Kekacauan Baru

1004 Words
Elang mengumpat karena melewatkan waktu terbaik untuk trading bitcoin. Hilang sudah kesempatannya meraup dolar dalam jumlah besar. Bayi itu telah merusak konsentrasinya. Telah menghilangkan rezeki nomploknya. Elang menatap kamar mandi di pojokan. Ia segera mengangkut laptop-laptopnya ke sana, lalu menutup pintu rapat-rapat. Lumayan, dari sini suara tangis sedikit teredam. Elang bisa melanjutkan jadwal trading-nya dengan tenang. "Sial!" Elang mengumpat lagi karena ternyata waktu terbaik untuk trading kembali terlewat. Beberapa dolar kembali melayang akibat tangisan bocah itu. Elang rugi besar! Lagipula ke mana Yas? Anaknya menangis bukannya ditenangkan. Jangan-jangan Yas sudah tidur nyenyak, membiarkan anaknya yang kelaparan menangis sendirian. Elang berusaha mengatur konsentrasi lagi. Ia harus mengesampingkan emosi yang sedang memuncak, atau ia akan ketinggalan waktu terbaik trading lagi. Dan otomatis akan rugi lebih besar. *** Kamar Yas. Ia tergopoh-gopoh masuk kamar, tangan kanannya sibuk mengocok s**u dalam botol. Bayinya masih menangis keras. Yas melirik jam yang menunjukkan pukul dua dini hari. Perlahan ia meminumkan s**u itu pada si kecil. Seketika Nam ira terdiam, memi num susunya dengan antusias. Pemadangan seperti ini tak pernah gagal membuat Yas tersenyum. "Semangat banget nyedotnya, Sayang. Udah botol yang ke berapa ini? Jangan rakus-rakus, nanti kamu gendut." Yas terkikik karena kata-katabnya sebndiri. "Nami malem ini rewel banget, sih. Nami pasti ngerti, ya, kalau hari ini adalanh hari terakhn ir Nami bisa gelen dotan seharian sama Ayah." Yas menatap putrinya dengan pandangan yang sendu. Keberat ban dengan fakta bahwa mulai besok ia berpisah dengan Nam ira. Tapi mau bagaima na lagi? Keadaan hidup keluarganya saat ini menuntutnya untuk berkoban banyak hal. Termasuk mengorbankan h al paling penting dalam hidupnya. Yas berusaha tak keberatan. Berusaha ikhlas. Hanya ini yang bisa ia lakukan untuk menebus kesalahan besarnya di masa lalu. Ia harus bertanggungjawab atas segala yang telah ia lakukan. Ia harus menukar milik adik-adiknya yang harus terampas akibat keputusan bodohnya dulu. Namira akhirnya tertidur, tapi anak itu masih senantiasa minum s**u dengan semangat penuh. Yas menatap wajah polos putrinya. Perlahan senyuman Yas memudar. Penyesalannya mungkin tak akan pernah hilang selamanya. Ia merasa begitu bersalah pada mendiang orangtuanya, adik-adiknya, dan putrinya. *** Tepat jam lima pagi. Yas keluar dari dapur membawa panci stainless steel lengkap dengan sendok sayur. Ia mulai memukul-mukulkan sendok itu pada p****t panci. Menimbulkan suara bising yang mengganggu. Yas terus melakukan aksinya tanpa henti. Kakinya mengayun menaiki tangga. Ia menuju kamar Elang terlebih dahulu—karena jaraknya lebih dekat. "Lang, bangun, Lang!" Yas memukul-mukul p****t panci. "Elang!" Yas berusaha membuka pintu tapi tidak bisa karena dikunci dari dalam. Sepertinya ia harus membuat duplikat kunci semua ruangan rumah. Meskipun sebenarnya duplikat itu pasti sudah ada, tapi mendadak raib karena bertumpuk dengan semua sampah dan kekacauan, maha karya kedua adiknya. Yas kembali mengayunkan kakinya. Kali ini menuju kamar Theo, sembari tetap memukul p****t panci. "Theooooo! Bangun, udah jam tujuh ini!" Mendadak Yas mirip dengan emak-emak komplek. Jelas-jelas ia berbohong, karena sesungguhnya ini masih sangat pagi. “Ribut banget pagi-pagi. Gue bahkan baru tidur dua jam!” semprot Elang. Yas tak menjawab, justru menerobos masuk kamarnya. Terang saja Elang semakin geram. Elang mengikuti Yas masuk kamarnya. “Lo apa-apaan, sih? Siapa yang ngizinin lo masuk kamar gue?” Nyawa Elang langsung kembali 100% berkat amarah yang menguasainya. Yas tak menanggapi kemarahan Elang sama sekali. Ia justru asyik menelisik setiap sudut kamar Elang yang super berantakan, tak jauh berbeda dengan kondisi rumah secara keseluruhan. Lelaki 27 tahun itu menggeleng-geleng tak percaya. "Kamar kamu aja begini, gimana kamarnya Theo nanti?" gumam Yas sembari melepas bed cover, sarung bantal, dan kawan-kawannya. "Nih, kamu bawa ke bawah! Nanti biar Mas yang bawa ke laundry. Udah berapa tahun itu nggak diganti?" Yas menutup hidung setelah menyerahkan semuanya pada Elang. "Nanti sepulang sekolah, buku, kabel, laptop, parfum, pokoknya semua yang berantakan harus kamu rapiin, ya!" cerocos Yas lagi. "Mas nggak mau tahu. Nggak mau terima alasan apa pun. Mulai sekarang Mas yang punya aturan di rumah ini. Kamu sama Theo harus nurut!" Sayang, Yas tak semudah itu untuk kesal. Ia justru mengetuk pintu kamar Theo dengan brutal. "Buka pintunya, Theo! Cepetan!" Tak ada tanggapan. "THEO!" “Keluar atau gue terpaksa kasar sama lo!” ancam Theo sembari menunjuk muka Yas. Yas hanya menatap telunjuk Theo sekilas sembari tersenyum tipis. Oh, lebih tepatnya senyuman meremehkan. "Astaga! Bener, kan, kamar kamu jauh lebih parah!" Yas rupanya sama sekali tak mengindahkan amarah dan telunjuk Theo. “Sana, ikutin Elang bawa ini ke bawah!” "Pokoknya saat Mas pulang nanti, kamar harus udah rapi, oke?" Yas melenggang pergi. Meninggalkan Theo dengan segenap rasa geram di atas normal. *** "Buruan mandi sana!" Yas mulai memerintah lagi. Theo dan Elang saling berpandangan, semakin tak tahan dengan sikap Yas. Padahal tidak usah diberitahu pun mereka sudah pasti akan mandi. *** "Ke mana mobil gue?" tanya Theo begitu yang bersangkutan muncul. Tak lama setelah Theo bertanya, Elang juga baru menyadari, mobilnya pun tidak ada di sana. Juga mobil Papa yang tinggal satu-satunya. Semuanya raib! "Ke mana semua mobil?" Suara Elang tak kalah tinggi dari Theo. "Semua mobil sudah Mas gadaikan," jawab Yas santai. "APA?" pekik Elang dan Theo bersamaan. "Lo beneran udah gila, ya? Lo nggak punya hak untuk lakuin itu semua!" teriak Elang. "Kita butuh uang untuk bertahan hidup sementara waktu, sebelum Mas gajian awal bulan depan. Dan setidaknya kita harus punya tabungan.” Yas menjelaskan. "Kenapa nggak lo jual mobil lo sendiri aja? Malah ngorbanin mobil kami!" Elang menunjuk mobil merah milik Yas yang masih tentram bertengger di halaman. Masih utuh, tak kurang suatu apa pun. "Mobil itu kalau dijual nggak ada duitnya, Dek. Cuman dikit. Sedangkan mobil kalian dan mobil Papa, semuanya mewah dan mahal. Lagipula kita juga butuh mobil untuk bermobilitas, kan?" "Tapi dengan alasan apa pun, lo tetep nggak berhak gadaiin mobil kami!" tegas Theo. Untuk pertama kalinya semenjak lahir, Elang dan Theo menjadi kompak. Berkat ulah makhluk bernama Yas. "Well, terserah kalian. Kalau kalian mau, silakan tebus sendiri mobil-mobil itu!" Yas cuek. "Ya nggak bisa gitu dong! Lo yang berbuat, lo juga yang harus bertanggungjawab!" Elang semakin emosi. "Lo harus balikin mobil kita secepatnya, Yas!" tambah Theo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD