Bukti Nyata

2055 Words
“Jo, gua udah dapet bukti. Bisa ketemu?” “Nanti malam gua ke tempat lo Bang.” “Jam berapa? Gua ada perlu dulu sampe jam tujuh an.” “Kalo gitu jam delapan gua ke tempat lo.” “Oke.” “Siapa Jo?” ujar Amel. “Temen.” “Siapa?” “Kepo banget sih Mel,” sahut Jonathan yang tidak ingin memberitahu siapa yang sudah menghubungi dirinya.  “Berarti ntar malem elo mau pergi?”  “Hm.” “Gua boleh ikut?” “Mana bisa, aku kan perginya malem. Lagian besok kan kamu masuk pagi.” “Ah elo curang Jo!” sahut Amel dengan nada merajuk. “Bukan aku curang, Mel. Cuma memang keadaannya nggak memungkinkan aku buat ajak kamu. Emang aku pernah larang kamu ikut, kalo nggak karena suatu alasan yang jelas? Begitu juga saat ini, aku bener-bener nggak bisa ajak kamu.” “Serah lo aja!” sahut Amel sambil berdiri dan mengentakkan kaki sebelum meninggalkan Jonathan di gazebo sendirian. Jonathan mengembuskan napas melihat kelakuan gadis itu. Akhir-akhir ini emosi Amel memang sedang tidak baik, dan Jonathan dapat memahami hal itu. Pasti Amel merasa terganggu dengan teror yang kembali terjadi,padahal sudah sempat terhenti selama enam bulan. Sebulan yang lalu, teror kembali terjadi untuk Amel. Saat itu ada kiriman buket bunga untuk Amel, akan tetapi di dalam buket ada terselip seekor cicak mati, binatang yang paling ditakuti oleh Amel. Tidak lama berselang ada kiriman kue dari sebuah toko kue terkenal yang dikirim untuk gadis itu. Saat dibuka, di dalamnya kembali ada seekor cicak yang sudah mati. Dan yang terakhir baru terjadi minggu lalu, dan itu yang terparah karena hampir membuat Amel mengalami kecelakaan. Jonathan langsung turun tangan untuk mencari siapa yang sudah kembali melakukan hal itu. Dibantu Firman, dia terus mencari, akan tetapi belum berhasil. Ditambah Sheila sekarang sudah pindah rumah dan mereka berdua belum berhasil menemukan alamat baru gadis itu.  Jonathan bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan gazebo. Dia memilih pulang, mengambil kunci motor dan pergi menuju ke kantor Christ. Ada beberapa hal yang ingin Jonathan diskusikan dengan pria itu. Tiba di kantor Christ, seperti biasa dia langsung naik ke lantai atas, dan berjalan langsung menuju ruangan Christ. “Lagi sibuk nggak Om?” tanya Jonathan sambil melongokkan kepala ke dalam ruangan Christ. “Oh kamu, tumben ke sini? Ada apaan? Masuk Jo.” Jonathan membuka pintu  lebih lebar dan masuk ke dalam dan berjalan ke arah meja kerja Christ, menarik kursi dan duduk di hadapan pria itu. “Kenapa Jo?” “Gapapa Om, bosen aja di rumah.” “Kamu bisa bosen di rumah? Kamu nggak salah makan kan? Coba jujur sama Om, kamu lagi kenapa? Gimana rencana kamu? Masih berjalan lancar kan?”  “Sejauh ini masih berjalan dengan lancar, dan semoga terus lancar sampe akhir.” “Kamu yakin nggak akan ada masalah nantinya?” “Semoga nggak Om. Cuma dengan cara begini aku bisa mastiin semua apa memang bener dia yang terbaik.” “Andai terjadi kesalahan, dan semua jadi berantakan gimana?” “Seharusnya sih nggak. Buktinya sampe hari ini semuanya berjalan lancar.” “Terus apa rencana kamu selanjutnya?” “Sejauh ini belum ada Om. Jo lagi fokus kuliah, karena bentar lagi kan harus mulai magang, dan masih mikir mau di mana.” “Kenapa nggak di resort aja? Kan lebih enak.” “Kalo udah nggak ada pilihan lain, mungkin Jo bakal ke sana. Tapi kayaknya Bali juga enak.” “Terus Amel gimana? Bukannya itu anak nggak bisa jauh-jauh dari kamu?” “Tergantung dia lah. Kalo dia mau ikut, silakan, kalo nggak ya berarti kita magangnya beda tempat. Karena setau Jo, temen-temennya ada yang mau magang di Singapur, Bandung, Jakarta.” “Brenda gimana?” “Ba,” Baru saja Jonathan akan menjawab pertanyaan Christ, ponselnya bergetar. Jonathan mengeluarkan dari saku celana untuk melihat siapa yang menghubunginya. Ternyata Amel.  “Om, Jo jawab telepon dulu.” Jonathan beranjak dari kursi dan berjalan ke sofa, sambil menggeser tombol hijau di layar ponsel. “Kenapa Mel?” “Gua di rumah lo, dan ternyata elo nggak ada! Elo ke mana?!” “Di kantor Om Christ, kenapa?” “Bohong!” Jonathan mengembuskan napas mendengar nada suara Amel yang terdengar emosi. Jonathan berjalan menghampiri meja kerja Christ dan memencet tanda pengeras suara. “Orangnya ada di depan aku, ngomong aja langsung, biar percaya.” “Kan elo bisa suruh orang lain ngaku-ngaku jadi Om Christ!” “Kalo ini suara siapa Mel?” ujar Christ tenang. Amel langsung terdiam saat mendengar suara Christ di seberang. Dia tidak menyangka jika Jonathan menggunakan pengeras suara, dan itu membuatnya jadi merasa malu karena sudah menuduh Jonathan. “Maaf Om. Amel pikir Jojo lagi di rumah temennya.” “Nggak masalah. Tapi sejak tadi Jonathan memang ada di sini, lagi ngobrol sama Om. Kamu ada perlu sama Jonathan?” “Nggak juga Om. Tadinya mau minta Jojo temenin ke minimarket di depan.” Christ tersenyum kecil mendengar jawaban Amel. Gadis keras kepala, galak, dan jarang mengenal takut, tetapi juga sangat manja terhadap Jonathan.  “Kalo kamu mau tunggu, aku pulang sekarang Mel. Nanti aku anterin, mau?” “Mau.” “Ya udah, bentar lagi aku pulang. Kamu tunggu aja di kamar aku.” “Okey.” Amel mematikan panggilan telepon dan langsung melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur Jonathan. Sebenarnya dia masih kesal dengan Jonathan yang tidak mau mengajaknya pergi nanti malam, tapi Amel juga tidak tahan marah lama-lama dengan pemuda itu. Apalagi dengan kondisinya sekarang, di mana Amel takut untuk keluar rumah sendiri, sejak ada kejadian sebuah motor hampir saja menabraknya dengan sengaja seminggu yang lalu. “Lia, kamu mau ke mana?” tanya Laras saat melihat putrinya berjalan ke arah depan rumah. “Mau beli cemilan di depan Mam. Kenapa? Mau titip?” “Sendiri?” “Iya, kan cuma ke depan doang.” “Kenapa nggak minta temenin Jojo atau Brenda?” “Nggak ah, Amel lagi mau sendiri, itung-itung sekalian olahraga.” “Ini udah jam tujuh Lia. Kamu bawa mobil aja gih.” “Nggak mau Mam. Amel lagi beneran pengen jalan.” Amel berjalan meninggalkan Laras dan membuka pintu depan, kemudian menutupnya kembali. Dia sedang ingin berjalan-jalan sendirian, menikmati langit malam. Siapa tahu udara malam dapat membuat hatinya sedikit lega, mengingat jika sebentar lagi akan magang, kemudian lulus. Berarti tidak lama lagi, mau tidak mau Amel harus menikah dengan Ardian, pria yang sampai hari ini belum mampu dia cintai.  Amel masuk ke dalam minimarket dan mengambil beberapa keripik, kemudian berpindah tempat dan mengambil beberapa batang cokelat kegemarannya. Setelah selesai, Amel berjalan ke meja kasir dan membayar semua belanjaannya. Amel keluar dari toko dan berjalan kembali ke rumahnya.  Amel terus berjalan tanpa menyadari jika sebuah motor sudah mengikuti dirinya sejak dia keluar dari minimarket. Di pertigaan jalan yang mengarah ke rumahnya, sepeda motor itu menambah kecepatan dan mengarah luruh pada Amel yang berjalan agak di tengah jalan. Amel benar-benar tidak tahu karena motor itu sengaja mematikan lampu kendaraan. Saat motor itu hampir mengenai Amel, ada seseorang yang menariknya ke pinggir, hingga motor itu hanya menyerempet tubuh bagian kanan Amel. Motor itu sempat berhenti, akan tetapi langsung tancap gas saat melihat Jonathan, yang menolong Amel tepat pada waktunya bersiap mengejar.   “Kamu gapapa Mel?” tanya Jonathan sambil kembali berjongkok di samping Amel. “Sakit,” rintih Amel pelan.  Jonathan memeriksa tubuh Amel dan melihat bagian siku kanan gadis itu tampak memerah, mungkin akibat hantaman stang motor. Ada luka di siku dan betis kiri Amel, akibat terjatuh saat ditarik oleh Jonathan. “Kamu bisa jalan?” tanya Jonathan dengan lembut. “Sakit semua,” isak Amel pelan. Tanpa banyak bicara, Jonathan menggendong Amel di punggung dan membawa gadis itu ke rumah. Seluruh anggota keluarga Amel terkejut saat melihat gadis itu pulang dalam keadaan terluka dan menangis. Setelah Jonathan menjelaskan masalahnya, Thomas langsung menelepon bagian keamanan komplek untuk mencari tahu siapa yang melakukan hal seperti itu pada putrinya. Sejak itulah Amel menjadi takut untuk pergi sendirian, bahkan ke minimarket yang letaknya tepat sejajar dengan gapura masuk komplek perumahan. Sambil menunggu Jonathan datang, Amel membaca komik milik pemuda itu, akan tetapi tidak lama kemudian, dirinya sudah terlelap dan tidak mengetahui ketika Jonathan datang.  Saat Jonathan masuk ke dalam kamar, hal pertama yang dilihatnya adalah Amel yang tertidur pulas di tempat tidur dengan posisi kaki berada di bagian kepala ranjang. Jonathan menghampiri Amel dan duduk di karpet, kemudian meletakkan kepala di tempat tidur, dan memandangi wajah Amel yang terlihat sangat cantik dan imut. Jonathan mengulurkan tangan dan merapikan rambut Amel yang menutupi pipi gadis itu. Amel bergerak dalam tidurnya karena merasakan sentuhan tangan Jonathan. Tidak lama kemudian, dia membuka mata dan melihat wajah Jonathan. “Kenapa nggak bangunin gua?” tanya Amel dengan suara serak. “Nggak tega. Kamu keliatan cape banget.” “Gua cape karena nungguin elo nggak pulang-pulang.” “Kita jadi mau pergi?” tanya Jonathan lembut. “Jadi lah,” sahut Amel cepat sambil merubah posisi menjadi duduk. “Emang kamu mau beli apa?” “Banyak.” “Ya udah kalo gitu kamu cuci muka, nyisir, terus kita pergi. Aku tunggu kamu di bawah ya.” Jonathan mengacak rambut Amel sebelum berlari keluar kamar dan meninggalkan gadis itu. Jonathan masih sempat mendengar teriakan Amel. Jonathan menunggu Amel di teras sambil membaca pesan-pesan yang masuk di ponselnya. “Ayo Jo,” ujar Amel. “Oke. Kamu mau jalan apa naik motor?” “Jalan aja.” Jonathan beranjak dari kursi teras dan menggenggam tangan Amel. “Ayo.” Amel mengikuti langkah Jonathan yang berjalan ke arah pintu gerbang. Mereka berjalan menuju ke minimarket sambil terus berpegangan tangan. Amel benar-benar merasa bahagia sore itu, apalagi Jonathan tidak sedikitpun beranjak dari sisinya, bahkan saat di dalam minimarket. Setelah selesai berbelanja, Jonathan mengambil alih semua kantong plastik Amel dan membawanya dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya digunakan untuk menggandeng Amel hingga mereka tiba kembali di rumah. “Elo mau ke mana?” tanya Amel saat melihat Jonathan membalikkan badan. “Pulang.” “Nggak makan malam dulu di sini?” “Nggak. Kan aku mau pergi Mel. Makannya nanti aja kalo urusan udah beres. Kamu jangan lupa makan, mandi dan langsung istirahat ya. Kalo aku nggak kemaleman, nanti mampir.” “Oke. Hati-hati di jalan.” Jonathan berbalik dan berjalan meninggalkan rumah Amel menuju ke rumahnya sendiri. Setelah mandi, Jonathan kembali pergi menggunakan motor menuju ke kontrakan Firman. Tidak lupa dia membeli makanan untuk dinikmati bersama pria itu di sana. Karena membawa motor, Bastian memarkir motornya tepat di depan teras kontrakan pria itu yang cukup luas. Jonathan mengetuk pintu, yang langsung dibuka oleh Firman.  “Masuk Jo.” “Elo belum makan kan Bang? Gua bawa nasi goreng sama martabak.” “Kalo pun udah makan, perut gua masih bisa muat makanan banyak, apalagi kalo gratis, siapa yang bakal nolak.” “Kalo gitu, ayo kita makan sambil ngobrol.” Jonathan meletakkan bungkusan berisi makanan di atas meja, kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil piring dan sendok. Sementara Firman membuat teh panas untuk mereka berdua.  “Elo punya bukti apa Bang?” tanya Jonathan. Firman mengambil tas ransel miliknya dan mengeluarkan amplop cokelat, kemudian menyerahkannya pada Jonathan yang langsung meletakkan piring yang sedang dipegang. Jonathan membuka amplop dan mengeluarkan isinya. Wajah Jonathan mengeras saat melihat foto di tangannya.  “Jadi bener ini semua ulah Sheila?” tanya Jonathan datar.  “Iya, tapi semua nggak ada sangkut pautnya sama Rio. Dia ngelakuin itu semua dibantu sama Tony, pacarnya yang sekarang.” “Terus Rio gimana?” “Gua udah cari tau, dan dia beneran bersih. Seperti dugaan gua dulu, Rio beneran jadi jatuh cinta sama Amel.” “Elo tau di mana tempat tinggal ini cowok?” “Tau. Gua juga tau tempat tinggal Sheila yang sekarang, dan apa dia tetep ngelakuin pekerjaan yang waktu itu kita liat supaya bisa punya uang buat ngelakuin ini semua.” “Nggak usah elo kasih tau, gua udah tau Bang.” “Terus elo mau ngelakuin apa?” “Bukan gua yang bakal beresin Bang,” sahut Jonathan tenang. Firman mengerutkan kening mendengar jawaban pemuda itu. “Jangan bilang ….” Firman tidak melanjutkan perkataannya, matanya terus menatap Jonathan yang terlihat sangat tenang, hanya saja pancaran mata pemuda itu terlihat sangat dingin. “Elo pasti tau kan Bang,” sahut Jonathan dingin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD