2

1173 Words
  Aku mengintip pada celah jendela ruang kerjaku. Mendung hampir menguasai siang jelang sore ini. Setelah makan siang dengan dia yang kini entah sedang apa dan menelpon si Alona, aku duduk merenung menghadap kearah luar. Tak lama kemudia langit benar-benar menangis, memuntahkan semua airnya ke tanah. Derasnya air hujan cukup membawaku kesuasana GALAU, aku sada jika aku bukan remaja lagi. Tapi hubungnku dengan si dia benar-benar membuatku seperti anak remja yang baru mengenal cinta.  Flashback On  "Al, hujan..." teriak Yuki dengan girangnya. Bukannya sedih karena hujan turun dia malah terlihat senang. Matanya berbinar, seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah.  "Ki, kamu kaya anak kecil ih, ayo masuk. Hujannya akan semakin besar, aku nggak mau kamu sakit." Aku memperingati Yuki, namun nampaknya Yuki tak menghiraukan kata-kataku. Dia masih asik menengadahkan tangannya pada hamparan air yang meluncur dari langit. Senyumnya terus mengembang, memberikan keteduhan bagi siapaun memandang.  "Al, ayo sini. Kita pandang hujan sama-sama, jangan takut!" Yuki berjalan kearahku, menatapku dengan tatapan memohon. Tangannya yang basah mencoba meraih pergelangan tanganku dengan langkah pasti Yuki membawa badan ini menuju pinggiran teras rumah, karena kami memang sedang berada di rumahku. Pagi tadi aku mengajaknya main ke rumah atas undangan dari Mama.  Kembali senyuman indah terukir, dia mengajakku bercengkrama dengan hujan. Aku pun mengikuti permintaannya, aku dan Yuki kini sama-sama menikmati setiap tetesan air yang jatuh diatas telapak tangan kita berdua.  "Kenapa kita harus melakukan ini si Ki? " aku masih saja heran dengan perilaku aneh Yuki, sekalipun aku juga menikmatinya.  "Emmm nggak apa-apa. Aku hanya ingin mengajakmu untuk tidak meratapi hujan, tapi menyayangi hujan. Anggapa hujan adalah sahabat yang kamu rindukan, sehingga saat ia datang semua rasa rindu itu hilang." jawab Yuki, jujur aku masih bingung dengan unggkapannya barusan. Hujan, meratapi, dan rindu?. Aku terus berputar, berfikir, mencerna setiap kata yang ia lontarkan.  "Al, tanpa sadar kita terkadang menjadikan hujan itu musuh kita. Kita mengumpat saat hujan datang, kita baper saat ia turun. Menyalahkan hujan yang sesungguhnya tak salah apa-apa. Adakalanya kita menganggap hujan itu sebagai sahabat, sahabat jauh. Sahabat yang sangat kita rindukan kedatangannya. Sehingga saat hujan datang kita bukannya sedih namun senang. Anggap saja saat ia datang semua yang ada dipundak kita, pikiran kita, bisa terbawa oleh aliran air hujan yang melaju di dadaratan. "  Oke sekarang aku tahu apa yang ia maksud. Ketika oranglain bahkan kita sendiri kadang menyalahkan hujan saat ia turun atau terbawa perasaan karena mengingat hal-hal galau, bagi Yuki kita justru harus menganggap sebaliknya.  Flashback end  Hingga saat ini, saat hujan tiba aku selalu memikirkan kata-kata yang pernah Yuki ucapkan padaku kala itu. Dari sana aku mulai menyukai hujan. Tapi kenapa saat hatiku mulai menyukai hujan, hatiku belum bisa meyakinkan untuk mencintai Yuki. Entahlah, buang dulu masalah Yuki.       Al pov end  ?  "Galau Bos! " itu bukan pertanyaan tapi pernyataan yang tak perlu di jawab. Gibran sahabat dan juga rekan kerja Al datang menemui sahabatnya yang sedang dilanda kegalauan karena cintrong (red:Cinta).  "Sejak kapan si playboy cap kadal galau karena Cinta heh, "  "Diem lo, gimana proyek di kebagusan lancar? " Al berusaha mengalihkan, dia memang paling tak bisa mengelak jika Gibran sudah berbicara. Gibran adalah sahabat dari kecil dan Gibran merupakan salah satu cowok yang peka akan situasi sekitar sehingga ia tahu betul bagaimana Al dari hal yang paling kecil. Oleh karenanya Al paling tak bisa bohong dan menutupi dari Gibran.  Gibran duduk di sofa, diikuti Al. "Lo nggak perlu khawatir sama proyek disana. Semuanya lancar bro! "  "Baguslah, lo emang paling bisa gue andelin Gib. " Jujur Al.  "Gimana sama Yuki, Al? "  "Nggak gimana-gimana lah, aku juga bingung. Aku nggak mau kehilangan dia tapi aku juga belum bisa beri dia kepastian Gib. "  Sebesar apapun Al berusaha menghindari pembahasan tersebut, Gibran selalu bisa memancing Al. Mau tak mau dia harus berbagi dengan sahabatnya itu.  "Makanya Al, udahlah lo mau cari apa lagi coba. Kalian sama-sama mapan kok, ganteng dan cantik, Yuki perhatiannya juga kaya apa sama kamu. Mau nunggu apa lagi? Kalau yang pasti aja udah ada di depan mata bukan di depan mantan! "  Ngomong-ngomong soal mantan, masalah mantan juga menghalangi hati Al untuk terbuka kepada yang lain. Al masih menunggi si mantan yang tanpa kepastian kapan akan kembali. Si mantan memang cantik, karirnya tak kalah cemerlang dari Al dan anak pengusaha kaya pula. Sayangnya dia nggak jelas keberadaannya dimana sekarang.  "Lo masih nungguin Aril? "  "Aku juga nggak tahu Gib! "  "Sebelum lo nyesel mending lo tentuin pilihan lo sekarang. Kalau lo nggak mau sama Yuki, gue si mau perjuangin dia.. Bye !"  Tanpa menunggu jawaban setelah berkata panjang lebar Gibran pergi gitu aja dari hadapan Al. Al masih terpaku atas ucapan Gibran diakhir kalimatnya. Gibran mau berjuang buat Yuki.  "Sial...! Lo pikir akan semuadah itu Gibran! " teriak Al, saat ia sadar arti kata yang Gibran ucapkan tadi.  Sementara itu Gibran terkikik geli mendengar teriakan Al. Dia memang keluar, tapi dia masih setia berdiri di balik pintu ruangan Al. Dia sengaja tidak menutup rapat pintu tersebut dan mengintip reaksi Al. Ternyata reaksi Al sangat luar biasa. Dia melihat Al menggeram marah dan mengacak-acak rambutnya sendiri.  "Kalau Cinta tinggal bilang Cinta aja kenapa Al, jangan malah bersikap bodoh seperti itu. " Ucap Gibran kemudian beranjak dari pintu besar itu.  ***  Di gedung yang tak kalah besarnya dengan gedung milik Al, Yuki terlihat sedang merenung dibalik bilik ruangan kecilnya. Yuki memang bekerja di kantor mewah, namun bukan kantor miliknya dan Yuki bekerja sebagai staf keuangan. Yuki sekilas menengok pada jendela besar yang sekaligus berfungsi sebagai tembok gedung besar nan tinggi tersebut. Ia melihat rinai hujan turun deras. Ia tak kalah galaunya dengan Al. Apalagi ia perempuan yang sangat mudah terbawa perasaan yang dalam bahasa gaulnya baper.  Mungkin memang sudah suratan bahwa wanita itu selalu menggunakan perasaan dalam hal apapun. Dia akan cepat lemah jika mendapt bentakan, teriakan dan akan mudah luluh hanya dengan sebuah perhatian. Seperti itu lh yang dirasakan Yuki. Tiga tahun menjalin hubungan tanpa ikatan tapi perhatian selalu mengalir, bahkan tak jarang mereka akan saling bercerita mengenai impian masa depan jika kelak mereka akan bersama. Hati wanita maba yang tak berbunga dan berharap banyak. Yuki pikir, sekalipun tak ada hubungan pasti, tapi ia yakin jika apa yang dibahas selama ini adalah sebuah kebenaran yang akan menjadi nyata kelak. Yuki juga berfikir bahwa tidak adanya kepastian setatus saat ini itu karena Al yang memang menginginkan langsung ke jenjang yang lebih serius, tapi nyatanya semua itu nihil. Lalu untuk apa semua pembahasan itu dan untuk apa Yuki bertahan selama ini jika yang dipertahankan saja kadang datang kadang hilang bagai hujan.  Baru kali ini aku sedih memandang hujan. Biasanya aku akan bahagia dan berbagi apapun padamu dengan perasaan riang saat kami datang. Tapi kali ini rasanya aku sangat sedih melihat kamu turun membasahi bumi pertiwi. Aku merasa jatuhnya kamu saat ini adalah kesedihanku, jujur saja aku tak kuasa melihatmu lagi hujan, semakin aku memandangmu, semakin aku ingat pada dia yang sudah menorehkan luka dihatiku akan sebuah ketidak pastian. Dulu dia yang menawarkan dan membawa impian Indah itu, tapi sekarang dia juga yang membawa impian itu pergi.  ♥♥♥ 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD