“Ya ampun ya ampun, ini gimana aku mau keluar kamar kalau mataku ditutup begini? Gelap. Aku nggak bisa ngeliat apa-apa. Kalau aku buka, entar aku ngeliat penampakan lagi.” Je berjalan dengan langkah kecil yang diseret-seret. Dan ketakutannya terjadi juga, ia menubruk sesuatu yang keras dan berotot. Apa itu dinding? Ah, tidak. Yang ia tubruk tidak sekeras dinding, tapi sedikit lebih kenyal. Satu tangan Je menjulur memegang benda di depannya, sementara satunya masih nyaman menutup mata. Benar, yang ia pegang itu keras tapi agak kenyal. Seperti kulit manusia. “Udah?” Suara itu begitu dekat, tepatnya berasal dari depan Je. Tentunya suara Justin. Mata Je masih tertutup. “Bisa nggak kamu ketok pintu dulu sebelum masuk kamarku?” suara Justin semakin geram. Ternyata Je tidak