Mimpi Buruk

1003 Words
Elang biasanya sangat semangat dalam pelajaran Fisika. Tapi tidak untuk hari ini. Suasana benar-benar kacau. Berkat Yas. Mobil kesayangannya sekarang sudah tiada. Mimpi apa ia sampai harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini? Kurang menderita apa lagi hidupnya? Fakta di balik meninggalnya Papa—disembunyikan rapat-rapat—hanya Elang dan Theo yang tahu, bahwa Papa meninggal karena bunuh diri. Papa meninggal mendadak, mewariskan kebangkrutan dan hutang. Hidup Elang menjadi tidak teratur. Hal ini sudah cukup membuat Elang dan Theo stres. Sekarang Yas malah pulang, menambah kekacauan. Bel istirahat berbunyi. Setelah guru berpamitan, Elang segera meletakkan kepalanya di atas meja. Ia tidak berminat keluar kelas. Oh iya, Elang ingat. Tadi Theo sempat melewati kelas ini dengan tampang kesal berlebihan. Entah kenapa, yang jelas Theo masih belum kembali ke kelasnya sampai sekarang. Atau mungkin Theo lewat jalan lain? "Guru Matematika baru?" Elang mendengar obrolan teman-temannya. "Iya. Masih muda, lho. Ganteng banget pula! Tinggi semampai gitu. Tadi beliau udah ngajar anak IPS." "Yah, kalau ngajar anak IPS, berarti nggak bakal ngajar kita dong." "Beliau ngajar kita juga kok." "Lho, kok bisa?" "Bisa, dong! Bu Yulia, kan, lagi cuti melahirkan. Jadi guru baru itu sementara waktu menggantikan Bu Yulia." "Asyeeeek … kita tetep bisa diajar sama guru ganteng. Ya ... meskipun cuman sementara, yang penting, kan, tetep ada kesempatan diajar!" Siswi-siswi itu berjingrak kegirangan. Itulah salah satu alasan yang membuat Elang malas pacaran. Karena menurutnya wanita terlalu gila. Jam istirahat berlalu cepat. Bel masuk baru saja berbunyi. Elang kembali menegakkan badan. Ia melirik siswi-siswi yang mulai berdesas-desus lagi. Elang sebenarnya penasaran juga dengan sosok guru baru yang mereka bicarakan. Perlahan ia mengikuti arah pandang mereka. Seketika Elang melotot melihat sosok yang sudah nyaris masuk kelas. "Selamat siang semua!" "Siang, Pak!" Suara siswi mendominasi. Elang mematung di tempat. Spektakuler! Ia sekarang mengerti kenapa Theo tadi lewat sini dengan wajah kesal berlebihan. Pasti karena orang ini mengajar di kelasnya. Bertemu dengan Yas di rumah sudah cukup membuat Elang hampir minggat. Nah sekarang, ia harus melihat Yas pula di sekolah. "Mulai hari ini, saya akan menggantikan Bu Yulia yang sedang cuti melahirkan!" Yas menjelaskan. "Kenalan, Pak, kenalan!" Siswi-siswi makin heboh. Orang itu tersenyum sok wibawa. Menjijikan. Elang ingin muntah rasanya. "Nama saya Ardiaz Athabar- ….” Yas menghentikan ucapannya sembari menatap Elang. Di kelas Theo tadi, adiknya itu langsung kabur setelah melihatnya. Elang masih mendingan, ia tetap duduk manis, meskipun nampak jelas ia sangat marah. Tak ingin adiknya yang satu ini juga kabur karena ia menyebut nama belakang mereka—yang akan memberi petunjuk bahwa mereka ada hubungan darah—Yas memutuskan untuk merahasiakan hal itu. Cepat atau lambat pasti fakta akan terungkap. Tapi setidaknya tidak sekarang, kan? “Nama saya Ardiaz, bisa dipanggil Pak Yas saja." "Ahhh ... Pak Yas kok gemes, sih!" celetuk salah satu siswi. Disoraki siswi lain, namun mereka setuju dan mengiyakan. Para siswa kompak mengejek mereka. Pertanyaan gila lain bermunculan. "Pak Yas udah punya pacar?" "Pak Yas masih single, kan?" "Belum nikah, kan?" Yas hanya tersenyum di depan sana. Elang semakin ingin muntah melihatnya. "Langsung kita mulai pelajaran selanjutnya, ya! Buka buku kalian halaman 147!" *** Yas akhirnya berhasil mengumpulkan kedua adiknya di ruang makan. Kejadian pagi tadi baru saja terulang kembali. Baik Theo ataupun Elang mengunci diri dalam kamar masing-masing, mengharuskan Yas mengetuk pintu mereka dengan brutal. Makan malam sudah tersedia dengan baik di meja. Tapi tak satu pun dari mereka yang menyentuh. Theo dan Elang sudah kehilangan nafsu karena segenap kelakuan Yas yang memuakkan. "Kenapa kamar masih belum rapi?" Yas menuntut penjelasan. Tak ada jawaban. Yas menarik napas dalam. Ia berusaha menahan emosi. Nyatanya mengatur dua anak remaja jauh lebih sulit, dibanding mengurus bayi merah macam Namira. "Habis makan malam, Mas mau kalian segera merapikan kamar!" Yas mendahului mengambil nasi. Sampai piring Yas sudah terisi lengkap dengan lauk dan sayur, Theo dan Elang masih belum mau menyentuh makanan yang sudah disiapkannya. "Apa masalah kalian sebenernya?" tanya Yas lagi. "Kita tinggal serumah. Harusnya kita berinteraksi dengan baik. Apa iya kalian mau selamanya bersikap kayak gini?" "Kenapa lo ngajar di sekolah kita?" Theo akhirnya buka suara. Masih dengan tampang datar, terus menunduk karena malas menatap Yas. "Ada beberapa alasan. Pertama, Mas bisa ngawasin kalian. Dua, sekolah kalian gajinya besar karena yayasannya pun besar. Tiga, jika ada guru yang anggota keluarganya sekolah di sana, maka biaya SPP dipotong 50%. Itu sangat lumayan. Mengingat biaya sekolah kalian yang selangit." "Kita sebelumnya baik-baik aja!" celetuk Theo lagi. "Maksudnya?" "Ya baik-baik aja. Kita masih bisa makan tanpa lo, bisa sekolah tanpa lo, bisa melakukan segala hal tanpa lo, kita masih bisa hidup dengan baik tanpa lo." Elang melanjutkan kata-kata saudaranya. "Dan lo tiba-tiba muncul, bikin semuanya kacau balau!" Yas mengangguk. Jadi itu masalahnya. Yas menarik napas dalam. Ia sudah mempersiapkan segalanya sebelum menemui Theo dan Elang kembali. Termasuk menyiapkan jawaban jika sewaktu-waktu pertanyaan semacam ini muncul. "Makan roti gosong dan junk food, biaya sekolah nunggak, listrik juga nunggak, rumah kayak kapal pecah. Itu yang kalian sebut hidup dengan baik?" Yas menjawab dengan sebuah pertanyaan menohok. Theo kembali menjawab dengan kata-kata yang tak kalah menohok. "Meskipun kita makan sembarangan, banyak tunggakan, hidup nggak teratur. Tapi semua itu tetap jauh lebih baik … karena tanpa lo di dalamnya." Yas berusaha tak tersinggung. Berusaha tetap tenang. "Mas ini kakak kalian. Gimana Mas bisa biarin kalian hidup kayak gitu?" "Kenapa nggak bisa?” Elang buru-buru menyela. “Sementara lo udah 10 tahun ngilang. Kita udah telanjur terbiasa hidup tanpa lo." Yas menunduk sembari menyuap sesendok makanan ke mulutnya. "Kalian cuman masih marah sama Mas. Mas yakin perlahan-lahan kalian akan terbiasa. Kepulangan Mas adalah demi kalian. Mas harap kalian ngerti." “Omong kosong!" Theo beranjak dari sana. Disusul oleh Elang. Yas berusaha memanggil mereka. Mereka bahkan belum makan malam. Yas hanya takut mereka sakit. *** Theo membanting pintu kamarnya dengan keras. “Dasar nyebelin! Nggak pernah pulang, dateng-dateng sok ngatur, sok peduli. Pembual emang! Hidup gue udah mirip mimpi buruk setelah Papa meninggal. Habis dia dateng, beneran jadi mimpi buruk!” Di tengah ungkapan kekesalannya, Theo teringat sesuatu … Ada yang aneh, bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD