KEBENCIAN
Rima Arianti, 22 tahun seorang wanita yang memiliki wajah canik dengan rambut tergerai sampai pinggang. Aku memiliki bentuk tubuh yang ideal dengan tinggi badan sama seperti wanita Indonesia pada umumnya.
Akhirnya, setelah menempuh pendidikan selama empat tahun lamanya di Kanada, dengan program beasiswa, Rima pun kembali ke kota kelahirannya, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Dirinya sengaja menyembunyikan kepulangannya dari ayahnya, satu-satunya orang tua yang masih ia miliki, setelah ibunya meninggal setahun yang lalu, menyusul kepulangan saudari kembarnya, Monica menghadap Tuhan.
Rima ke luar dari areal bagasi, menuju pelataran Bandara Syamsudin Noor yang luas. Dipandanginya langit yang berwarna biru dan tanpa terasa, air matanya pun menetes haru. Ada rasa rindu yang membuncah, yang selama ini hanya ia simpan di dalam d**a saja.
Ia melangkahkan kakinya menuju parkiran bandara, di mana ada deretan taksi bandara yang berjejer rapi. Rima lalu menaiki salah satu diantaranya dan meminta diantarkan ke areal pemakaman umum yang terletak di daerah Tempat Pemakaman Umum Mekatani.
Tidak memakan waktu yang lama, hanya sekitar 10 menit, Rima sudah sampai di areal pemakaman. Dirinyapun lalu membayar ongkos taksi yang ia tumpangi dan kemudian memasuki areal pemakaman. Makam pertama yang didatanginya adalah makam ibunya. Dipeluknya nisan itu, dengan erat, sekuat mungkin ditahannya air mata, agar tidak mengalir. Namun, akhirnya air matanya mengalir juga dengan deras, aku merasa sangat menyesal tidak bisa menemani di saat ibu sakit dan juga menghadiri pemakamannya.
Apalah dayaku, yang pada saat itu masih mengenyam pendidikan di Kanada Jurusan Business of Arts. Aku tidak dapat menghadiri pemakaman ibu ataupun saudari kembar ku, Monica, karena aku sangat menyadari biaya penerbangan dari Kanada ke Indonesia tidaklah sedikit. Aku menyadari, ayah harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit guna membiayai perawatan ibu dan juga Monica. Usai membacakan doa untuk ibu, aku pun beranjak menuju ke makam Monica yang berada tepat di sebelah makam ibu.
Di depan nisan saudari kembar ku, kembali air mataku menetes. Hanya sedikit saja informasi yang kudapatkan, kalau Monica meninggal karena bunuh diri. Aku juga mendapatkan kabar mengenai pria bernama Rudi yang menjadi salah satu penyebab Monica meninggal dunia, tetapi Mardiana, sahabatku tidak menceritakan detilnya.
Rima menundukkan wajahnya dan ia usap pusara Monica, air matanya mengalir dengan deras. Ada rasa penyesalan, karena tidak berada di samping kembarannya pada saat ia mengalami keterpurukan. Ia dan Monica memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang.
Monica sangat pendiam dan tidak mudah untuk bergaul, ia juga tidak memiliki rasa percaya diri yang tinggi, berbeda dengan diriku yang mempunyai banyak teman dan mudah bergaul. Monica itu, kalau melakukan sesuatu sering bertanya terlebih dahulu kepadaku, kalau diperbolehkan barulah ia melakukannya.
Dibacakannya doa untuk Monica, ia memohon pengampunan kepada Sang Pencipta untuk dosa Monica yang sudah melakukan banyak kesalahan. Selesai membaca doa, ia enggan beranjak dari makam Monica, dielusnya kembali batu nisan Monica dan ia pun bertekad untuk membalas dendam kepada pria yang sudah membuat Monica menjadi putus asa dan nekat.
Hari sudah semakin sore, Rima pun berdiri dari berlutut nya di depan pusara Monica, aku berjanji akan datang lagi ke makam Monica dengan menceritakan kehancuran Rudi, pria yang sudah membuat Monica putus asa dan menyerah untuk memperjuangkan hidupnya.
Tiba di parkiran areal pemakaman sudah ada taksi online yang ia pesan, Rima pun langsung masuk dan duduk di jok belakang. Disebutkannya kepada sopir itu alamat rumahnya, mobil pun meluncur menuju ke rumahnya.
Rima sampai di rumah, saat hari sudah mulai gelap, dilihatnya lampu teras sudah menyala, ia turun dari dalam taksi online setelah membayar tarif taksi.i.
Iya memutar handle pintu dan pintu pun terbuka dengan mudahnya, kebiasaan jelek ayah yang terkadang lupa untuk mengunci pintu. Ia pun masuk ke dalam rumah dan ku tutup kembali pintu rumah, lalu dikuncinya pintu tersebut. Ia terus masuk ke dalam rumah, sampai dilihatnya sosok pria tua dengan rambut yang sudah memutih sedang duduk di depan televisi yang menyala.
Dihampiri pria tua tersebut dan langsung ia peluk erat tubuhnya, “Ayah, Rima sudah pulang. Maafkan Rima yang tidak berada di samping ayah pada saat Monica dan ibu meninggal.” Isak nya di pelukan ayahnya.
Ayahnya melepaskan pelukan Rima di tubuhnya dan menatapnya haru, “Kenapa kamu pulang tidak memberitahukan kepada ayah? ayah, ‘kan” bisa menjemput kamu di bandara.”
Rima mengatakan, kalau ia ingin membuat kejutan untuk ayahnya.Selesai melepas kangen dengan ayahnya, Rima masuk ke dalam kamarnya.
Sesampainya di kamar, ia lihat tidak ada yang berubah, semua hiasan dan posisi perabotan yang ada di dalam kamarnya tetaplah sama. Ia letakkan tasnya di atas meja, lalu mengambil pakaian bersih dari dalam koper, kemudian ia menuju kamar mandi.
Selesai mandi dan berpakaian ia pun berjalan menuju meja belajar, di mana tadi ia sempat melihat ada sebuah kotak, yang dibungkus kertas kado. Rima teringat, almarhumah ibunya, pernah mengatakan melalui telepon, kalau Monica memberikan sebuah bingkisan untuknya dan ibu letakkan di atas meja belajar, biar ia mudah melihatnya.
Ia ambil bingkisan tersebut dan membawanya ke atas tempat tidur, sambil bersandar pada kepala ranjang, dirobeknya kertas kado pembungkus bingkisan tersebut, yang ternyata sebuah diary milik Monica. Di atas diary tersebut, terselip kertas dengan tulisan dari Monica, ‘Untuk saudari kembar ku Rima, kalau kau membaca diary ini, berarti aku sudah tidak ada di dunia ini lagi. Maafkan aku yang sudah bersikap lemah dan pengecut. Maafkan aku yang sudah membuat banyak orang kecewa, tetapi ini adalah keputusanku dan aku tidak mau kau merasa bersalah dengan keputusan yang sudah kuambil.’ Air mataku menetes membaca pesan dari Monica.
Rima pun mulai membuka halaman pertama dari diary tersebut, sebuah foto terjatuh dari baliknya. Kuambil potret itu dan kulihat monica bersama dengan seorang pemuda, apakah ini yang namanya Rudi?, tanyaku dalam hati.
Dear Diary, Juli 2005
Hari ini, tepat satu tahun sudah aku kuliah di Akademi Kesehatan. Aku tinggal di sebuah kost bersama dengan teman satu SMU ku dulu. Aku dan saudari kembar ku, Rima kuliah berbeda tempat. Kami terpisah jarak yang jauh. Rima yang memang sejak dulu selalu mendapatkan nilai yang tinggi di bidang akademik, mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Kanada, sementara aku tetap kuliah di kota kelahiran kami.
Aku hari ini berkenalan dengan seorang lelaki, namanya Rudi, sama seperti ku, dia juga anak kost dan kuliah di jurusan Teknik. Rudi orangnya baik dan ramah, Ia tinggi dan tampan, membuatku langsung jatuh hati begitu melihatnya. Ternyata perasaanku pun bersambut, Rudi juga jatuh hati kepadaku.
Akhirnya, kami resmi menjadi sepasang kekasih, Rudi kekasih yang baik hati, ia selalu mengingatkan ku untuk makan, karena tahu aku memiliki riwayat penyakit maag yang kronis.
Dear Diary, Januari 2006
Hubunganku dengan Rudi, tanpa terasa sudah berjalan enam bulan lamanya dan Rudi memintaku untuk mengenalkannya kepada kedua orang tuaku. Aku menyetujuinya, jadi lah, ku ajak Rudi ke rumahku untuk berkenalan dengan kedua orang tuaku. Aku merasa bahagia, Rudi ternyata serius denganku, tidak untuk bermain-main.
Usai bertamu ke rumahku, Rudi pun pulang kembali ke kost nya, sementara aku tetap di rumah. Ku antarkan kepergian Rudi sampai teras depan rumah. Senyum bahagia masih terbit dari bibirku. Namun, senyum itu perlahan menghilang saat ibuku dengan tegas menyatakan penolakannya. Ibuku tidak setuju aku menjalin hubungan dengan Rudi, dengan alasan kami masih kuliah belum mapan dan Rudi juga belum bekerja.Ibu tidak mau dengan aku berpacaran akan mengganggu kuliahku dan menghancurkan masa depanku.
Aku merasa sedih dan kecewa dengan penolakan ibu terhadap hubunganku dengan Rudi. Meski ku jelaskan berulang, kalau Rudi lelaki yang baik dan bertanggung jawab, ibu tetap kukuh dengan pendiriannya. Aku hanya bisa diam saja dan masuk ke dalam kamarku dengan hati yang sedih.
Dear Diary, Februari 2006
Aku dan Rudi menjalin hubungan sembunyi-sembunyi. Di depan kedua orang tua ku, terutama ibu yang sangat menentang hubunganku dengan Rudi. Aku mengatakan kalau sudah putus dengan Rudi dan tidak ada hubungan apa-apa lagi. Rudi juga melamar ku di depan teman-teman satu kampus ku dan mereka meminta ku untuk menerimanya. Bagaimana aku menerima lamaran Rudi, sementara aku tidak berani menentang keputusan ibu ku.
Dear Diary, Maret 2006
Karena merasa frustasi tentang hubungan ku dengan Rudi, aku pun melakukan hubungan terlarang dengannya. Aku dan Rudi melakukan hubungan layaknya suami istri. Aku harus berbohong dengan teman satu kost ku dengan mengatakan kalau aku menginap di rumah teman ku, padahal aku menginap di kost Rudi.
Akhirnya, aku hamil anak Rudi, aku berharap dengan kehamilanku ini, ibu akan menerima hubunganku dengan Rudi. Namun, kembali aku harus menelan kenyataan pahit, ibu tetap menolak hubunganku dengan Rudi. Aku pun terpaksa untuk kedua kalinya menolak lamaran Rudi.
Dear Diary, Maret 2006
Aku dan Rudi memutuskan untuk pergi ke bidan beranak kampung, untuk menggugurkan janin yang ada dalam kandunganku. Janin tidak bersalah, hasil dari hubungan terlarang ku dengan Rudi. Janin yang baru berusia beberapa minggu itu pun akhirnya gugur. Aku mengaborsi calon buah hatiku dengan teganya. Aku menangis saat gumpalan calon buah hatiku jatuh ke lantai. Rudi menggenggam jemariku, lalu memelukku dengan erat. Kami menangis bersama, berbagi rasa sedih dan penyesalan dan ditengah isak tangis dan rasa sakit ku, ia kembali melamar ku dan kembali ku tolak.
Dear Diary, Mei 2006
Ternyata, abortus yang dulu kulakukan berdampak buruk terhadap kesehatanku. Aku sering merasakan sakit di area intim ku. Sebagai seorang mahasiswi jurusan kesehatan, aku memang menyadari bahayanya melakukan abortus. Namun aku mengabaikan semua itu dan nekat tetap melakukannya. Aku juga mengabaikan rasa sakit di perut dan datang bulan ku yang tidak seperti biasanya. Hingga, akhirnya aku jatuh pingsan karena kesakitan saat datang bulan yang begitu banyak.
Aku dibawa ke rumah sakit dan menjalani sejumlah pemeriksaan medis, dan ternyata oleh dokter aku divonis terkena kanker Rahim. Duniaku seakan runtuh, menerima kenyataan pahit harus menderita sakit yang begitu parah. Saat aku berada di ruang perawatan, Rudi datang untuk menjengukku. Aku tidak mengatakan kepadanya sakit yang ku derita. Rudi menggenggam jemariku dan memintaku untuk menjadi istrinya. Keempat kalinya, Rudi melamar ku dan untuk keempat kalinya juga aku menolak lamaran Rudi.
Dear Diary, Juni
Aku kini harus menjalani kemoterapi untuk mengobati penyakit ku. Aku pun tetap menjalani rutinitas sebagai seorang mahasiswi. Rudi akhirnya mengetahui sakit ku, kami berdua menangis bersama. Menangisi kesalahan kami dan kebodohan kami berdua. Rudi kemudian berlutut di hadapanku dan memintaku untuk menjadi istrinya yang kelima kalinya.
Dengan air mata yang berlinang, kembali aku menolak lamaran Rudi dan itu adalah terakhir kalinya, aku bertemu dengan Rudi. Ia merasa sangat kecewa dan marah atas penolakan ku untuk yang kelima kalinya.
Dear Diary, Desember 2006
Aku akhirnya lulus kuliah keperawatan, ditengah penyakit yang ku derita dan harus menjalani kemoterapi juga pengobatan dari dokter. Aku berhasil juga menyelesaikan pendidikan ku.
Ada rasa haru yang membuncah di hatiku, aku bergabung bersama dengan teman-teman ku yang lain, untuk merayakan kelulusanku, meski kondisi tubuhku sudah tidak terlalu fit lagi dan berat badanku yang merosot turun, aku tetap memaksakan diri mengikuti acara wisudaku.
Saat akan pulang dari gedung tempat diselenggarakannya wisuda kami, aku akhirnya bertemu kembali dengan Rudi, setelah terakhir kami bertemu saat aku menolak lamaran Rudi dan Ia langsung meninggalkan ruangan tempatku dirawat tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Rudi menatap wajahku dengan dingin, lalu diulurkannya sebuah undangan perkawinan berwarna biru kepadaku. “Aku akan menikah, seminggu lagi. Kuharap kau mau datang,” kata Rudi kepada ku dengan tidak berperasaan.
Tanganku bergetar menerima undangan yang diberikan oleh Rudi, sekuat mungkin aku berusaha menahan agar air mataku tidak jatuh dihadapan Rudi. Aku hanya menganggukkan kepala, tak sanggup untuk mengeluarkan suaraku sepatah pun. Pasti yang ke luar nanti hanyalah suara isak tangisku.
Rudi kemudian meninggalkanku yang masih berdiri di samping gedung, kulihat Rudi kemudian menggandeng seorang gadis cantik dengan rambut hitam terurai sebahu. Hatiku sakit, secepat itu, Rudi melupakanku dan mengalihkan rasa cintanya kepada yang lain. Begitu cepatnya Ia memutuskan untuk menikah dengan gadis lain, sementara kata putus tidak pernah terucap dari bibirnya sejak kami terakhir bertemu.
Rima lalu menutup diary milik Monica dan mengusap air matanya yang mengalir dengan derasnya. Aku pun ke luar dari kamar memenuhi panggilan dari ayah untuk makan malam.
Saat ia sampai di ruang makan telah tersedia berbagai macam hidangan, memang semenjak ibu meninggal dunia, ayah memesan makanan pada jasa catering. Aku pun duduk di samping ayah dan menikmati makan malam bersama-sama.
Selesai makan, kami pindah duduk di ruang keluarga, aku dan ayah pun berbincang-bincang. Ayah menanyakan bagaimana pendidikan ku selama di Kanada dan juga bagaimana dengan pergaulanku di sana. Aku pun menceritakan pendidikan ku selama di sana berlangsung dengan baik. Mengenai pergaulanku selama di sana ku ceritakan kepada ayah, aku selama di sana hanya belajar dan sebagian waktu ku habiskan dengan bekerja paro waktu di sebuah restoran.
Ayah tersenyum senang mendengar penjelasan ku, “Kau sangat berbeda dengan saudari kembar mu. Ayah tidak tahu mengapa ia sampai melakukan hal yang bodoh.” Kulihat ayah mengusap air matanya yang menetes, aku merasa sedih melihat ayah yang masih merasakan kepedihan atas kepergian Monica yang mendadak dan dengan cara yang salah.
rasa benciku kepadaku Rudi semakin besar dan tekadku untuk membalas perbuatan Rudi pun semakin kuat. Aku akan mencari cara untuk bisa membalaskan rasa sakit hati ayahku, karena kehilangan putrinya dan juga rasa sakit hatiku, karena tindakan Rudi, membuat saudariku menjadi bunuh diri.
Keesokan harinya, aku mendatangi Mardiana, teman satu kost Monica saat kuliah dulu. Aku mau mencari tahu tentang Rudi dan Monica lebih banyak lagi. Kebetulan Mardiana adalah teman satu sekolah juga denganku, hanya saja aku dan Mardiana tidak pernah dekat.
Aku tiba di rumah Mardiana, kami pun larut dalam obrolan mengenai Monica. Mardiana menceritakan kepadaku, bagaimana hancurnya hati Monica setelah menerima undangan pernikahan dari Rudi dan sejak saat itu kondisi tubuhnya juga semakin menurun. “Kanker rahim yang menyerang tubuhnya semakin parah. Ia dirawat di rumah sakit selama beberapa minggu dan karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakitnya, Monica memilih menyerah dan mengakhiri hidupnya sendiri,” ucap Mardiana diiringi suara isak tangisnya.
Aku dan Mardiana pun larut dalam kesedihan, air mataku juga menetes dengan derasnya. Tatapanku menerawang teringat saat-saat aku masih sekolah bersama dengan Monica dan kebersamaan kami di rumah. Betapa dekatnya kami berdua sebagai saudari kembar. Aku sangat mengenal kembaran ku, ia gadis yang baik hati dan pendiam. Ia tidak mempunyai rasa percaya diri dalam mengambil keputusan, ia selalu bertanya kepada ku terlebih dahulu. meminta persetujuan saat akan mengikuti kegiatan di sekolah.
“Jatuh cinta boleh, tetapi jangan menjadi bodoh dan lemah karena cinta,” ucapku lirih. Aku merasa apa yang dilakukan oleh kembaran ku adalah sebuah kebodohan. Hanya karena cinta, ia melakukan dosa dengan melakukan hubungan suami istri bersama kekasihnya. Kemudian di tambahnya lagi dengan melakukan dosa yang lain, melakukan aborsi. Yang lebih membuatku merasa kecewa, Monica mengakhiri hidupnya sendiri. Berapa banyak kesalahan dan dosa yang sudah dilakukannya.
Aku bertanya kepada Mardiana, apakah ia mengetahui kisah cinta antara Monica dengan Rudi. Mardiana mengatakan kepadaku kalau ia mengetahui mengenai kisah cinta mereka, juga mengenai Rudi yang lima kali melamar Monica. Namun, terus ditolak oleh Monica.
Mardiana juga mengatakan kepadaku, kalau Rudi tidak datang saat Monica meninggal dunia, meski ia sudah mengirimkan pesan kepada Rudi, melalui teman Rudi sewaktu kuliah, karena Mardiana tidak memiliki nomor kontak Rudi.
Ku pastikan Rudi akan menerima pembalasan dariku, tidak akan kubiarkan Ia bahagia di atas derita dan dosa yang telah dilakukan oleh saudariku, tanpa ada rasa sesal dan bersalah. Dia harus menerima pembalasan, enak saja Rudi menikah dan hidup bahagia bersama dengan istrinya. Sementara kembaran ku di alam kubur sana sudah pasti mendapatkan siksaan atas semua dosa yang telah dilakukannya.
Aku mulai searching, mencari tahu media sosial milik Monica, yang belum di nonaktifkan dan aku pun mengetahui sandi dari media sosialnya tersebut. Dari situ, aku mendapatkan foto Rudi dan aku pun langsung saja mencari akun media sosial milik Rudi. Aku menjadi seorang stalker dan mulai kepo dengan Rudi.
Ku catat nomor handphone dan informasi tentang Rudi, ternyata Ia dan istrinya, meski sudah dua tahun menikah belum juga mempunyai anak. “Balasan untukmu, karena bersama dengan saudariku, kalian berdua telah melenyapkan anak kalian,” ucapku dalam hati dengan geram.
Pagi harinya, Aku berangkat ke kantor tempatku akan mulai bekerja sebagai seorang manajer keuangan. Meskipun, Aku menjadi manajer keuangan di perusahaan milik Ayahku sendiri dan juga keempat sahabatnya. Meski, ayahku sebagai pemegang saham terbesar, Aku akan menjalani pekerjaanku dengan penuh tanggung jawab.
Aku tiba di kantor dan langsung masuk ke dalam ruangan ku. Aku mulai mengatur rencana agar bisa berkenalan dengan Rudi. Ternyata Rudi bekerja di perusahaan milik pamanku yang berada di kota yang berbeda dengan tempat tinggal ku sekarang ini. Sungguh suatu keberuntungan untukku. Jalan untukku memberi pelajaran kepada Rudi semakin terbuka lebar.
Akan kucari cara agar Rudi dipindahkan ke perusahaan milik ayahku dan akan ku buat Ia merasa tidak nyaman. “Tinggal mencari cara saja, bagaimana ayahku mau menerima Rudi untuk bekerja di perusahaan ayah, ya?” monolog ku di ruang kerjaku.
Aku bingung sendiri memikirkan cara agar Rudi di pindahkan kerja ke perusahaan milik ayahku. Hingga sebuah kesadaran menghantam ku, kenapa tidak aku saja yang pindah kerja ke perusahaan milik pamanku. Ya, ide yang bagus, Aku saja yang pindah kerja ke sana. Aku akan mengarang alasan yang masuk akal dan dapat diterima oleh ayahku, meski sekali lagi aku harus tega meninggalkan ayah seorang diri, tetapi kepergian ku ini tidak akan lama. Misi ku hanya satu, membuat Rudi hancur dan menyesali perbuatannya dahulu.
Bagaikan orang yang menang lotere, Aku kembali bersemangat untuk menuntaskan pekerjaanku sebagai manajer keuangan.
Saat jam istirahat tiba, Aku bergegas ke luar dari ruangan ku menuju ke ruang kerja ayahku. Begitu sampai di depan pintu ruang keja ayahku, Aku mengetuk pintu dan kemudian masuk ke dalam ruangan.
Kulihat ayah ku sudah mematikan laptopnya, sepertinya ayah ku sudah bersiap untuk makan siang. Aku duduk di depan meja kerja ayahku. Ayah menghentikan kegiatannya yang tengah mematikan laptop miliknya. Ayah menatap wajahku dengan lekat.
“Tumben anak ayah nyamperin ke ruang kerja Ayah?, ada apa?. Di lihat dari wajah Kamu yang kusut, sepertinya anak Ayah sedang ada masalah. Ceritakan saja sama Ayah.”
Aku meremas jemariku, dengan sedikit ragu aku pun mulai mengutarakan niatku untuk pindah bekerja ke perusahaan milik pamanku, adik kandung ayah. “Rima, mau pindah kerja di perusahaan om Ramdhan, Yah. Rima mau cari suasana baru dan tantangan baru. Kalau di sini, ‘kan” Orang-orang taunya Aku anak ayah, sementara di tempat om Ramdhan tidak ada yang mengenalku sama sekali. Aku mau berteman dengan karyawan lainnya tanpa ada rasa segan.”
Di sini, semua karyawan Ayah, segan untuk berteman denganku, hanya karena Aku putri dari pemilik perusahaan ini. Padahal Aku juga mau mereka berteman denganku tanpa memandang statusku yang merupakan putri pemilik perusahaan.
Ayah manggut-manggut mendengar keluhan ku. Kuharap ayah menyetujui rencana ku untuk pindah bekerja. Ayah menghela napasnya beberapakali dan di tatapnya Aku lekat-lekat, “Yakin, hanya itu alasan Kamu mau minta pindah kerja. Tidak ada yang lain? atau ada yang Kamu sembunyikan dari Ayah?”
Rima menjadi gugup di tatap ayahnya dengan tajam, “Iya, Yah. Hanya itu saja kok masalahnya tidak ada yang lain. Aku cuman mau bekerja di tempat, di mana pekerja lainnya tidak mengenalku sebagai putri dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja.”
“Kalau bekerja di tempat Om Ramdhan, orang-orang juga akan mengetahui kalau Kamu itu keponakan tersayang dari Om mu itu. Om kamu sudah menganggap Kamu seperti putrinya sendiri, karena dia dan istrinya hanya punya anak laki-laki saja.” terang ayah berusaha menggoyahkan niatku untuk pindah bekerja.
“Aku akan minta kepada Om Adit untuk pura-pura tidak mengenalku selama Aku ada di kantor, Yah. Aku akan meminta kepada Om Adit untuk memperlakukanku sama seperti karyawan lainnya. Tolong, ya, Yah. Ijinkan Aku untuk bekerja di tempat om Adit dan ayah minta kepada om Adit menerima Aku kerja di sana, ya, Yah.” Bujuk ku kepada ayah.
Ayah tersenyum ke arahku di usap pelan surai rambutku, “Iya, Ayah akan bilang ke om Adit, kalau Kamu mau bekerja di perusahaannya,” jawab ayah.
Aku tersenyum senang, ayah menyetujui rencana ku untuk pindah bekerja di perusahaan milik om ku. Aku langsung berdiri dan memeluk ayahku, “Terima kasih, yah. Ayah memang yang terbaik.”
Ayah hanya tersenyum mendengar ucapan ku. Kami pun kemudian ke luar untuk makan siang bersama-sama. Kami akan makan siang di sebuah restoran yang letaknya tidak terlalu jauh dari perusahaan.
…
Seminggu kemudian, jadilah Aku pindah bekerja di perusahaan milik om ku. Hatiku sedikit merasa cemas, kalau-kalau Rudi mengenaliku. Aku hampir melompat-lompat kesenangan, ternyata Aku di tempatkan satu ruangan dengan Rudi.
Sungguh suatu keberuntungan untukku, sepertinya Tuhan pun memberikan ijin kepadaku untuk memberikan pelajaran kepada Rudi. Akan ku ajarkan Rudi artinya mencintai dan dikecewakan secara bersamaan. Aku tidak peduli dengan istri Rudi, toh, Aku tidak akan berselingkuh dengan Rudi. Aku hanya mau membalaskan rasa sakit hati kembaran ku dan menuntaskan rasa benciku kepada Rudi, meski kata Mardiana teman satu kos Monica, kalau semua itu tidaklah sepenuhnya kesalahan Rudi, tetapi bagiku Rudi tetaplah bersalah.
Om Ramdhan benar-benar mematuhi instruksi dari ayahku. Ia berpura-pura tidak mengenalku sama sekali dan memperlakukanku layaknya pekerja yang ada di perusahaannya.
Dengan badan yang sedikit bergetar, karena pengaruh emosi. Aku akhirnya bertemu secara langsung dengan mantan kekasih sahabatku. Ternyata, dari dekat Rudi lebih tampan. Sayang sekali, wajah setampan itu mempunyai hati yang jahat. Entahlah, hatiku tidak terima dengan perlakuan Rudi kepada kembaran ku. Meski Mardiana berulangkali mengatakan kepadaku, kalau apa yang terjadi pada Monica bukanlah sepenuhnya kesalahan Rudi.
Monica juga bersalah, Ia yang terbuai bujukan setan dan menuruti nafsu. Serta Monica yang berulangkali menolak lamaran Rudi, jadi bukanlah salah Rudi, kalau Ia berpaling dan menikah dengan wanita lain. Mengapa, Aku tidak dapat menerima semua itu, di hatiku, hanya ada rasa benci dan tekad untuk membalas semua perbuatan Rudi.
Aku pun menghampiri Rudi, di bagian HRD ini, Rudi adalah bos ku, Aku harus bersikap hormat kepadanya. Aku duduk di hadapan Rudi, “Selamat pagi, pak. Saya, karyawati baru. Ini berkas Saya, Pak,” ucapku sambil menyerahkan berkas lamaran ku.
Rudi menerima map yang berisi berkas lamaran pekerjaan milikku. Ia lalu membukanya dan membaca isi dari lamaran yang ku buat, “Saya kok merasa heran, ya. Kenapa Saya tidak tahu proses penerimaan Kamu, tahu-tahu saja Kamu ditempatkan bekerja di bawah kepemimpinan Saya,” ucap Rudi.
Rima menjadi gugup ditanya seperti itu dan ditatap Rudi dengan tajam, “Maaf, Pak. Sebenarnya Saya dulu pernah bekerja di perusahaan milik keluarga ini. Dan Saya kemudian minta mutasi, karena Saya pindah domisili,” dusta Rima.
Rudi mengangguk, “Hmm, baiklah kalau begitu. Saya akan memberikan tugas apa saja yang harus kamu kerjakan.”
“Baik, Pak. Terima kasih, atas pengertian bapak,” sahutku. Dalam hati, Aku mengatur strategi agar bisa memikat hati Rudi, aku akan membuatnya merasa nyaman dengan kehadiranku dan akan ku buat Rudi menjadi dekat denganku.
Aku di tempatkan di bagian staf keuangan, tentu saja ini tidak terlalu merepotkan ku. Karena sebelumnya Aku menjabat sebagai asisten manajer keuangan di perusahaan aya ku. Bagiku tidak masalah sama sekali harus turun jabatan, yang penting Aku dapat mendekati Rudi.
Setelah satu minggu bekerja di ruangan yang sama dengan Rudi, Aku sedikit banyak mulai mengenal dirinya. Rudi, sosok yang pendiam. Ia hanya berbicara kalau ada hal yang penting saja. Selama seminggu ini juga, Aku hampir tidak pernah mendengar Rudi menerima telepon dari istrinya, “Apakah hubungan keduanya tidak harmonis?, baguslah kalau begitu. Aku tidak rela Rudi bahagia di atas semua kesalahan yang telah dilakukannya bersama dengan sahabatku," gumam ku dalam hati.