Balasan Untuk Sheila

2117 Words
Sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam tampak berhenti di pinggir jalan. Seorang pria berkacamata hitam dan menggenggam kepala tongkat yang duduk di bagian belakang mobil, tampak memperhatikan sebuah rumah kecil yang berada di seberangnya, padahal saat itu sudah malam, akan tetapi orang itu tidak sedikitpun melepaskan kaca mata. “Itu rumahnya?” tanya pria yang duduk di belakang pada supirnya. “Iya.” “Kelihatannya kosong?” “Memang terlihat seperti itu setiap hari, tapi gadis itu selalu ada di dalam. Dia jarang ke mana-mana. Biasa, sekitar jam sembilan atau sepuluh pagi, pacarnya datang, dan tidak keluar lagi sampai malam, bahkan kadang menginap di sana. Pacarnya akan tetap di sana, walaupun Sheila pergi bekerja.” “Ah …, ternyata seperti itu. Pantas kita sempat kesulitan mencari laki-laki itu.” “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”  “Untuk saat ini kita nggak perlu ngelakuin apa-apa, karena Ben yang akan urus.” “Oke. Terus sekarang gimana?” “Tetap di sini dan liat yang akan terjadi,” sahut pria berkacamata dengan suara dingin sambil mengeluarkan ponsel dan mengetik pesan. “Nggak ada seorang pun yang boleh menyentuh ataupun menyakiti orang yang saya sayang.” Pria berkacamata tetap duduk di dalam mobil dengan tenang, seperti sedang menunggu sesuatu. Lima belas menit kemudian, tampak sebuah mobil van berwarna hitam datang dan berhenti tepat di depan rumah yang sedang diperhatikan pria berkacamata. Empat orang pria dengan memakai penutup wajah turun dari mobil dan langsung memasuki halaman rumah. Satu orang pria berdiri di depan pintu, sementara tiga lainnya berdiri di dekat sana. Pria yang berdiri di depan pintu, menarik lonceng kecil yang ada di sebelah kiri pintu dan menunggu sampai seorang gadis membukakan pintu. “Cari siapa?” tanya Sheila pada pemuda tampan yang berdiri di hadapannya. “Kamu.” “Sa,” Belum sempat Sheila menjawab, tiba-tiba pemuda itu menarik tangannya dengan cepat, membalikkan badan Sheila dan langsung membekap mulut gadis itu dan menyeretnya ke arah mobil, sementara yang lainnya memasuki rumah untuk membawa Tony.  “Ayo jalan,” ujar pria berkacamata hitam setelah melihat Sheila dan Tony sudah dibawa pergi dengan mobil. “Kita ke mana?” “Pulang.” “Lalu mereka?” “Belum saatnya saya ke sana.” “Oke.” Pria yang duduk di belakang kemudi, menyalakan mesin dan menjalankan mobil meninggalkan rumah Sheila. Sepanjang perjalanan, beberapa kali pria pengemudi melirik ke belakang melalui kaca spion tengah. “Baru pernah gua liat muka dia dingin begitu,” batinnya. “Apa dia beneran marah?” Pria itu menghentikan mobil di depan sebuah villa yang berada di daerah Puncak, membunyikan klakson dan menunggu sampai seorang pria berusia pertengahan empat puluh membukakan pintu gerbang. Setelah mobil berhenti, pria di belakang membuka pintu dan turun dengan perlahan. Dia berjalan dengan kaki diseret dan dibantu tongkat menaiki undakan batu menuju ke pintu depan. Setelah tiba di dalam pria itu menaiki tangga dan menuju ke kamarnya untuk beristirahat. Dia sudah mendapat apa yang diinginkannya, dan akan melakukan sedikit permainan dengan kedua orang tadi, tapi nanti, jika saatnya sudah tepat. Pria itu mengeluarkan dompet dan mengambil foto yang selalu dia simpan. Tampak wajah cantik Amelia yang sedang tersenyum manis. Dia mengelus foto itu dengan penuh kasih, kemudian mengecupnya perlahan. *** Sheila membuka matanya dan memandang ke sekeliling dengan sedikit bingung. Dia tidak tahu berada di mana sekarang. Matanya tidak dapat melihat dengan jelas, karena ruangan cukup gelap. Tadi waktu dibawa dari rumah, matanya langsung ditutup begitu dia ada di dalam mobil, jadi Sheila tidak tahu ke mana mereka membawanya. Tadi dia sempat mendengar suara Tony sesaat, akan tetapi entah apa yang terjadi dengan pemuda itu, karena suasana mobil menjadi hening setelah itu. “Sebenernya gua di mana?” gumam Sheila. “Kenapa gua dibawa ke sini? Sebenernya ada apaan?” Sheila mulai dicekam rasa takut dengan kondisinya sekarang. Berada di ruangan gelap sendirian, dan dia juga tidak mendengar suara apapun dari arah luar ruangan. Sheila berdiri dan berjalan perlahan sambil meraba-raba sekeliling, akan tetapi dia tidak dapat memegang apapun kecuali dinding. Tidak ada apapun di sini. “Tony, elo di mana? Gua takut,” rintih Sheila. “Gua beneran takut.” Di sebuah ruangan Ardian dapat mendengar dengan jelas suara Sheila, karena Ardian dengan sengaja sudah memasang alat penyadap dan juga kamera pengawas di ruangan gadis itu. Ardian tersenyum sinis mendengar perkataan gadis itu. Ardian sengaja membawa Sheila dan Tony ke vila miliknya untuk sedikit bermain dengan kedua orang yang sudah meneror Amelia dan juga hampir mencelakakan gadis yang dicintainya.  “Ini belum seberapa,” gumam Ardian datar. “Tunggu saja waktunya.” Ardian tidak mendengar suara dari ruangan sheila lagi. Dia berjalan menuju rak buku, kemudian memutar sebuah patung kecil, dan dalam hitungan detik, rak buku berputar setengah lingkarang, tampak kamar tidur di depan. Ardia berjalan dengan langkah mantap meninggalkan ruang rahasia di belakangnya, dan tak lupa memencet sebuah kenop kecil sehingga rak kembali ke tempatnya semula.  Ardian berjalan ke tempat tidur dan duduk di sana. Dia melepaskan kacamata hitam yang sedari tadi dikenakan, dan meletakkannya di meja nakas. Kemudian, Ardian membuka dua kancing kemeja teratas nya, selanjutnya dengan perlahan, dia menarik kulit kepalanya yang botak. “Huft …, lega rasanya,” desah Jonathan sambil meletakkan topeng yang sudah dipakainya seharian. Jonathan merebahkan diri di tempat tidur bertopang kedua tangannya. Dia memikirkan kembali apa yang sudah dilakukannya selama ini pada Amel, gadis yang sejak dulu sudah mencuri hatinya. Sesungguhnya, jauh di dalam hati, Jonathan merasa menyesal sudah membohongi Amel, akan tetapi Jonathan merasa harus melakukannya . Dia ingin mengetahui, juga memastikan jika gadis yang dicintai, akan selalu setia padanya, apapun keadaan dirinya. Karena itulah, Jonathan melakukan hal itu.  “Kamu lagi apa sekarang Candy?” gumam Jonathan. “Pasti lagi kesel karena aku nggak ada di rumah.” Jonathan mengambil ponsel dari dalam saku celana, dan menghubungi Firman yang kemungkinan sedang berjaga di bawah. “Kenapa Jo?” “Elo di mana Bang?” “Gua baru masuk kamar. Elo perlu apaan?” “Gua bosen di kamar, kita ngobrol di teras Bang.” “Oke.” Bastian memutuskan sambungan telepon, bangun dari tempat tidur, mengambil jaket dan keluar dari kamar. Dia menuruni tangga dan berjalan ke arah kamar yang ada di dekat ruang makan. Jonathan menempelkan telinganya ke pintu. Dia mendengar suara isakan samar dari dalam. Setelah itu Jonathan berjalan ke dapur untuk membuat kopi, dan melihat Firman dan beberapa teman pria itu di sana. “Ngapain lo ke sini?” tanya Firman saat melihat Jonathan. “Bikin kopi, tapi ternyata udah elo duluan. Kalo gitu gua ke depan dulu.” Jonathan berbalik dan meninggalkan dapur. Dia berjalan menuju ke darah depan, membuka pintu dan menghampiri kursi rotan. Jonathan duduk dan memandangi langit malam.  “Ngelamun aja lo. Mikirin siapa? Amel?” ujar Firman sambil membawa baki berisi dua gelas kopi dan sepiring gorengan. “Gimana Tony?” tanya Jonathan setelah Firman duduk. “Baik-baik aja, cuma yang cewek kayaknya udah mulai takut, karena nggak berhenti nangis.” “ Iya, tadi gua sempet denger pas mau ke dapur. Biarin dulu aja sampe besok malam, biar dia kapok dan nggak gangguin Amel lagi.” “Mereka mau elo apain?” “Liat aja besok,” sahut Jonathan sambil mengambil pisang goreng. “Muncul sebagai siapa? Ardian?” “Hm. Kalo sebagai Jonathan, dia nggak akan pernah jera, malah mungkin akan makin menggila. Tapi dia kan nggak kenal Ardian, dan pasti akan syok kalo liat sosok Ardian.” “Betul juga,” ujar Firman. “Tapi ngomong-ngomong, sampe kapan elo mau begini terus ke Amel? Apa elo nggak kasian sama dia?” “Belum tau Bang. Mungkin setelah lulus, gua baru akan ngomong dan jelasin semuanya ke dia.” “Andai Amel udah tau, tapi dia marah dan malah berbalik benci ke elo gimana? Apa udah elo pikirin?” “Resiko Bang,” “Tapi gua bingung sama elo Jo, kenapa sih elo sampe harus ngelakuin hal itu? Nggak ada cara yang lebih baik untuk ngetes Amel?” “Gua punya trauma Bang, dan itu bener-bener bikin gua jadi alergi sama lawan jenis. Cuma Amel yang bisa bikin gua nyaman.” “Kalo gua boleh tau, emang elo ngalamin apa?” tanya Firman hati-hati. Walaupun dia sudah dekat dengan Jonathan, akan tetapi dirinya masih sungkan untuk bertanya tentang hal yang cukup pribadi. Selama mengenal Jonathan, pemuda itu sangat jarang menceritakan tentang kehidupannya, bahkan sampai hari ini, Firman belum pernah bertemu dengan keluarga Jonathan.  “Suatu hari pasti gua cerita Bang,” sahut Jonathan. “Nggak masalah. Senyaman elo aja.” *** “Kalian siapa?!” tanya Sheila sedikit takut saat Jonathan yang sudah berubah menjadi Ardian masuk ke dalam ruangan bersama Iwan, salah seorang teman Firman. Baik Jonathan, maupun Iwan tidak ada yang berbicara. Mereka hanya diam dan menatap tajam pada Sheila. Hal itu semakin membuat Sheila ketakutan, apalagi melihat sosok Ardian yang di matanya sangat menakutkan. Jonathan berjalan mendekati Sheila yang sedang duduk di tikar dengan langkahnya yang tertatih. Melihat Jonathan mendekat, perlahan Sheila beringsut mundur hingga menempel ke dinding. “Kenapa kamu mengganggu tunangan saya?!” tanya Jonathan dengan suara datar. “T-tu-nangan?” cicit Sheila. “Siapa tunangan kamu?” “Amelia Cantika Wongso!” “Amel?!” seru Sheila terkejut bukan kepalang. “Nggak mungkin! Selama ini dia selalu dekat sama Jonathan. Dan karena hal itu saya nggak bisa dapetin Jonathan!” Pernyataan Jonathan benar-benar membuat Sheila tidak dapat berkata-kata. Gadis yang selama ini dianggap sebagai saingan untuk mendapatkan hati Jonathan, ternyata sudah memiliki tunangan dengan wujud yang sangat menakutkan.  “Dapetin Jonathan?!” tanya Jonathan dingin. “Memang kamu pikir hati orang itu seperti benda yang dengan mudah bisa kamu dapatkan?!” “Bukan begitu maksud saya,” ralat Sheila cepat. “Tapi tunangan kamu nggak pernah mau lepasin Jonathan, selalu menempel ke dia, seperti gadis murahan!” “G-a-d–i-s m-u-r-a-h-a-n?!” desis Jonathan menahan emosi mendengar Amel dihina seperti itu. “Bukankah kamu yang sebenarnya adalah gadis murahan?!” “JANGAN SEMBARANGAN NUDUH!” jerit Sheila penuh amarah. Hilang sudah rasa takut Sheila demi mendengar hinaan yang keluar dari mulut pria menakutkan di hadapannya. Amarah dan kebencian yang sudah berakar di hati Sheila untuk Amel sudah mencapai puncaknya. Apalagi mengetahui kenyataan jika musuhnya sudah bertunangan, dan melihat penampilan pria itu, Sheila sangat yakin jika tunangan Amel pasti orang kaya. Rasa iri di hatinya semakin besar melihat betapa beruntungnya seorang Amel yang hidupnya tidak pernah susah. “Saya tidak sembarangan menuduh, ada bukti nyata jika kelakuan kamu memang seperti itu!” ujar Jonathan sambil melemparkan beberapa foto pada Sheila. Tangan Sheila gemetar saat melihat foto yang dilemparkan Jonathan. Gambar dirinya sedang dipeluk ataupun memeluk lelaki paruh baya yang berbeda-beda.  “Dari mana kamu dapetin ini?” tanya Sheila dengan suara gemetar. “Nggak perlu tau dari mana,” sahut Jonathan datar. “Yang perlu kamu lakukan adalah pergi menjauh dari hidup Amelia! Jika saya tau kamu berusaha melakukan hal yang dapat mencelakakan tunangan saya, maka foto-foto ini dan juga yang lainnya, akan saya sebarkan, sehingga kamu akan malu untuk keluar rumah! Ingat, saya punya orang-orang yang akan selalu mengawasi kamu! Mengerti?!” “I-iya.” “Jika kamu berjanji akan melakukan semua yang saya perintahkan, maka saya akan melepaskan kamu!” “I-iya,” sahut Sheila lagi. “Tanda tangani surat pernyataan!” Jonathan membalikkan badan dan berjalan ke arah pintu sambil memberikan kode pada Iwan untuk memberikan surat pernyataan pada Sheila. Setelah berada di luar kamar, Jonathan mengubah cara berjalannya. Jonathan berjalan ke sebuah kamar yang terletak di dekat ruang keluarga, dan masuk ke dalam, di mana sudah ada Firman menunggu di sana. “Udah beres?” tanya Firman. “Udah,” sahut Jonathan sambil duduk di sofa. “Tony gimana Bang?” “Tenang aja, dia juga udah diberesin sama temen gua.” “Kalo gitu ntar jam sembilan, bawa mereka pulang. Elo tetep sama gua.” Jonathan sengaja tidak mengijinkan Firman untuk turun tangan langsung karena Sheila pernah bertemu dengan pria itu saat membuka kedok gadis itu dan Rio. Jonathan tidak ingin mengambil resiko Sheila melihat Firman dan curiga jika semua ini adalah rencananya. “Menurut lo, Sheila masih akan ganggu Amel?” tanya Firman. “Kemungkinan besar nggak Bang. Karena itu anak sekarang tau kalo Amel udah punya tunangan. Malah mungkin bahagia karena tau tunangan Amel itu bentuknya kayak gini,” ujar Jonathan sambil menunjuk dirinya sendiri. “Iya sih, siapa juga yang mau punya suami yang bentuknya kayak gitu,” gumam Firman. Waktu pertama kali Jonathan muncul di kontrakannya dengan wujud seperti itu, sejujurnya Firman pun merasa mual. Namun, setelah mengetahui jika itu hanyalah sebuah samaran, perlahan Firman mulai bisa menerima keberadaan Jonathan jika sedang berubah menjadi Ardian. Dia saja mual dan ngeri, bagaimana dengan Amel dan yang lainnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD