Teror Terus Berlanjut

1870 Words
“KAK AMEL, ADA PAKET!” seru Brenda dari lantai bawah. Amel yang sedang duduk di karpet di ruang tivi lantai atai, bergegas bangun dan berlari menghampiri void. “Dari?” tanya Amel sambil memandang Brenda yang berada di bawahnya. “Nggak tau, nggak ada nama pengirimnya,” sahut Brenda setelah membalik paket berbentuk kotak sebesar kotak sepatu. “Tolong bawain ke atas Cha,” ujar Amel yang malas untuk turun. “Enak aja, ambil sendiri!” sahut Brenda. “Jadi orang jangan suka males!” Brenda melenggang meninggalkan Amel yang masih berdiri di atas, kemudian meletakkan paket di atas meja buffet. Amel mengembuskan napas kesal melihat kelakuan adiknya. Sambil mengentakkan kaki, dia berjalan ke tangga dan turun. Setelah paket berada di tangannya, Amel berjalan ke arah ruang keluarga, duduk di sofa dan membalik-balikkan kotak di tangannya.  “Siapa yang ngirimin gua ini?” gumam Amel sambil menggoyang-goyangkan kotak untuk mendengar suara dari dalam.  Penasaran, Amel merobek bungkus luar paket dengan sembarang. Setelah selesai dengan kertas pembungkus, tampak dus sepatu yang langsung dibuka oleh Amel. “KYAAA…!” Amel menjerit histeris melihat isi dus dan langsung melemparnya. Dengan tangan gemetar, Amel menutupi wajahnya. Tubuhnya bergetar hebat karena takut setelah melihat isi paket.  “Lia, kamu kenapa?” ujar Laras yang barusan berlari dari dapur karena mendengar teriakan putrinya. “Kak, elo kenapa?!” seru Brenda dengan napas terengah-engah.  Beberapa asisten rumah tangga juga ikut berlari mendatangi ruang keluarga untuk melihat apa yang terjadi pada Amel.  “I-itu,” ujar Amel lirih sambil menunjuk ke arah paket yang tergeletak di lantai marmer. “Ihhh …!” beberapa ART berseru lirih saat melihat ke arah yang ditunjuk Amel. “Itu apaan?” bisik beberapa ART lainnya. “Lia itu siapa yang kirim?” tanya Laras sambil menatap ngeri ke arah boneka perempuan yang tampak mengerikan dengan warna merah seperti darah memenuhi wajah dan baju boneka. Amel hanya mampu menggelengkan kepalanya. Dia tidak sanggup bicara, bahkan tubuhnya gemetar karena rasa takut yang amat sangat. Brenda yang sudah pulih dari rasa kaget, langsung mengetik pesan untuk Jonathan. Brenda : kak tolong ke rumah sekarang Brenda : penting!!!!! Jonathan yang sedang berbaring di rumpu menikmati sinar matahari sore di taman samping, langsung mengambil ponsel yang berada di sampingnya dan membuka pesan dari Brenda. Tanpa banyak bicara, Jonathan bangkit berdiri, berlari, dan langsung membuka pagar pembatas. Jonathan berlari sampai tiba di ruang keluarga dan hal yang pertama dia lihat adalah Amel yang duduk meringkuk di sofa, dipeluk erat oleh Laras. Melihat kehadiran Jonathan, Brenda bergegas menghampiri dan berdiri di samping Jonathan. “Kak,” bisik Brenda. Jonathan menoleh ke kanan dan melihat Brenda sedang menatapnya. “Ada apaan?”  “Tuh liat,” sahut Brenda pelan sambil menunjuk ke arah boneka. Jonathan mengikuti jari Brenda dan melihat sebuah boneka tergeletak di lantai. Penasaran, Jonathan berjalan menghampiri dus sepatu dan berjongkok. Saat akan mengambil boneka, Jonathan melihat selembar kertas yang tergeletak di sana. Jonathan mengambil kertas dan membacanya. Seketika wajahnya mengeras setelah melihat isi pesan yang tertulis. AKAN SEPERTI INI NASIB KAMU!!! DASAR GADIS MURAHAN!!!!! Jonathan berdiri dengan memegang kertas dan boneka di tangannya. Dia kembali ke arah sofa dan menatap Amel sekilas. Hatinya terasa nyeri saat melihat wajah Amel yang sangat pias. “Cha, ikut Kakak sebentar,” ujar Jonathan dengan suara pelan. Jonathan meninggalkan ruang keluarga tanpa menoleh ke arah Amel lagi. Dia berjalan ke depan, dan pulang ke rumah. Brenda mengikuti dari belakang, dan tetap menjaga jarak dari Jonathan. Dia merasa takut melihat wajah Jonathan yang tampak kaku dan dingin. Baru kali ini Brenda melihat Jonathan seperti itu. Brenda mengikuti Jonathan yang baru saja masuk ke dalam ruang kerja Handoko. “Kamu tau siapa yang ngirim ini Cha?” tanya Jonathan setelah Brenda masuk ke dalam ruangan. “Nggak Kak, tapi mungkin Pak Atmo tau. Karena tadi dia yang ngasih itu paket ke Chaca.” Jonathan terdiam mendengar perkataan Brenda. Masalah foto saja belum selesai, sekarang ditambah dengan boneka yang dengan sengaja dilumuri darah ayam. Jonathan benar-benar merasa marah karena bisa kecolongan seperti sekarang.  “Kalo gitu biar nanti Kakak tanya sama Pak Atmo. Kayak titip Amel ya Cha, tolong temenin dia dulu.” “Emang Kakak nggak mau ke rumah?” “Nanti Kakak ke sana. Sekarang Kakak ada perlu dulu di sini. Kalo kamu nggak keberatan, tolong pulang dan temenin Amel dulu. Kalo dia tanya Kakak, bilang aja nanti pasti ke sana.” “Oke,” sahut Brenda. “Kalo gitu Chaca pulang dulu.” Begitu Brenda pergi, Jonathan mengeluarkan ponsel dan menghubungi Firman. “Halo Bang, elo ada di mana sekarang?” ujar Jonathan saat Firman menjawab panggilannya. “Gua masih kerja Jo, kenapa?” “Gua ada perlu.” “Kenapa? Kok kedengerannya serius?” “Barusan Amel dapet kiriman lagi, dan kali ini lebih parah.” “Elo ke kontrakan gua aja,” ujar Firman. “Bentar lagi gua selesai kerja.” “Oke. Makasih Bang.” Jonathan keluar dari ruang kerja Handoko, berlari ke atas dan menaiki dua anak tangga sekaligus, Dia ke kamar, mengambil dompet, jaket dan kunci motor. Tidak lupa dia membawa boneka dan surat ancaman. Jonathan sengaja memilih menggunakan motor karena sekarang saatnya orang-orang pulang kerja, dan jalanan pasti macet, sedangkan dia sedang buru-buru. Sebelum pergi ke kontrakan Firman, Jonatan mampir ke rumah Amel untuk menemui Atmo, petugas keamanan yang menjaga rumah gadis itu. Jonathan memarkir motor di depan gerbang. Atmo yang melihat kedatangan Jonathan, berjalan untuk membukakan gerbang. “Pak, saya nggak masuk,” ujar Jonathan saat melihat Atmo hendak mendorong gerbang. “Lho, kenapa? Nggak mau ketemu Non Amel?” “Nggak. Saya mau ngobrol sebentar sama Bapak.” “Ada apaan ya?” tanya Atmo sedikit bingung. “Tadi kata Brenda, Bapak yang terima kiriman paket buat Amel?” “Iya. Emang ada masalah?” “Bapak kenal siapa yang ngirim?” “Nggak Den. Bapak juga baru pernah liat itu anak,” sahut Atmo apa adanya. “Anak? Maksudnya dia masih kecil?” “Nggak juga sih, mungkin sekitar umur belasan mau dua puluhan lah,” sahut Atmo menjelaskan. “Ciri-cirinya kayak gimana Pak? Inget nggak?” cecar Jonathan. “Mm …, tingginya kira-kira sekepala kamu, terus kulitnya sawo matang gitu, cuma mukanya nggak jelas Den, karena ketutup sama topi.” “Susah juga,” gumam Jonathan. “Apaan Den?” tanya Atmo yang tidak dapat mendengar dengan jelas. “Gapapa Pak. Saya titip aja, kalo ada orang yang dateng kirim paket atau apapun buat Amel, tolong jangan dikasih ke dia ya Pak. Tolong kasih ke saya dulu, bisa?” “Siap Den, sahut Atmo. Atmo sudah bekerja di keluarga Amel sejak gadis itu masih kecil, dan sudah sangat lama mengenal Jonathan. Atmo menyukai Jonathan yang selalu ramah dan bersikap sopan pada yang lebih tua. Dia juga tahu jika pemuda yang berdiri di hadapannya sudah dianggap seperti anak sendiri oleh majikannya, dan kerap membantu keluarga Amel. Dan Atmo yakin jika permintaan Jonathan barusan pasti karena telah terjadi sesuatu pada Amel. “Kalo gitu saya pamit dulu Pak,” ujar Jonathan. *** “Udah lama Jo?” tanya Firman saat melihat Jonathan tengah duduk di kursi rotan di depan kontrakannya. “Belum Bang. Tumben telat?” “Gua beli makanan dulu,” sahut Firman sambil menunjukkan kantong kresek pada Jonathan.  Firman mengambil kunci dan membuka pintu rumahnya. Jonathan mengikuti dari belakang dan langsung duduk di tempat biasanya. Jonathan menyandarkan punggungnya ke dinding sambil memejamkan mata. “Minum dulu Jo,” ujar Firman sambil meletakkan dua botol minuman dingin dan dus berisi martabak serta satu kantong kresek di meja. “Kenapa muka lo kusut begitu?” Jonathan mengambil tas ransel miliknya, mengeluarkan bungkusan, dan menyerahkannya pada Firman. “Liat aja sendiri Bang.” Firman membuka bungkusan dan langsung mengernyitkan hidung saat mencium aroma yang keluar dari dalam bungkusan. Firman mengeluarkan boneka dan memandangi rupa barang di tangannya.  “Ini yang bikin muka lo kusut?” tanya Firman setelah membaca kertas berisi pesan ancaman. “Hm, begitulah. Gua beneran penasaran ini ulah siapa Bang,” ujar Jonathan. “Masalah foto aja kita belum yakin itu ulah Sheila, sekarang nambah ini.” “Kalo bener ini ulah Sheila, berarti sekarang dia udah lebih pinter sampe kita juga nggak bisa dengan cepet dapetin bukti.” “Gua rasa ini bukan hasil pemikiran Sheila. Gua yakin ada orang yang bantuin dia, dan orang itulah yang ngajarin Sheila.” “Terus apa langkah lo?” tanya Firman. “Kita harus mulai bergerak Bang, dan bagi-bagi tugas.” “Kapan?” “Secepatnya Bang.” “Oke, kalo gitu biar gua kerahin anak-anak.” “Salah satu temen lo yang paling bisa dipercaya, tolong suruh ikutin Amel Bang.” “Kenapa elo nggak minta bantuan sama,” “Belum saatnya Bang. Untuk saat ini, gua masih bisa tanganin, tentunya dengan bantuan elo. Itu akan jadi kartu terakhir di saat emang udah nggak ada jalan lagi,” sela Jonathan. “Baiklah,” sahut Firman. “Gimana elo aja Jo.” Sejak awal, Firman sudah tahu tentang sebuah rahasia Jonathan yang menurutnya sangat tidak masuk akal. Melihat betapa rapihnya Jonathan mengatur dan menjalankan rahasianya itu, membuat Firman tidak mampu berkata-kata dengan cara berpikir pemuda itu. Karena itu dia sangat yakin jika Jonathan pasti bisa secepatnya menyelesaikan masalah ini.  “Terus gimana kondisi Amel? Gua yakin dia pasti syok banget.” “Bukannya syok lagi Bang,” sahut Jonathan sambil menggertakkan gigi mengingat wajah Amel tadi. “Gua pasti kasih balasan yang setimpal buat orang yang udah bikin Amel sampe kayak tadi.” “Terus kenapa elo ke sini? Kenapa nggak temenin dia?” “Ntar gua juga ke sana. Untuk saat ini lebih penting nyari tau siapa dalang di balik ini semua.” Jonathan masih tinggal cukup lama di kontrakan Firman dan membahas rencana yang akan mereka lakukan untuk mencaritahu pelaku teror terhadap Amel. Sekitar pukul sembilan, Jonathan memutuskan pulang, karena teringat janjinya pada Brenda yang akan menemui Amel.  Setiba di rumah, Jonathan langsung pergi ke sebelah, dan mendatangi kamar Amel melalui balkon. Jonathan mengintip dari luar pintu kaca dan melihat Amel yang sudah tertidur dan Laras yang duduk di tepi tempat tidur.  Jonathan membuka pintu kaca dengan perlahan, dan berjalan menghampiri tempat tidur. Laras tersenyum melihat kedatangan Jonathan.  “Kamu ke mana aja? Dari tadi Lia nyariin kamu.” “Maaf Mam, tadi Jojo ada urusan dulu. Amel udah lama tidurnya?” “Baru Jo, itupun setelah Mama kasih obat. Dari tadi dia nangis terus, dan sempet histeris. Mama udah bingung mesti apa.” “Papa ke mana Mam?” “Kan belum pulang dari Surabaya.” “Mama udah makan?” “Belum sempet Jo.” “Kalo gitu Mama makan dan istirahat ya. Mama keliatan cape banget.” “Kamu nginep?” “Iya Mam. Jojo yang bakal temenin Amel di sini.” “Kamu udah makan?” “Udah tadi.” “Ya udah, kalo gitu Mama keluar dulu ya. Mama titip Lia ya Jo.” Setelah Laras keluar dari kamar, Jonathan duduk di karpet dan memandangi wajah Amel. Tampak bekas jejak air mata di pipi gadis itu. Jonathan mengulurkan tangan dan mengusap pipi Amel dengan lembut. “Kamu tenang aja Candy, aku pasti bakal bikin jera orang yang udah ngelakuin ini ke kamu,” gumam Jonathan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD