini memusnahkan akal sehatku hingga aku tak ragu sedikit pun untuk memeluk Kang Minho.
“Minho!” Kusebutkan nama itu di antara deru napas dan tekanan jantung yang memuncak tinggi.
“Da—Dannys?”
Sempat kudengar ada getaran yang timbul pada saat Kang Minho menyebutkan namaku. Ya. Aku mendengarnya. Aku mendengar getaran itu dan aku bisa membayangkan bagaimana raut wajahnya saat ini.
Namun, jiwa pengecutku masih mendominasi dan tak mengizinkan aku untuk melepaskan Kang Minho. Demi Tuhan, dengarkanlah detak jantungku, Minho agar kau tahu seberapa takut aku saat ini.
“Dannys, apa yang terjadi? Mengapa tubuhmu gemetar?”
Ya Tuhan. Aku memejamkan mata dan menelan saliva berat. Sesaat tersekat, tetapi di dalam hati ada sedikit kelegaan yang aku rasakan. Kang Minho akhirnya menangkap apa yang hendak kusampaikan dan tak terucap lewat bibir.
Aku merasakan kedua tangannya mencengkeram bahuku dan secara perlahan mendorong kedua bahuku dan memisahkan aku dari tubuhnya. Mau tak mau, aku pun mendongak.
“Dannys ...,” Kang Minho menggumamkan namaku. Dahinya makin terlipat dan dengan matanya ia mencoba menyelidik apa yang terjadi padaku. “what’s going on?!”
“Ak—aku, aku ....” Bibirku gemetar. Mulutku keluh dan aku menggagap. Dadaku terasa sesak dan napasku tersengal-sengal. Lalu dengan wajah yang bergetar kucoba untuk memalingkan pandangan.
Saat kembali memandang pria itu, mataku pun terbelalak. Sekali lagi kudongakkan wajahku ke atas, memandang Kang Minho.
“Di—dia ... di—dia!” Aku memastikan bahwa aku sedang berusaha mengangkat tanganku ke udara dan menggerakkannya menunjuk ke arah Max Belanger yang masih mematung diri di sana. Demi apa pun dia tidak bergerak.
Kang Minho masih menekuk alisnya, tetapi bola matanya mulai bergerak mengikuti arah di mana jari telunjukku sedang mengarah pada seseorang yang berdiri tak jauh di belakangku.
“Dia ...,” Kang Minho bergumam. “si—siapa?”
Kutelan saliva berat dan memaksa sebuah dorongan yang mencegah suaraku tertahan di tenggorokan. Aku mendesah berat.
“Pria itu. Dia ... dia seorang penjahat!” ucapku dengan terburu-buru. Bibirku semakin kuat bergetar dan leherku masih berkedut nyeri akibat cengkeraman tangannya.
Sekali lagi kupalingkan wajahku, memandang pria kriminal itu dan menunjuknya. “Di— dia adalah seorang penjahat. Se— semalam, se— semalam dia ....” Ucapanku terbata-bata dan kulihat Kang Minho sekali lagi memandang ke arah di mana telunjukku sedang mengacung. Lagi-lagi dia mengerutkan dahi.
“Dannys, maksudmu siapa? Ya Tuhan, ada apa denganmu?!”
Aku mengerjap sekali. Menelan saliva kembali dan memohon-mohon pada diriku untuk tidak takut. Jangan takut. Agar aku bisa menjelaskan situasiku pada Kang Minho dan dia bisa segera membantuku untuk melaporkan penjahat itu pada pihak kampus.
‘Tenang, Dannys, tenang!’ Aku bergumam dalam hati dan mencoba untuk diam. Aku mulai mengatur pernapasanku. Sedikit demi sedikit. Menarik udara perlahan-lahan dan menahannya sejenak di d**a kemudian mengembuskannya dalam desahan panjang.
Berhasil!
Lalu kupilih untuk kembali mendongakkan wajah. “Pria itu!” Sekali lagi aku berkata dan sambil menunjuk Max Belanger. Aku memastikan bahwa pria itu masih berdiri di sana dan rasanya aneh sebab dia tidak bertindak apa pun. Dia bisa saja pergi dari sana atau menghampiri aku, tetapi dia malah memilih untuk diam seperti patung.
Sial! Diamnya memancarkan keheningan mematikan yang membuatku semakin ketakutan. Berkali-kali aku hanya bisa menelan saliva dan berkata pada diriku bahwa aku siap untuk mengatakan apa pun. Tanpa takut pada apa pun.
“Dia murid pindahan. Pria itu masuk ke kelasku, tetapi kau tahu kalau dia—“
“Maximus?”
DEG
Jantungku berhenti berdetak dan membuat mataku terbelalak. Aku kembali mendongakkan wajah, memandang Kang Minho dengan tatapan horor.
“Ka—kau ... kau mengenalnya?” Aku bertanya di antara ketakutan yang mendera hati dan pikiranku.
Kang Minho diam sejenak dan kulihat dadanya mengembang sewaktu ia mengisi udara ke paru-paru lalu mengempis dengan cepat ketika ia membuang napas sambil mengangguk singkat.
“Hem.” Jawabannya membuat mataku semakin membelalak.
“Ap—apa?!” pekikku pelan.
“Ya, Dannys. Dia Maximus Belanger putra dari Marthin Belanger, pemilik Ford Foundation.”
DEG
Bagai sebuah balok yang dilemparkan langsung ke jantungku dan menghentikan seluruh aktivitas yang mampu menghidupkanku. Mendengar Ford Foundation maka aku bisa menyimpulkan sesuatu bahwa Max Belanger adalah....
“Ya, Dannys. Dia putra tunggal Mr. Belanger. Kau tidak tahu itu?”
Aku bersumpah bahwa napasku sudah terhenti di d**a dan aku tak bisa melakukan apa pun. Mulutku menganga lebar. Wajahku bergerak secara lambat-lambat, kembali memandang Max Belanger.
“Ma—maksudmu, Ma—Max—“ Kang Minho mendengkus. Ia kembali mendongakkan wajahnya, mengalihkan pandangannya dariku dan tiba-tiba saja Kang Minho tersenyum.
Aku yang melihatnya lalu membelalakkan mata. Sontak, kuputar wajahku kembali dan aku semakin diterpa perasaan terkejut ketika melihat senyum yang sama di wajah Max. Pria itu melambaikan tangan sekaligus menganggukkan kepala.
Cepat-cepat kuputar wajahku kembali ke arah Minho dan kulihat senyum di wajahnya semakin melebar menguasai seantero wajahnya.
“Mi—Minho, ka—kau ....” Aku benar-benar menggagap dan tak tahu harus berucap apa. Jiwaku terguncang. Syok dan frustasi.
“Ya, Dannys. Dia memang mahasiswa transfer. Dia berasal dari NYU. Ayahnya sendiri yang memintaku untuk menemani Max ketika di kampus. Katanya di introvert.”
Napasku semakin tersekat. Dadaku serasa diremas dengan kuat. Sakit. Aku menunduk. Dadaku naik turun dan selama beberapa detik aku hanya disibukkan untuk mencari-cari napasku yang hilang.
“Dannys?”
“Hah!” Aku tersentak saat Kang Minho tiba-tiba memegangi kedua sisi lenganku. Keningnya mengerut, memandangku penuh tanya.
“Ada apa denganmu? Mengapa kamu terlihat sangat ketakutan?”
Kepalaku berkedut-kedut nyeri. Tak ada perkataan apa pun yang bisa keluar dari bibirku. Sedari tadi aku hanya memandang Max dan Kang Minho secara bergantian dan aku berani bersumpah kalau aku merasa seperti terjebak.
“Mi—Minho, di—dia seorang penjahat!” Kupaksakan bibirku untuk berucap dan reaksi Kang Minho masih sama. Dia mengerutkan dahi, memandangku penuh kebingungan.
“Ap—apa?”
Kutelan saliva sekali lagi dan mencoba untuk tenang agar oksigen bisa terkirim ke otakku dan aku bisa berpikir dengan tenang.
“Ya, Minho. Dia seorang penjahat!” kataku sekali lagi dan aku kembali tersekat.
Mulut Minho megap-megap. Sekejap dia memandangku lalu dengan cepat Kang Minho kembali mendongak, memandang Maximus dengan dahi terlipat.
“Maksudmu, Maximus penja—“
“Ya!” Aku menyergah dengan nada menandas karena kupikir tak ada yang bisa kulakukan selain menyatakan kebenaran bahwa Max Belanger adalah seorang penjahat.
Namun, reaksi Kang Minho masih tak berubah. Mulutnya kian megap-megap lalu tanpa sengaja dia terkekeh.
“Dannys, aku ... aku sungguh tidak mengerti.”
“Minho!” Kupanggil namanya dengan nada menekan. Kupandangi wajah pria itu dengan tatapan tegas. “dia seorang penjahat. Semalam aku—“
“Hei, Dude!”
DEG
Ucapanku terhenti ketika mendengar suara itu menggema di belakan tubuhku. Secara perlahan aku memutar wajah dan seketika aku dibuat syok oleh keberadaan Max Belanger di belakangku.
Aku terdiam sejenak, memerhatikan raut wajahnya. Berbeda dengan sebelumnya, wajah Max kini mengukir senyum. Ia mendekat ke arah kami dan membuatku berpaling.
“What’s up!”
Bulu romaku bangkit dan aku bergidik ketika sekali lagi mendengar suaranya. Sejurus kemudian aku tersentak saat mendengar suara tepukan tangan di sampingku dan saat aku menoleh, aku melihat dua orang lelaki itu sedang melakukan tos ala pria.
Ya Tuhan, ada apa ini? Aku bertanya dalam hatiku. Tak ada yang bersuara selama beberapa detik, tetapi aku bisa merasakan senyuman tajam dari Max juga senyum kikuk dari Kang Minho dan sekarang mereka sama-sama memandangku.
Kang Minho terkekeh dan aku yakin bahwa dia sedang berada dalam situasi canggung. Memoriku memutar kejadian di mana ia baru saja memperkenalkan Maximus Belanger padaku.
Aku mendesah lirih dan memalingkan wajah. Kututup mataku dan berdoa dalam hati, Ya Tuhan keluarkan aku dari situasi ini.