13 - Sedikit Khawatir

1597 Words
Semakin lama, Chisa merasa jika hubungannya dengan Orion terasa semakin dekat. Laki-laki itu jadi sedikit lebih terbuka pada Chisa. Nada bicaranya juga sudah tidak semenjengkelkan saat awal Chisa datang, dan lagi, sekarang, Orion jadi lebih sering tersenyum. From: Orion [Aku akan pulang malam. Nanti, kamu makan malam duluan aja, nggak usah nungguin aku!] Chisa menghela napas panjang. Baru juga ia memuji hubungannya dengan Orion yang semakin membaik. Namun, malah laki-laki itu tidak akan pulang cepat hari ini. Padahal, Chisa sekarang sudah berada di taksi untuk pulang. Belum sempat Chisa membalas pesan Orion, terdapat satu pesan baru lagi yang masuk ke ponselnya. From: Mbak Sany [Kamu sudah pulang kuliah? Kalau kamu di apartemen, bisa tolong cek ke meja kerja Orion, ada berkas yang mapnya warna hijau enggak?] For: Mbak Sany [Saya masih di jalan, Mbak. Nanti kalau sudah sampai, coba saya cek.] Beberapa menit kemudian, Chisa sampai di gedung apartemennya. Ia pun bergegas mencari berkas yang Sany maksud. Dan untung saja, ia bisa segera menemukan berkas itu. For: Mbak Sany [pict] [Yang ini bukan, Mbak? Saya nemunya kalau yang map hijau, cuma ada ini.] From: Mbak Sany [Coba fotokan halaman pertamanya!] For: Mbak Sany [pict] From: Mbak Sany [Iya, benar yang itu, Chis. Bisa tolong antar ke sini? Kami butuh banget berkas itu sekarang. Tapi nanti kamu jangan temuin Orion. Bilang aja ke security-nya kalau kamu cari aku.] [Aku kirimin mapsnya sekarang juga kalau kamu bisa.] [Gimana?] Chisa menghela napas panjang. Di samping merasa malas, ia sebenarnya juga khawatir jika memunculkan diri di depan orang-orang di waktu bersamaan dengan Orion. Namun, melihat bagaimana Sany bilang mereka benar-benar membutuhkan berkas itu segera, rasanya Chisa tidak enak apabila tidak membantu. Lagi pula, melihat bagaimana Sany sendiri yang sampai meminta tolong pada Chisa, bukankah itu menunjukkan jika wanita itu sudah benar-benar terdesak dan tidak memiliki cara lain? For: Mbak Sany [Oke, Mbak. Habis mandi, aku langsung jalan. Nanti kirimin aja lokasinya.] Setelah itu, Chisa mengisi daya baterai ponselnya, sebelum akhirnya bersiap untuk membersihkan diri di kamar mandi. Satu jam kemudian, Chisa sampai di sebuah rumah tempat Orion sedang shooting sebuah film layar lebar. Seperti pesan Sany, ia langsung mengatakan pada security jika ia ada perlu dengan Sany. Ia juga mengirim pesan pada manajer Orion itu jika ia sudah sampai di sini. Namun, sebelum Sany berhasil menemukannya, keberadaannya sudah lebih dulu ditangkap basah oleh Orion. Orion mengernyitkan alisnya saat melihat Chisa berdiri tak jauh dari ruang istirahat. Ia menoleh ke sekitar, dan tak mendapati siapa pun bersama gadis itu. “Mau apa dia?” gumam Orion. Tak lama, Chisa juga menyadari keberadaan Orion yang ternyata sedang memandanginya. Ia pun berusaha menghindar. Ia berniat berpindah tempat dengan tergesa, hingga tanpa sengaja ia malah menabrak staff yang sedang membawa pakaian ganti untuk para artis. “Maaf maaf, saya nggak sengaja. Biar saja bantu ya, Mbak,” ucap Chisa, sambil berjongkok dan mengamil beberapa pakaian yang berserakan di lantai. Namun, tangannya ditepis kasar oleh wanita yang ia tabrak. “Punya mata nggak, sih? Lagian kamu siapa? Kan kamu bukan staff di sini. Kamu penyusup, ya?” “Eh, bukan. Saya-” “Dia datang buat bertemu saya,” potong Orion, membuat Chisa terlonjak kaget. Lelaki itu menarik lengan Chisa agar segera berdiri. Sedangkan staff yang membawa pakaian tadi, segera menunduk memberi salam pada Orion dengan sopan setelah memunguti pakaiannya, kemudian pergi dari sana. Setelah kepergian staff itu, Orion melepaskan tangannya pada lengan Chisa. Ia memandangi gadis malang itu dengan dingin, membuat Chisa merasa serba salah. “Ikut aku!” kata Orion dengan nada tegas. “Eh?” bingung Chisa. Orion sudah lebih dulu beranjak dari sana sebelum menjawab keterkejutan Chisa. Sedangkan Chisa, ia masih kebingungan seperti orang hilang. Ia menatap ke sana-ke mari dengan was-was, khawatir akan ada orang yang menangkap basah interaksinya dengan Orion. Namun, sepertinya semua orang di sini sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Saat Chisa kembali menatap ke arah Orion, ternyata kini sedang menatapnya dengan kesal. Di tengah konflik batinnya, Chisa menggigit bibir bawahnya, merasa serba salah. Namun, akhirnya langkah kakinya membawa ia untuk menyusul Orion. Orion membawa Chisa ke sebuah mobil dan memaksa Chisa untuk masuk ke sana. Setelah itu, Orion menyusul dengan duduk di kursi sebelah Chisa. “Kamu nngapain datang ke sini? Siapa yang kasih tahu kamu kalau aku di sini?” tanya Orion. “A- aku … I- ini …” Sudah lama Chisa tidak menghadapi kemarahan Orion. Dan meski kini Orion tampak belum sampai ke tahap marah, gadis itu tetap merasa was-was. Biar bagaimana pun, ia masih menggantungkan hidup dan masa depannya pada Orion. Ia masih tidak ingin membuat pria itu kesal dan akhirnya memecatnya dari pekerjaannya saat ini. Orion menatap berkas yang Chisa serahkan dengan alis mengernyit. “Mbak Sany minta aku buat anterin ini. Dia yang kasih tahu aku alamat ini. Cuma aku nggak tahu, kalau kita bisa sampai ketemu. Sumpah, aku nggak sengaja, Yon,” terang Chisa. Orion menghela napas panjang. Ia meraih ponselnya untuk menghubungi Sany. Namun, panggilan wanita itu sedang sibuk. Bersamaan dengan itu, muncul nama dan kontak Sany di layar telepon Chisa. Chisa pun segera menunjukkannya pada Orion, dan Orion langsung merebutnya. “Mbak yang minta Chisa buat datang ke sini?” tanya Orion begitu telepon telah tersambung. Chisa terkejut. Pasalnya, nada bicara Orion terdengar sedikit kasar, padahal Sany lebih tua mereka. “Iya. Dia di mana sekarang? Kok HP nya bisa sama kamu? Kalian lagi barengan? Yon, kamu gila?” omel Mbak Sany. Samar-samar, Chisa juga bisa mendengarnya. “Mbak kali yang gila. Dengan nyuruh dia ke sini aja udah salah.” “Bilang sekarang. Kalian di mana? Mbak titip berkas penting ke dia soalnya. Dia bawa, kan?” “Hm. Dia bawa. Kami ada di mobil kita. Di dalam,” jawab Orion sambil menatap Chisa yang sedang menggigit jarinya sebagai pelampiasan kekhawatirannya saat ini. Orion menarik pelan tangan kanan Chisa itu. Ia memelototi Chisa, agar gadis itu tidak lagi berbuat konyol, apalagi jika itu bisa melukainya. “Oke. Mbak ke sana sekarang. Dan kamu! Kamu jangan keluar dulu dari mobil sebelum Mbak sampai. Nanti ada yang lihat, bisa jadi salah paham,” kata Sany. Orion hanya berdehem. Kemudian, ia mematikan sambungan telepon, dan kembali fokus pada Chisa yang saat itu juga langsung menundukkan pandangannya. “Maaf. Aku ke sini cuma karena disuruh. Dan aku pikir ini benar-benar urgent, makanya aku mau. Ak- aku janji, aku nggak akan bikin masalah kok,” cicit Chisa. “Telat. Kamu nggak lihat tadi, kamu sampai diomeli staff begitu?” kesal Orion. “Itu aku benar-benar nggak sengaja. Habis ini, aku langsung balik, kok. Pokoknya aku janji nggak akan bikin masalah yang bakal ngerugiin kamu,” kata Chisa. Orion menghela napas frustrasi. Ditatapnya gadis malang yang selalu tunduk patuh padanya itu. Ia melihat tangan kanan Chisa yang sedikit memerah. ‘Apa karena tepisan staff tadi tangannya jadi seperti itu?’ pikir Orion. “Lain kali jangan ceroboh!” Kali ini, Orion sudah kembali menurunkan nada bicaranya. “Lihat, kan! Kamu terlalu mudah dilukai sama orang lain kalau kamu ceroboh dan payah. Terus, kalau ada yang marahin kamu padahal kamu nggak salah, jangan mau dong! Kamu harus bisa lawan, kalau kamu nggak mau akhirnya kamu sendiri yang terluka.” Chisa sontak menatap tangannya yang sedikit memerah. Lalu, dengan konyolnya ia seperti ingin menyembunyikan tangannya ke belakang punggungnya. Tiba-tiba, pintu mobil terbuka, membuat Chisa kaget dan hampir melompat ke arah Orion. Tampak Sany menatap kesal ke arah dua anak muda yang sudah lebih dulu berada di dalam mobil itu. “Bisa tahan sedikit nggak, Yon? Kalau mau melakukan hal m***m, bisa kan nunggu sampai di apartemen aja? Kamu juga, Chis, kan udah janji nggak bakal bikin posisi Orion jadi sulit,” omel Sany. “Tap- tapi saya tidak-” “Siapa juga yang m***m? Aku cuma ngumpetin dia di sini, soalnya tadi ada insiden kecil,” potong Orion. Mata Sany menyipit. “Insiden? Apa terjadi sesuatu yang serius?” “Kan aku bilang insiden kecil, Mbak. Dan udah beres juga,” jawab Orion. Sany menghela napas lega. “Waktu istirahatnya nggak lama, Yon. Mending kamu makan dulu sekarang! Chis, mana berkasnya?” Chisa menyerahkan berkas yang ia bawa pada Sany. Kemudian, wanita itu sedikit bergeser untuk memberi jalan bagi Chisa untuk keluar dari sana. Orion pun menyusul keluar setelah Sany mengatakan jika keadaannya aman. “Chis, nggak papa kan kamu langsung pulang sekarang? Makasih banget udah dibawain berkasnya,” kata Sany. “Iya, Mbak. Saya langsung pulang aja kalau begitu,” jawab Chisa. Lalu, tatapan gadis itu bertemu kembali dengan manik mata Orion yang ternyata masih mengawasinya. “Kamu sudah makan malam?” “Belum.” “Habis ini aku transfer uang buat makan di luar. Nanti mampir aja ke resto dulu buat makan biar nggak sampai telat makan,” kata Orion. Chisa baru sadar, kalau sekarang sudah jam enam lebih. “Nggak usah kamu transfer. Uang yang-” “Anggap aja bayaran karena kamu udah bawain berkas itu ke sini. Udah sana nggak usah ngeyel!” kata Orion. Chisa mendengus kesal menatap Orion yang seenaknya menyuruhnya. “Kamu juga buruan sana ambil jatah makanan kamu, Yon! Biar Chisa Mbak yang tungguin di sini sampai dapat taksi,” sambung Sany yang sejak tadi masih menyimak percakapan muda-mudi itu. “Eh, nggak perlu, Mbak,” tolak Chisa. “Nggak papa. Lagian Orion belum akan pergi kalau dia belum bisa memastikan kamu bakal baik-baik aja. Jadi mau nggak mau ya Mbak yang harus berkorban,” balas Sany. Chisa mengernyit tidak mengerti. Saat ia menoleh ke arah Orion untuk meminta penjelasan, pria itu malah pergi begitu saja dari tempat itu, berjalan menuju keramaian artis dan staff lain yang sedang beristirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD