Tekad Rima

1081 Words
Rima hanya diam saja, dengan tangan yang dipilihnya menahan kemarahan. Akhirnya, cuek, hanya itu sajalah pilihan terbaik yang dapat dilakukannya. Cuaca yang baik, tidak menghambat penerbangan dari Balikpapan menuju Banjarmasin. Pesawat mendarat dengan mulus di bandara Syamsudin Noor, Rima pun membiarkan pria yang duduk di sampingnya ini untuk berjalan ke luar duluan dari dalam pesawat. Akan tetapi, Andri tidak juga berdiri dari duduknya, hingga kesabaran Rima pun habis. Ia lalu berdiri dari duduknya dan berjalan melewati Andri, 'Permisi Tuan!" ucapnya saat lewat. Andri hanya menganggukkan kepalanya saja. Akan tetapi, ia pun ikut berdiri dan berjalan tepat di belakang Rima. Dalam hatinya, Rima mengumpat. Pria ini memang mencari masalah dengannya, dia pikir mungkin aku wanita yang lemah, atau jangan-jangan, sebenarnya Andri ini memang orang jahat. Tidak mau terlalu memikirkan tentang Andri, Rima pun terus berjalan ke luar dari dalam pesawat Rima yang tidak membawa bagasi, bisa dengan cepat langsung meninggalkan areal bagian dalam bandara, setelah semua proses administrasi selesai. Tiba di bagian luar bandara, Rima menuju tempat mangkal sopir taksi bandara. Hari yang sudah mulai gelap, membuat Rima mengurungkan niatnya untuk langsung menuju areal pemakaman. Selama duduk di dalam taksi, ia merasa ada mobil yang mengikutinya. Namun, Rima menyimpan dalam hati saja, kecurigaannya itu. Ia tidak mau, karena kecurigaannya semata, membuat panik sopir taksi yang dinaikinya. Sementara itu, Andri yang mengemudikan mobilnya tepat di belakang Rima. Bergumam tidak mengerti dengan dirinya yang selalu saja mencari masalah dengan Rima. Rasanya menyenangkan melihat kekesalan dari wanita itu. Saat melihatnya sedang duduk di kafe bandara, ia langsung tertarik kepada Rima. Seakan ada magnet pada diri wanita itu, yang membuat ia menjadi suka, hanya dalam sekali lihat. Dilihatnya, taksi yang ditumpangi Rima berhenti di depan sebuah rumah berpagar besi. Wanita itu turun dengan santainya dan berjalan membuka pagar rumah. Dapat dilihatnya, Rima menoleh ke arahnya yang memandangi dirinya dari balik mobilnya. Andri pun turun dari mobilnya dan berjalan menghampiri Rima. "Akhirnya, tahu juga aku alamat rumahmu tanpa perlu repot-repot untuk bertanya." "Besok pagi, aku akan datang untuk mengajakmu pergi jalan-jalan. Ingat!, jam 10 tepat ku jemput kamu." Tidak menunggu jawaban dari Rima yang melotot ke arahnya, Andri berjalan kembali menuju mobilnya. Saat mobilnya meluncur pergi, dibunyikannya klakson dengan nyaring. Rima masuk ke dalam rumah dengan wajah yang cemberut, orang itu memang suka membuat ulah saja. Atau Rima dibuat terkejut, dengan kedatangan nya yang tiba-tiba. Atau Rima dibuat terkejut, dengan kedatangan nya yang tiba-tiba. "Kamu suka sekali, datang tanpa memberitahukan kepada ayah dulu. Bagaimana pekerjaanmu di sana?, kamu tidak mendapat masalah bukan?" Rima memeluk ayahnya dan mencium punggung tangannya dengan sayang. "Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar, Yah!, aku tidak mengalami masalah sama sekali.' "Ayah belum makan, 'kan?, biar ku buatkan makan malam untuk ayah." Ia lalu berjalan ke dapur dan membuatkan makan malam untuk mereka berdua. Beberapa saat kemudian, Rima pun pamit undur diri kepada ayahnya. Ia mauk ke dalama kamar tidur saudari kembarnya. Kamar yang masih terlihat rapi dan selalu bersih, karena ada orang yang datang untuk membersihkan rumah mereka, termasuk dengan kamar almarhumah Monica. Diambilnya potret Monica dan di dekatnya di d**a. Ia lalu duduk di atas tempat tidur, sambil bersandar pada kepala ranjang. "Aku sudah bertemu dengan mantan kekasihmu, yang tidak ku mengerti. Bagaimana kau bisa jatuh cinta setengah mati, dengan pria yang lemah seperti dirinya.' "Aku sudah mulai menjalankan rencana ku untuk membalas dendam kepadanya. Kau tahu, Monica?" tanya Rima, sambil menjauhkan potret adiknya dari dalam dekapannya. Dipandang nya potret Monica, "Aku harus menahan rasa jijik ku, saat harus disentuh olehnya. Aku harus menahan rasa mual di perutku, ketika mencium dirinya." Rima kemudian memejamkan kedua matanya dan berkata kembali, "Aku, sebenarnya sedikit merasa bersalah kepada istri Rudi, tetapi aku juga harus terus menjalankan rencana ku dan melupakan rasa bersalah ini." "Aku akan mengakhiri rencana ku, begitu Rudi menjadi jatuh tidak berdaya, sama seperti yang pernah terjadi denganmu, meski aku yakin. Penderitaan yang akan dialami oleh Rudi tidak sama dengan kesakitan yang kau rasakan." Rima lalu meletakkannya potret Monica di atas meja dan diusapnya air matanya. Ia lalu merebahkan badannya dan besok pagi-pagi sekali, ia akan pergi ke makam Monica. Tak teringat sama sekali oleh Rima dengan peringatan dari Andri yang akan datang menjemputnya. Ia sudah melupakan tentang pria itu. Pagi harinya, dengan beberapa tangkai bunga mawar segar, yang dipotongnya di halaman rumah mereka, Rima pun menuju areal pemakaman yang jaraknya beberapa menit dari rumahnya, dengan mengendarai sepeda motor. Tiba di depan makam Monica, ia pun meletakkan bunga mawar yang dibawanya di atas pusara Monica. "Selamat ulang tahun, sister!, seharusnya, hari ini kita merayakannya bersama-sama, setelah bertahun-tahun kita berpisah." "Semoga kau tenang di alam sana dan akan menjadi damai dalam kubur mu, saat aku datang dengan membawa kabar, kalau diriku sudah berhasil menjatuhkan Rudi." "Kau tidak perlu takut, aku akan berubah menjadi orang yang jahat. Aku hanya akan menjadi jahat kepada Rudi dan istrinya saja, sementara kepada orang lain yang tidak terlibat rencana pembalasan dendam ku, aku tidak akan jahat kepada mereka." "Meskipun, harus kuakui. Aku akan memanfaatkan sebagian dari mereka untuk melancarkan rencana ku." "Aku pergi dulu!, nanti aku akan datang mengunjungimu lagi, dengan kabar kehancuran Rudi, sebelum dia jatuh, aku tidak akan datang." Rima lalu membacakan doa untuk Monica dan kemudian bangkit berdiri, dari berjongkok nya." Diusapnya air mata yang menetes di pipinya, sambil berjalan ke luar dari areal pemakaman. Tak lama berselang, Rima pun sampai di depan rumahnya. Ia menatap tidak percaya, ketika dilihatnya ayahnya sedang duduk di kursi teras, bersama dengan pria yang selalu saja mencari gara-gara dengannya. Sebelum Rima sempat membuka mulutnya, ayahnya lah yang terlebih dahulu berkata, "Kenapa kamu tidak bilang kepada ayah, kalau kamu datang bersama dengan kekasihmu?, kamu ini memang suka sekali mengejutkan ayah." Rima melotot tidak percaya mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya. Dalam hatinya, ia menggerutu, "Justru dirinya yang menjadi terkejut dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya." "Ini semua pasti ulah si biang masalah, yang sepertinya memang sengaja memancing dirinya untuk bertindak. Lihat saja apa yang akan dilakukannya nanti." "Karena Rima sudah datang, kalian ayah tinggal berdua. Mungkin ada yang ingin kalian bicarakan tanpa kehadiran pria tua ini," kata ayah Rima. Andri berdiri dan berjalan menghampiri Rima, yang menatap tajam ke arahnya. "Tidak udah melotot seperti itu!, nanti matamu bisa copot." "Aku datang memenuhi janjiku untuk datang menjemputmu." "Dan seingat ku, aku tidak pernah menyetujui apa yang kau katakan. Pergilah!, kehadiranmu sangat tidak diharapkan dan hanya membuat diriku menjadi marah saja." Andri menyentuh pundak Rima dan berbisik di telinganya. "Sayangnya, aku pria yang tidak mudah menyerah dan menaklukkan dirimu, merupakan suatu tantangan tersendiri bagiku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD