10. Cliff-hanger

2316 Words
“Heemppt!” Aku terus saja menjerit dan tanganku berusaha menjangkau dengan segala pukulan yang kena di pundak dan dadanya. Sekalipun aku tahu bahwa semua usaha yang kulakukan sia-sia saja dan malah semakin menghabiskan tenagaku, tetapi aku tidak ingin menyerah. Tidak! Aku masih muda dan aku tidak mau mati konyol. Tidak di dalam tangan seorang penjahat seperti Max Belanger. Aku mengenang nama itu. Tiba-tiba saja terbesit ketika situasi semakin menyudutkan diriku. “Hempesh!” Sekali lagi aku menjerit. Mataku terasa perih, tetapi kupaksakan untuk terbelalak, memberinya tatapan penuh peringatan. Namun, entah siapa pria ini. Selama beberapa saat dia hanya terdiam dan dari geraman napas yang terus berembus ke wajahku, pria ini seolah ingin memberitahu bahwa aku akan tamat hari ini. Tamat. Artinya dia akan membunuhku. Lelaki itu terus mencengkeram leherku. Sangat kuat. Semakin kuat sampai rasanya tenggorokanku seperti disayat benda tajam. Sial! Oksigen dalam tubuhku semakin menipis. Semakin membuat otakku tak bisa berpikir. Namun, manusia punya insting yang kadang kala mampu bertindak sendiri tanpa menunggu perintah dari otak. Dan itu bekerja dalam situasi apa pun. Termasuk dalam keadaan genting. Instingku membuktikannya. Aku tak berpikir dan bertindak secara refleks. Kakiku seolah mendapatkan perintah yang membuatnya menekuk lutut dan menendang tepat pada bagian vital di tubuhnya. “Akh!” Berhasil! Mataku mendelik ke atas, seketika mendapati ekspresi di wajahnya mengernyit dan matanya sedikit terpejam dan itu membuat cengkeraman di tangannya melonggar. Satu tangannya bergerak meraba bagian yang mendapat pukulanku dan itu memberikanku celah untuk bisa memukul sekali lagi. “Akh!” Dia kembali menggeram. Aku langsung mendorong dadanya dengan kuat lalu tanpa berpikir panjang aku langsung menghindari darinya. Melesat ke pintu dan tanganku telah berhasil menekan gagang, tetapi saat aku hendak menariknya, tiba-tiba saja aku merasakan tarikan kuat di rambutku. “Awh!” Sial! Aku meringis kesakitan dan secara alamiah tanganku bergerak ke belakang kepala. Berusaha mencari tangannya, tetapi pria itu malah semakin kuat mencengkeram rambutku. Sangat kuat sampai rasanya kulit di kepalaku bisa tercabut. “Lepaskan aku!” Aku berteriak sekuat mungkin dan berharap akan ada seseorang di luar sana yang bisa mendengarkan teriakanku. Namun, di samping itu aku juga harus bertarung dengan kuatnya serangan yang sementara ini kuhadapi. Pria itu menyeret tubuhku. Memisahkan aku dari daun pintu, tempat di mana aku bisa keluar dan meminta tolong. Aku tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Mataku terpejam dengan erat dan kedua tanganku berusaha menarik kembali rambutku. Aku berusaha untuk melawan dan kupikir, jika aku bisa memutar tubuhku, aku bisa kembali melayangkan pukulan lewat tendangan kaki, tetapi pria ini benar-benar tahu caranya mengunci seluruh pergerakanku. Dengan sekali tebasan tangannya, dia sanggup melumpuhkan segenap tenaga yang aku miliki sehingga yang bisa kulakukan hanyalah mengerang dan mencoba untuk menahan air mata yang telah mengumpul di pelupuk mataku. “Awh!” Aku meringis ke sakitan untuk ke sekian kalinya. “You motherfucking, peace of s**t!” Suara yang mendesis itu menyatu dengan angin yang membawa tubuhku terangkat lalu kembali dihempaskan ke dinding. “A—“ Mataku terbuka lebar bersama mulutku yang menganga. Jantungku berhenti berdetak serta napasnya yang tersekat di tenggorokan. Aku terdiam selama beberapa detik, merasakan kesakitan yang luar bisa di punggungku. Berkedut sakit hingga ke jantung dan paru-paru. “A— a—“ Aku tak dapat mengatakan apa pun. Tak dapat menerikkan apa pun dan tak dapat mengeluarkan apa pun dari mulutku. Aku benar-benar terdiam dalam keadaan tubuh yang mengerang sakit dan tak berdaya. Satu-satunya yang kudengar hanyalah desahan napasnya yang bergemuruh dan berembus brutal. Mataku tertuju pada cahaya berwarna putih yang masuk lewat ventilasi ruangan lalu sejurus kemudian aku merasakan tarikan kuat yang membawa kedua kakiku menyentuh lantai. “Kau!” geramannya menggema hingga ke alam bawah sadarku. Dia mendekatkan wajahnya padaku hingga batang hidungnya tepat berada di depan hidungku. Aku merasakannya lagi. Desahan napas yang membrutal itu. Pandangan mata yang nyalang dengan tatapan murka. Lelaki itu mencengkeram kerah kemejaku sambil mencondongkan tubuhnya hingga dadanya tepat berada di depan dadaku. Sampai saat ini aku masih tak bisa mengeluarkan napas yang semakin lama, semakin menghabisi aku dari dalam. Kemudian entah bagaimana, entah apa yang terjadi di tubuhku. Aku berbatuk dengan keras dan menundukkan kepala. Dorongan yang kuat dari dalam lambung, membuat aku bisa bernapas kembali. Sekalipun sulit. Sekalipun paru-paruku rasanya seperti tersayat benda tajam dan tenggorokanku menggila dengan rasa sakit, aku tetap bernapas. Untuk sesaat dia tidak melakukan apa pun padaku dan membiarkan aku meraih kehidupanku kembali. Kemudian saat dia pikir aku telah terlalu bersenang-senang dengan oksigen yang baru saja kudapatkan, dia kembali menarik kerah bajuku dan memaksa aku untuk mendongakkan wajah. Pria itu menarikku ke dekatnya. Semakin lama, wajahnya semakin terlihat menyeramkan, tetapi entah apa yang terjadi padaku sehingga membuatku mendecih dan tersenyum mengolok. Otakku yang kehilangan oksigen selama beberapa detik mungkin rusak, sehingga aku tak ragu menantang bahaya di depanku. “Dasar pengecut!” Ucapan yang terlontar di mulutku terdengar sangat pelan. Parau dan penuh ketakutan. Sejujurnya aku juga tak tahu mengapa aku begitu lancang pada seseorang yang semenit lalu berniat untuk membunuhku. Namun, sekali lagi. Aku menegaskan bahwa otakku telah rusak sehingga aku tak bisa memikirkan apa pun dan bertindak karena pengaruh emosi. “Cuh!” Lelaki di depanku memejamkan matanya ketika aku meludahi wajahnya. Aku terkekeh seperti orang gila yang kesenangan melihatku bermain-main dengan bahaya. “Kau berani melakukan ini padaku karena kau tahu aku lemah, hah?” Dia terdiam dengan kepala tertunduk dan selama beberapa detik dia tidak memberikan reaksi apa pun. Melihatnya dalam keadaan seperti ini malah membuatku menyeringai sinis. “Kenapa? Max Belanger? Alasanmu melalukan ini padaku, apakah karena ....” Ucapanku begitu saja terhenti ketika alam bawah sadarku menangkap sesuatu yang berbahaya. Aku mematri tatapan pada gerakan di wajahnya yang secara perlahan mendongak. Wajahnya yang tegas tanpa ekspresi itu membuatku sekali lagi menyunggingkan seringaian. “Hell yeah! Jadi kau pria itu—“ Sekali lagi ucapanku terhenti sewaktu Max memutar tangan dan memasukkan lengannya di bawah daguku. Dia langsung menyasar tenggorokanku dan menekan pergelangan tangannya. “Akh!” Aku mengerang sakit dan memejamkan mata. Namun, naluri menyuruhku untuk tidak menyerah. Aku mendengkus dan memberanikan diri memandangnya. “Berani-beraninya kau!” Desisannya terdengar tajam. Penuh ancaman serta tatapannya yang mengintimidasi. Sesaat membuat nyaliku menciut, tetapi alam bawah sadarku sudah tak mau mengalah. Setidaknya aku bisa mengulur waktu dan memberikanku kesempatan untuk menunggu seseorang. “Ya!” tandasku. Dia menggeram dan menekan lengannya semakin ke dalam. Sekali lagi mencekik leherku hanya dengan satu lengannya yang kokoh. Untuk sesaat aku tersekat dan tak dapat melakukan apa pun. Dadaku seperti terbakar dan sedikit usahaku tak bisa membantuku untuk menarik oksigen ke dalam tubuhku. “Lep— phaskhan!” Aku mengencangkan rahang dan memaksa bagian tubuhku yang lain untuk bergerak. Aku hendak menendangnya, tetapi sepertinya pria ini sudah membaca gerakanku sehingga sebelum aku berhasil menyerangnya, dia telah lebih dulu menarik tanganku dan memutar tubuhku. “AKH!” Aku kembali meringis ketika dia menekan tengkuk dan wajahku ke dinding. Aku mendengar kembali desahan napasnya. Berembus brutal di depan telingaku ketika dia mendekatkan wajahnya pada salah satu sisi wajahku dan menahan segala pergerakanku di sana. “Kau pikir, kau bisa selamat, hah?!” Dia kembali berucap dengan nada penuh intimidasi. Dan tepat saat itu juga aku mendengar suara berderik yang timbul akibat gerakan pintu yang didorong. Mataku mendelik dan sudut bibirku berkedut. “He—“ Suaraku terhenti saat pria itu kembali membungkam mulutku. “Apa kau membawanya, Zach?” “Yeah!” “Hem. Kalau begitu tutup pintunya.” Mataku semakin terbelalak ketika mendengar suara beberapa orang lelaki yang berada di luar bilik ini. “Mmpht!” Aku menjerit, tetapi tangannya malah semakin kuat mencengkeram mulutku. Telapak tangan lelaki itu cukup besar sehingga dia mampu menekan daguku di saat ia membekap mulutku. Aku bernapas lewat celah kecil di atas telunjuknya. Lewat sudut mataku, aku melihat gerakan wajahnya yang menoleh ke samping. “Hmpt!” Dengan cepat dia memutar tubuh dan mendekatkan wajahnya lalu berbicara dengan nada mendesis tepat di depan telingaku, “Diam, atau kupatahkan lehermu!” Aku membelalak nyalang dan jika dia pikir dia bisa membungkam diriku, maka dia salah besar. Aku menggerakkan tanganku yang berada dalam cengkeraman tangannya, tetapi dia malah menekan tubuhnya ke arahku. Sekali lagi mataku mendelik. Aku terdiam selama beberapa detik ketika dia menindihku. Dia ... dia benar-benar melakukannya. Menempelkan dadanya ke punggungku dan menekanku untuk semakin menempel dengan dinding. Napasku sesak dan aku hanya bisa memejamkan mata. “Hei, Zach. Kau mendengar itu?” Jantungnya berkedut menyakitkan, sementara hatiku berdebar-debar panik. Ya kemarilah! Aku harap kalian mendengarkan jeritanku. Kemarilah dan selamatkan aku. Aku mohon! “Ada apa?” Seseorang bertanya dan naluri berkata bahwa orang-orang di luar sana tahu jika ada yang sedang mengurung diriku di dalam bilik. Come on! Kemari dan selamatkan aku! “Come check this!” Ucapan salah seorang lelaki di luar sana membuatku mendelik ke bawah. Kulihat bayangan sepasang langkah mendekat ke arah kami. Aku menggeram dan menggerakkan seluruh kekuatan yang aku miliki. Namun, sekali lagi dia menutupi semua penglihatanku dengan menempatkan wajahnya tepat di depan wajahku. “Ssshhhh....” Sekali lagi mataku terbelalak. Desisannya terdengar lembut, tetapi menakutkan. Dia berusaha membunuh keberanianku dan melenyapkan kesempatanku untuk bisa kabur dari cengkeramannya. “Oh my ... what the hell!” Ada gelak tawa yang kemudian menggema dari luar bilik. Aku sangat yakin bahwa mereka menyadari keberadaan kami dan semua itu terbukti saat salah satu dari mereka menekan pintu bilik ini. “Hei, yo! What the hell are you guys doing on there, huh?!” Seorang lelaki bertanya dan mengakhirinya dengan gelak tawa. Aku mendengar decak kesal dari Max. “f**k!” Dia memaki dan kembali menggerakkan wajahnya, menutupi wajahku. “Are you guys have fun on there ...?!” Dia kembali bertanya dan teman-temannya menyahut dengan gelak tawa. Brak!! Tendangan yang dibuat oleh orang-orang di luar sana membuatku tersentak dan Max kembali mendengkus. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya yang berdegup kencang, menampar punggungku serta desahan napasnya yang semakin memberat. Dia gugup. Aku tahu itu. Namun, Max sama sekali tak melonggarkan cengkeraman tangannya yang membekap mulutku. Malahan, dia semakin menggulung lengannya di leherku dan menekan telapak tangannya ke mulutku. Sial! Kesempatan bagus itu telah datang, tetapi aku sama sekali tak bisa bertindak karena Max tak sedikit pun memberikan celah bagiku untuk bisa menggerakkan seincih pun dari bagian tubuhku. Dia mengunci kedua tanganku di depan punggung dan menekan tubuhnya semakin menempel padaku. “Hei, we join with you guys ....?” “Hei, Neyo!” Gerakan yang menggedor pintu itu terhenti ketika seorang pria bersuara bas berat tiba-tiba berbicara. Aku tak pernah mendengar suara itu sejak tadi. Namun, sialan dengan dia karena entah apa yang sedang terjadi pada mereka, pria yang sedari tadi menggedor pintu itu tiba-tiba pergi. “Jangan ganggu kesenangan orang lain!” Aku mendelik dan menggeleng singkat. Tidak, tidak! Aku sedang tidak bersenang-senang. Apa yang dilakukan temanmu sudah benar. Biarkan dia mendobrak pintunya agar dia bisa menolongku. “Ayo kita pergi dari sini.” Mataku kian melebar. Tidak! Aku berteriak dalam hati. Kumohon jangan pergi! Menjerit dalam kebisuan. Hal terakhir yang aku dengar adalah desahan napas berat dan kasar kemudian disusul dengan suara derap langkah. Sial! Mereka pergi dan Max langsung menyunggingkan senyum penuh kemenangan. “Kau lihat?” Ia bertanya dengan nada berbisik dan dengan senyum mengejek. “kesempatanmu untuk hidup telah berakhir.” Aku kembali mendelikkan mata. “Hempt!” Kali ini aku mendapatkan kesempatan untuk menggoyangkan tanganku lalu mendengak kakiku ke belakang. Bukk “Akh!” Sekali lagi aku berhasil menendang alat vitalnya dengan tumitku dan kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Max terhuyung dan itu memberikanku kesempatan untuk bisa kabur. “HEI!” Dia berteriak dan tubuhnya bergerak dengan cepat. “Ck!” Aku berdecak bibir ketika satu tangannya berhasil menggapai pergelangan kakiku dan mencengkeramnya dengan kuat, tetapi aku masih punya satu kaki dan aku langsung menggunakannya untuk menginjak tangannya. “Akh!” Max kembali menggeram dan aku semakin kuat mengentak-entakkan kakiku supaya dia bisa melepaskan tanganku. Jantungku bertalu dengan kencang. Aku panik sekaligus takut. Tanganku bertumpu pada kedua sisi pintu dan aku mencengkeramnya dengan sangat kuat. Lalu, ketika aku melakukan tarikan napas panjang, aku pun mengumpulkan segenap tenaga yang kumiliki. BUK! “Aaargh!” Maximus menggeram dengan suara nyaring. Usahaku berhasil melepaskan cengkeraman tangannya dari pergelangan kakiku dan aku langsung berlari secepat mungkin meninggalkan tempat tersebut. Buk! Aku tak sengaja menabrak seseorang yang berada di luar toilet. “Hei, apa-apaan kau?!” Aku mengenal suara itu, tetapi aku tak bisa mendongak. “Maaf!” Dengan kepala tertunduk aku berlari sekencang mungkin dari tempat itu. Entah siapa itu tadi. Sepertinya salah satu dari beberapa pria yang sempat masuk ke toilet. Aku sudah tidak berniat untuk mengadu pada mereka, karena aku pikir itu akan sia-sia saja. Aku langsung berlari. Berlari sekuat tenaga, walaupun aku tak tahu harus ke mana. Aku hanya berlari. “Dannys!” Langkahku terhenti tepat ketika aku mendengarkan suara Kang Minho. Kuputar tubuhku, tetapi sudut mataku malah menangkap visual lain. “Hei, kau!” Mataku terbelalak dan aku memacu kakiku untuk berlari ke arah Kang Minho. “Dannys?” Aku melihat bibir Kang Minho bergerak, menyebutkan namaku. “Minho!” Aku berseru sambil mengangkat tangan ke udara. Kufokuskan seluruh atensiku pada Kang Minho dan berlari menghampiri dirinya. Sempat kulihat Kang Minho bergeming dan memindahkan tatapannya ke seberang dan mungkin aku tahu pada siapa arah tatapannya. Kulihat kedua sisi alis Minho melengkung ke tengah. Dadaku memberat dan tekanan jantungku telah melampau batasannya. Berdetak sangat kuat. Memompa adrenalin dan mengirim kekuatan lebih yang akhirnya membuatku tiba di depan tubuh Kang Minho. Tak ada pemikiran apa pun yang terlintas dalam kepalaku ketika aku menabrakkan tubuhku ke depan d**a Minho dan memeluknya. “Da— Dannys!” Kudengar Kang Minho menyebutkan namaku dengan nada penuh ragu-ragu, tetapi aku sedang tidak berani untuk memandangnya. Aku hanya terdiam sambil memeluk tubuh Minho dan membiarkan detak jantungku menggila. Tenggorokanku kering dan kepalaku berdengung pening. Namun, tak ada yang tahu bahwa aku sangat lega. Ya Tuhan, terima kasih. Akhirnya aku terlepas dari maut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD