Gea diperebutkan

3694 Words
Aku menghentikan langkah ketika akan masuk ke café bersama dengan Jeselyn, aku melihat Meriska begitu pun dengan Jeselyn. Kami saling pandang merasa was-was karena si biang kerok yang terobsesi dengan Exel sudah ada di hadapan kami, untuk menghindari pun rasanya sudah telanjur. Jadi, kami memutuskan untuk melewati Meriska. Namun, Meriska menarik tanganku dengan kasar saat aku akan masuk ke dalam café tersebut. Plak! Plak! Dua tamparan bolak-balik berhasil mendarat dengan mulus di kedua pipiku, rasanya pipiku panas sekali karena tamparan Meriska yang terbilang kencang juga. Jeselyn langsung mendorong Meriska agar menjauh dariku, aku tidak berani menatap Meriska saat ini karena tanganku sudah gemetar bahkan untuk meminta maaf saja rasanya sudah sulit. “Lo udah gila? Apa salah Gea sama lo? Pergi lo dari sini, jangan sampai gue lapor polisi karena tindakan ceroboh lo ini!” kata Jeselyn dengan tegas, sementara aku hanya bisa terdiam sambil memegangi pipiku yang masih sangat sakit karena tamparan keras tersebut. Namun, belum sempat Meriska menjawab ada dua orang yang menambah kekacauan ini membuatku merasa kesal dengan kedatangan mereka. Ya, Vanes dan Arista menghampiri kekacauan ini dan tertawa dengan keras di hadapanku seolah ini adalah suatu hal lucu yang patut sekali ditertawakan, mereka berdua tampak bahagia sekali jika aku sedang dalam masalah berat. “Waduh, si miskin buat ulah apa lagi, nih, di tempat kerja? Gue udah duga sih lo emang gak bakalan tahan lama di tempat kerja karena miskin pasti tidak punya pendidikan dari orang tua,” kata Vanes dengan kalimatnya yang benar-benar membuat aku sakit hati. Sungguh, mereka selalu saja jahat dengan aku padahal aku tidak pernah berbuat sesuatu yang bisa menyakiti hati mereka. Aku mengepalkan kedua tangaku dengan kuat, aku benar-benar tidak bisa menoleransi ketika orang tuaku dibawa-bawa. “Memangnya kenapa jika aku miskin? Aku tidak pernah merugikan kalian dan satu lagi ingat, aku kaya akan pendidikan dan moral tidak seperti kalian punya harta banyak tapi moral tidak pernah ada bahkan akhlak saja bisa dibilang hanya satu persen, aku sampai bingung kau adalah manusia atau bukan,” kataku memelototi Vanes dan juga Arista secara bergantian. Vanes dan Arista bukanlah gadis-gadis yang bisa diomongi secara baik-baik, aku tahu betul bahwa mereka berdua adalah orang-orang yang hanya takut dengan kekerasan. Aku melihat Vanes yang melotot kemudian mengangkat tangannya hendak memberikan sebuah tamparan untukku, namun aku tidak takut dan menadahkan itu. Namun, saat dia hendak menamparku ada seseorang yang memegangi tangan gadis itu dan mendorongnya sampai mereka dan aku juga terkejut siapa yang datang membelaku. “Kalian gak puas ngebully Gea selama tiga tahun? Apa kalian tidak pernah memikirkan efek pembullyan itu pada diri kalian sendiri? Mungkin kalian merasa bahwa kalian adalah yang paling kuat dan tak terkalahkan, namun ingat bahwa itu membuat kalian seperti seorang pecundang yang terlihat sangat lemah karena kalian menindas yang lemah. Jika memang kalian kuat, mainan kalian pasti bukan Gea,” kata pemuda itu yang ternyata adalah Devan. Ya, masih ingat Devano teman aku sewaktu di SMA Global? Pemuda dan satu-satunya orang yang mau menyapaku dan memperlakukan aku spesial seperti nasi goreng, dia sekarang berdiri di hadapanku membela aku dari Arista dan juga Vanes seperti dulu saat kami masih di sekolah. Pemuda itu terlihat jauh lebih tinggi entah dia makan apa sampai cepat sekali padahal baru satu bulan aku tidak melihatnya lagi. “Lo ngapain di sini, Dev? Mau jadi pahlawan lagi buat Gea? Tolong banget deh, lo gak usah ikut campur karena lo bukan siapa-siapanya Gea!” ucap Arista dengan tegas sementara Vanes hanya bisa menunduk karena dia tidak tahu bahwa Devan ada di sana. Aku menghela napas pelan kemudian menyuruh Devan agar tidak menjawab mereka karena bisa saja masalah akan bertambah keruh jika disautin terus. “Gue pacarnya Gea! Gue ke sini karena Gea! Mau apa kalian?” ucap Devan dan ia menyembunyikanku di balik tubuhnya yang jauh lebih tinggi daripada aku. Aku hanya bisa menutup mataku, bagaimana bisa Devan membelaku sampai harus mengatakan hal seperti itu? Belum lagi ada Meriska, pasti kedok aku menjadi kekasih bayaran Exel akan terbongkar dengan sendirinya. “Tunggu dulu, Gea ini kan pacarnya Exel. Ini kenapa lo malah ngaku-ngaku? Atau jangan-jangan…” Meriska langsung menarik tanganku secara kasar dan membuat aku seperti seorang maling yang harus mengaku di depan semua orang. “Lo bukan pacar Exel, kan? Exel suruh lo buat ngaku-ngaku, kan? Dasar cewek matre, jelas saja sekarang gue tahu kalau lo miskin dan butuh duit Exel,” kata Meriska dengan suaranya yang bergetar, sepertinya dia sudah emosi karena tahu aku bukanlah kekasih Exel. Namun, disaat semuanya sedang dalam suasana tegang, seseorang dengan santainya mencium bibirku. Ya, siapa lagi kalau bukan Exel? Aku benar-benar terperanjat ketika Exel mencium bibirku sekilas depan mereka semua, ia langsung merangkulku dengan mesra membuat aku salah tingkah. Jeselyn juga tampaknya terkejut terlihat sekali di wajahnya yang penuh dengan tanda tanya. “Sekarang sudah terbuktikan mana pacar asli mana pacar bohongan?? Jadi, menjauhlah dari Gea sebelum aku menghajar kalian satu-satu kali ini aku tidak akan memandang bahwa kalian adalah perempuan, aku benar-benar akan menghajar kalian,” kata Exel di depan Devan membuat aku benar-benar salah tingkah. Aku ingin marah pada Exel, namun jika aku marah maka tamatlah riwayatku karena Meriska akan tahu bahwa aku dan Exel membohonginnya. Dengan terpaksa aku diam dan tidak mengatakan apa pun sampai Arista dan Vanes pergi, sementara Meriska terlihat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Tanpa aku sangka, Meriska langsung memisahkan aku dari Exel membuat Exel langsung melotot padanya. Aku merasa bahwa akan ada peperangan lagi setelah Vanes dan Arista, rasanya ingin sekali aku lari dari sana untuk menghindari mereka. “Xel, kita sudah berteman sangat lama. Bagaimana bisa kamu lebih memilih gadis udik ini yang baru kamu temui? Ayolah, jujur saja jika kamu gengsi dengan perasaanmu sendiri. Aku tahu, Xel bahwa kamu menyukaiku juga seperti aku menyukaimu hanya saja sikapmu terlalu dingin sampai kau tidak menyadari perasaan itu,” ujar Meriska sambil menyentuh Exel dengan segala kelemah-lembutannya sementara aku yang melihat itu hanya bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain karena merasa sangat sebal dengan pemandangan di hadapanku ini. Devan langsung menarik tanganku pelan untuk pergi dari tempat tersebut sementara Jeselyn masuk ke dalam karena sudah tidak ada pertengkaran yang harus ia tonton. “Dev, terima kasih ya sudah membelaku. Oh, iya, kamu ngapain di sini? Apa kamu akan menongkrong di café ini?” tanyaku yang mencoba untuk akrab dengan Devan setelah hari kelulusan tersebut. Devan mengangguk membenarkan ucapanku. “Ya, aku sebenarnya sudah janjian dengan teman-temanku di café ini. Namun, saat aku akan masuk ke dalam café aku melihatmu sedang diperlakukan tidak baik jadi aku memutuskan untuk turut campur dalam masalahmu, maaf karena lancang sudah ikut campur. Aku hanya tidak bisa melihat orang yang aku cintai diperlakukan seperti itu,” kata Devan dengan sorot matanya yang penuh rasa khawatir melihatku. Aku sedikit terkejut juga karena Devan si cowok populer di SMA Global mengatakan bahwa ia mencintaiku, sebenarnya aku bingung mengapa Devan mengatakan hal tersebut. “M—maksudmu apa? Kenapa kau mengatakan hal ambigu seperti itu?” tanyaku yang merasa heran sebenarnya kenapa Devan mengatakan bahwa ia mencintaiku? “Gea, aku menyukaimu dari pertama kali kita kenal. Aku bukanlah tipe cowok yang senang sekali bergaul dengan para gadis walaupun aku populer di kalangan siswi SMA Global, tapi aku benar-benar menjaga jarak dengan mereka semua karena aku tidak ingin mereka salah paham. Namun, padamu rasanya salah pahammu membuatku merasa senang dan aku berharap memang kau salah paham terhadap sikapku,” ucap Devan membuatku terdiam. Pengakuan Devan membuatku merasa bingung, sebenarnya apa yang sedang terjadi padaku? Hari ini aku cukup sial karena Meriska yang menampar pipiku bolak-balik, kemudian sekarang Devan menyatakan cintanya padaku kalau yang satu ini bukanlah sebuah kesialan melainkan sebuah kebingungan. Aku tidak pernah suka dengan kebingungan karena kebingungan membuatku merasa bahwa aku terlihat bodoh karena hal tersebut. Aku mengerjapkan mata beberapa kali kemudian mendeham dan mengalihkan pandanganku yang sedari tadi terfokus pada Devan. Devan masih tetap melihatku mungkin ia berharap bahwa aku mempunyai perasaan yang sama dengannya? Entahlah, aku merasa bahwa hal seperti itu sebenarnya tidak perlu ditanyakan lagi karena seseorang yang menyukai orang lain pasti ingin sekali perasaannya terbalas, bukankah begitu? “Lalu, apa yang kau inginkan dariku? Aku tidak cukup baik untuk disukai orang lain, aku banyak sekali kekurangan dan kau tahu siapa diriku? Aku hanyalah anak orang miskin, modalku hanyalah kecerdasan yang selalu aku bawa ke mana-mana, usiamu dan aku juga berbeda jauh karena kau tahu sendiri bahwa aku tua sendiri di antara yang lain,” kataku menjelaskan semua kekurangan yang sebenarnya sudah sedari dulu Devan mengetahui itu. Devan memegangi kedua bahuku agar aku hanya terfokuskan padanya, aku melihat kedua bola mata yang sangat berharap padaku, aku tidak pernah senang dengan sorot mata seperti itu karena aku takut sekali membuat orang yang berharap padaku menjadi kecewa karena aku tidak bisa memenuhi ekspetasinya. “Ge, sejak kapan orang yang jatuh cinta mandang yang namanya derajat dan segala embel-embel lain? Apa kau tidak pernah dengar bahwa cinta itu buta? Cinta selalu memandang orang yang kita cintai dengan tulus, terserah dia mau miskin atau buruk rupa sekali pun, cinta tetaplah cinta yang memandang dari ketulusan hati. Maka dari itu, banyak orang yang dimanfaatkan karena mereka hanya memakai cinta tanpa logika. Namun, mencintai seseorang sepertimu bukanlah sesuatu yang buruk, kau pandai dan cantik juga baik hati, bukankah itu sebuah kelebihan? Dalam mempresentasikan sesuatu, kau harus mengatakan kelebihan bukan kekurangan, jangan pernah mengatakan pada siapa pun tentang kekuranganmu karena jika yang mendengar orang baik maka kau beruntung karena dia akan membantumu untuk menjadikan kekuranganmu sebagai salah satu kelebihanmu, namun jika yang mendengar kekuranganmu adalah orang yang buruk, maka kau tidak punya jalan lain selain bertekuk lutut padanya,” kata Devan panjang lebar. Aku hanya terdiam mendengar ucapan Devan. Memang benar adanya bahwa tidak boleh sedikit pun mengatakan kekurangan diri pada orang lain, namun rasanya aku bisa mempercayai Devan makanya aku mengatakan itu padanya. “Lalu?” tanyaku singkat dengan wajah penuh tanda tanya sebenarnya arah pembicaraan Devan ke mana? “Jadilah kekasihku,” ucap Devan membuat aku terkejut, dengan susah payah aku menelan salivaku dengan wajah kebingungan. Apakah benar Devan menyatakan cintanya padaku? Bagaimana bisa dia mengatakan itu tanpa berpikir panjang. Namun, saat aku sedang berpikir, tanganku ditarik oleh seseorang membuat aku terkejut begitu pun dengan Devan yang langsung menoleh ke arah di mana orang itu berada dan ternyata itu adalah Exel tampaknya ia sudah menyelesaikan pembicaraannya dengan Meriska. Sebenarnya aku bingung mengapa para lelaki senang sekali yang namanya menarik tangan wanita padahal bisa saja mereka menarik rambut atau apa pun daripada tangan yang sangat umum untuk ditarik. “Lo kurang jelas kalau dia adalah pacar gue? Gue cium dia aja dia gak marah, berarti emang dia pacar gue, terus lo mau jadi pembinor?” tanya Exel dengan ekspresi datarnya yang selalu membuatku merasa kesal. Ya, aku kesal dengan ekspresi datarnya karena aku merasa bahwa itu sangatlah seksi, semakin Exel banyak diam dan berekspresi datar semakin aku menyukainya. Devan tampak terkejut dengan ucapan Exel yang sangat menyinggung perasaannya, sepertinya aku tahu bahwa tatapan kedua lelaki garang ini pasti akan bertengkar sedikit lagi tinggal menunggu waktu yang tepat untuk memulai cakaran tersebut. Aku menyebutnya cakaran karena mereka jika sedang saling bertengkar sudah seperti kucing dan anjing yang main cakar-cakaran. “Hah? Pebinor? Memangnya lo sama Gea sudah nikah? Lo tahu gak kepanjangan dari pebinor adalah perebut bini orang, sementara Gea hanya pacar bagaimana bisa lo mengecap gue seenak udel lo?” tanya Devan yang mulai mendekati Exel membuat aku sudah mengantisipasi jika mereka bertengkar di hadapanku. Aku akan memanggil keamanan saja. “Ya udah, berarti lo pecaro!” seru Exel membuat aku dan Devan saling pandang. “Pecaro?” tanya aku dan Devan bersamaan membuat Exel tertawa seakan puas sudah membuat kita merasa bingung. “PEREBUT PACAR ORANG!” kata Exel dengan segala penekanan di setiap katanya. Aku hampir saja tertawa mendengar singkatannya yang begitu buruk, namun aku akui itu masih sangat masuk akal. Devan tidak menjawab ucapan Exel, aku melihat Devan yang tampak gugup karena tidak bisa menjawab lagi. “Gea baru saja lulus dari SMA dan gue tahu benar bahwa dia tidak punya pacar, ya, kan, Gea?” tanya Devan membuat aku bingung sekaligus gugup. Kedua pemuda itu tampak menunggu jawabanku membuat aku menghela napas kasar. “Tidak tahu, aku harus kembali bekerja,” ucapku memilih jalan tengah daripada aku harus menjawab dan mematahkan hati salah satu dari mereka, bukankah itu lebih kejam? Aku meninggalkan mereka setelah menjawab pertanyaan Devan, sudah cukup aku membuang-buang waktu untuk mendengarkan drama para lelaki kesepian itu. Di sini aku bekerja dan harus profesional walaupun hanya seorang penyanyi café, tapi aku dibayar dan tidak bisa membuang-buang waktu seperti itu. Tidak tahu lagi bagaimana drama mereka masih berlanjut atau tidak yang pasti aku sudah selamat dari pertanyaan-pertanyaan para pria kesepian itu. “Maafkan aku terlambat,” ucapku pada Jeselyn yang selalu berada di meja nomor 9 yang dikhususkan untuk Jeselyn dan beberapa pengurus lainnya yang mengurus penyanyi beserta band yang akan tampil di tempat itu. Setelah mengatakan itu aku langsung naik ke panggung dan menyanyikan sebuah lagu yang sedikit melow, suara merduku seolah menghipnotis siapa saja yang mendengarnya. Aku selalu bernyanyi dengan sepenuh hati, entah itu aku sedang dalam masalah atau tidak, menyanyi adalah cara aku mengungkapkan isi hatiku dan mengekspresikan sesuatu dari dalam hati. Aku berharap setelah aku melamar pekerjaan di tempat lain, menyanyi di tempat ini masih diperbolehkan walaupun tidak dibayar pun aku rela karena aku sangat senang sekali bila suaraku berguna untuk orang lain, aku suka melihat orang dapat meresapi lagu-lagu yang aku nyanyikan dengan sepenuh hati. Aku ingat guru kesenianku pernah mengatakan bahwa semua orang bisa bernyanyi, namun tidak semua orang bisa menyampaikan maksud dalam lirik lagu ke pendengar. Mungkin itu juga yang membuat aku langsung menerima tawaran Jeselyn untuk menjadi penyanyi café, itu alasan keduaku ingin menjadi penyanyi di café ini selain karena aku terdesak karena membutuhkan uang. Setelah aku menyanyi, aku melihat beberapa orang yang tersenyum dan memberikan tepuk tangan. Sementara aku turun karena tugasku sudah selesai, tidak terasa bahwa aku sudah berada di panggung selama 3 jam untuk menghibur para tamu. “Thanks, Ge, sudah menyanyi untuk malam ini. Pengunjung di sini jadi betah datang ke sini karena mereka Cuma mau lihat dan mendengar suara kamu, aku yakin suatu saat nanti kamu bisa bekerja sesuai dengan bakat kamu. Rasanya aku tidak pernah ingin beranjak dari kursi ini kalau kamu yang menyanyi,” kata Jeselyn yang terlihat senang karena bisa mendapatkan aku untuk menjadi penyanyi di sini. “Iya, Jes,” aku menjawab singkat saja karena merasa tubuhku sedang dalam keadaan tidak sehat, mungkin karena sering kali begadang akibat bekerja di tempat yang bukanya malam hari aku jadi sedikit lelah. Aku meminta izin pada Gea untuk pulang lebih dahulu, hari ini aku juga tidak meminta diantarkan oleh Gea karena aku akan pulang dengan ojek online. Kepalaku terasa berat dan memaksaku agar aku cepat-cepat pulang. Namun, saat aku baru saja berjalan ke lobi aku merasakan kepalaku terasa sakit dan berkunang-kunang. Aku mencoba untuk terus berjalan demi bisa pulang dan sampai rumah, namun usahaku sia-sia karena aku terjatuh dan tiba-tiba saja pandanganku gelap semua. Sayup-sayup aku masih bisa mendengar suara seseorang yang familiar di telingaku, namun setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku mengerjapkan mataku perlahan sambil melihat sekelilingku, bau obat-obatan menyeruak di indra penciumanku. Tidak ada orang yang menunggu di sebelahku dan aku tidak tahu siapa yang membawaku ke rumah sakit. Perlahan namun pasti, aku mengubah posisi tiduranku menjadi duduk. Aku merasa bingung dan ingin tahu siapa yang membawaku ke sini, baru saja aku menurunkan kakiku dari ranjang rumah sakit, aku melihat Exel yang sedang berbicara pada dokter di depan pintu keluar ruanganku ini. Aku sudah menduga bahwa Exel yang membawaku ke sini, siapa lagi yang rajin sekali mengitari lobi dan depan café seperti satpam kalau bukan Exel? Setelah berbincang cukup lama akhirnya aku melihat Exel masuk ke dalam ruangan menghampiriku dengan ekspresi datarnya yang menyebalkan. Bahkan dalam keadaan seperti ini saja wajah Exel tidak terlihat khawatir padaku, jika seperti ini terus rasanya aku cemas jika aku jatuh cinta sepihak. “Bagaimana keadaanmu? Apa sudah lebih baik?” tanya Exel membuatku mengangguk, walaupun aku masih sedikit pusing setidaknya tidak parah seperti tadi karena merasa bahwa setelah pingsan aku lebih baik. “Aku akan mengantarmu pulang,” kata Exel yang terlihat sangat cuek padaku, aku hanya bisa menurutinya saja karena aku merasa tubuhku masih belum bisa berlelah dahulu. Aku mengikuti Exel dari belakang seperti anak murid yang sedang dihukum, aku tidak mengatakan apa pun karena berbicara pun masih membutuhkan tenaga. Jadi, aku lebih memilih untuk diam dan menghemat tenagaku. Di dalam mobil, kami tidak bicara. Aku menyenderkan kepalaku ke jok mobil masih merasa pusing walaupun tidak separah tadi, sesekali aku melihat Exel yang masih fokus menyetir. Pemuda itu memang terlihat sangat tampan, tapi sayang di luar jangkaun. Aku tidak akan bisa memilikinya hanya karena pura-pura menjadi kekasihnya. “Fandi memaksaku untuk datang ke reuni lagi karena kemarin telah gagal maka yang lain memutuskan untuk mengatur jadwal ulang, temani aku dan aku berjanji kejadian seperti kemarin tidak akan terulang,” kata Exel, aku hanya bisa mengangguk saja lagi pula aku sudah menerima bayarannya tunai dimuka jadi tidak ada alasan untukku menolak ajakannya itu. “Baiklah, aku akan bersiap-siap besok katakan saja akan datang jam berapa,” kataku yang masih melihat jalanan kota Jogja yang semakin larut malam. “Besok malam pukul tujuh, kau tidak perlu bekerja karena aku sudah mengatakan ini pada Jeselyn,” kata Exel lagi-lagi aku hanya menjawabnya dengan anggukan. Sebenarnya aku masih sungkan bertemu dengan Exel mengingat ciuman tersebut sangatlah membuat aku merasa malu setiap kali mengingatnya. Aku juga menghindari kontak mata dengan Exel sejak kejadian tadi. Exel menghentikan laju mobilnya tepat di depan kontrakanku, sepertinya ibuku sudah lebih dahulu tidur. Baru saja aku akan meminta izin pada Exel untuk turun, tiba-tiba saja Exel menyosorku seperti tadi di depan Meriska, Vanes dan juga Arista. Aku membeku ketika mendapatkan perlakuan seperti itu, aku benar-benar tidak siap untuk mendapatkan perlakuan itu lagi baru saja aku ingin melupakannya tiba-tiba Exel melakukan itu. “Selamat malam, aku akan menjemputmu besok bersiap-siaplah karena aku tidak suka menunggu,” kata Exel kemudian menyuruhku untuk turun agar dia bisa segera kembali ke rumahnya. Aku tidak bisa melakukan apa pun lagi karena pesona Exel terlalu berat untuk ditolak. Pantas saja Exel bisa sombong karena banyak gadis yang menginginkan dirinya, aku berjalan ke dalam sambil memikirkan ciuman sekilas itu dari Exel. Ciuman yang jauh dari kata napsu, itu hanya sekilas namun sulit untuk aku lupakan seakan itu ciuman yang penuh napsu. Aku memegangi bibirku yang sudah tidak polos lagi, Exel adalah pria pertama yang menyentuh bibirku seperti itu dan itu artinya Exel adalah ciuman pertamaku! Aku mendadak menjadi gila karena baru saja memikirkan betapa memalukannya aku ini, kenapa aku tidak menampar atau pun memukulnya? Kenapa aku malah diam membeku? Aku mengacak rambutku merasa sebal dengan diriku sendiri, bagaimana bisa aku tidak mengatakan apa pun dan tidak bereaksi seolah ingin meminta lebih dari ciuman itu. Benar kata ibu bahwa semua bermula dari bersentuhan, sekarang aku paham mengapa agama melarang bersentuhan dengan orang-orang yang bukan muhrim. “Ge, kamu sudah pulang?” tanya ibuku yang tiba-tiba saja muncul di balik pintu membuat aku langsung merapikan rambutku yang sudah acak-acakan karena aku merasa frustrasi aku payah sekali. “Ah, iya, Bu. Baru saja, aku kira Ibu sudah tidur,” kataku kemudian menyalimi tangan ibu. Ibu terlihat senyum padaku, wanita yang paling aku sayangi di dunia ini duduk di samping ranjangku kemudian melihatku dengan saksama. “Kau diantar oleh Exel lagi?” tanya ibuku dengan pandangan sayu. Aku hanya bisa mengangguk, mana bisa aku mengatakan bahwa aku ditolong Exel karena pingsan di lobi. Kalau ibu tahu pasti aku disuruh berhenti dari pekerjaan menjadi penyanyi di café itu karena sangat melelahkan dan pasti disuruh untuk melamar pekerjaan di tempat lain sementara aku harus hidup dari gaji menjadi penyanyi lebih dahulu baru bisa mencari pekerjaan lain. “Iya, Bu. Sebenarnya Gea sudah tidak mau diantar Exel, hanya saja dia memaksa dan ojek online juga beberapa kali membatalkan orderan jadi daripada tidak pulang aku memilih untuk menerima tawaran Exel,” ucapku berbohong, ini semua demi kebaikanku juga agar tidak dimarahi begitu saja oleh ibu. “Ibu tidak mau menerima laporan dari Meriska kalau kamu dan Exel masih menjadi teman dekat. Tolong dengarkan Ibu, Ibu tidak ingin anak Ibu kena masalah walaupun memang bukan kamu yang salah lebih baik mengalah saja karena mengalah tidak ada ruginya,” kata ibuku membuat aku merasa sedih juga karena sepertinya ibu mulai tidak senang dengan kedekatanku dan Exel, bukan tidak suka lebih tepatnya ibu khawatir jika gadis yang memiliki obsesi itu melakukan hal gila lainnya padaku. Andai ibu tahu bahwa aku pernah disiram air panas oleh Meriska, mungkin ibu akan lebih ketat lagi menjagaku dari Exel atau bisa saja ibu ikut aku bekerja dan menjaga agar Exel tidak mendekatiku lagi. “Tidak perlu takut, Bu. Untuk lain kali Gea gak akan menumpang lagi dengan Exel, sudah ya Gea ingin istirahat dulu kepala Gea pusing,” ucapku pada ibu membuat ibu mengangguk kemudian keluar dari kamarku. Aku merebahkan tubuhku di kasur yang hanya berukuran satu orang itu, rasanya sulit untuk aku menolak ajakan Exel karena bagaimanapun juga aku sudah jatuh cinta pada Exel semenjak pandangan pertama. Polos, satu kata yang mungkin saja terbesit dibenak orang-orang ketika aku menceritakan bahwa ada aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang pemuda. Namun, itulah yang membuat aku merasa lebih bersemangat kerja dan datang ke tempat kerjaan. Sedikit terlihat naif karena aku hanyalah gadis yang baru saja merasakan cinta dan percaya dengan segala keajaiban yang bisa dilakukan oleh kekuatan cinta. “Rasanya bertemu dengan Exel seperti cerita dongeng bagiku, aku adalah upik abu dan tidak ada harapan untuk hidup bahagia. Namun, tiba-tiba saja ada keajaiban melalui persetujuanku menjadi kekasih bayaran Exel, aku menemukan pangeranku sejak awal. Aku bahagia sekali, tapi aku tahu itu hanyalah sebuah kepura-puraan,” ucapku menatap langit-langit kamar dengan wajah sedih. Benar kata ibu bahwa apa yang dimulai dengan kebohongan, tidak akan berakhir dengan baik. Aku tahu bahwa semua yang aku jalani dengan Exel adalah kepalsuan, namun aku ingin sekali suatu hari itu menjadi sebuah kenyataan walaupun harapanku hanya satu berbanding seratus juta, tapi aku benar-benar berharap bahwa hari itu datang kepadaku entah kapan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD