Awalnya, Chisa berniat untuk makan di apartemen saja. Toh jika hanya di rumah sendiri, ia bisa makan hanya dengan menggoreng satu telur atau membuat mie. Namun, sebuah notifikasi dari m-banking nya membuat tubuhnya membeku seketika. Mulutnya melongo seolah tak percaya.
“D- dua juta? Buat makan malam doang dia kirim dua juta? Dikira aku mau beli kambing hidup apa ya buat makan?” gumam Chisa.
Ia langsung menetralkan ponselnya, lalu membuka aplikasi pesan berwarna hijau.
For: Orion
[Kayaknya kamu salah transfer. Coba cek ulang!]
Tak berapa lama, Orion dengan cepat membalas pesannya. Mungkin karena laki-laki itu baru saja mentransfer uang pada Chisa.
From: Orion
[Sudah aku cek. Tidak.]
For: Orion
[Kamu gila? Tapi ini dua juta. Kata kamu cuma buat makan malam di luar, kan? Yakin nggak kebanyakan nol nya?]
From: Orion
[Tidak.]
“Hah?” Chisa semakin bingung dibuatnya. Padahal, ia yakin Orion salah kirim. Kalau hanya untuk makan malam, bukankah dua ratus ribu juga sudah lebih dari cukup? “Aku tahu dia kaya. Tapi aku baru tahu kalau dia juga sedikit tidak waras.”
Melihat banyaknya nominal yang Orion kirim padanya, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti di sebuah restoran. “Nggak papa kan, sesekali aku makan enak?”
Chisa pun segera turun. Ia memesan sirloin steak. Seumur hidup, ini baru kali kedua ia akan makan makanan olahan daging itu. Itu pun yang pertama karena ia ditraktir Bianca saat sahabatnya itu berulang tahun.
Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya pesanannya datang. Chisa segera menyantapnya dengan khidmat. Ia sampai tidak sadar jika sejak tadi ada sepasang mata yang memperhatikannya. Sosok itu, akhirnya menghampiri Chisa setelah melihat gadis itu menyelesaikan suapan terakhirnya.
“Chis!”
Chisa yang sedang minum, sontak tersedak mendengar suara yang sangat familiar itu. Belum sempat ia menoleh, sosok itu sudah muncul lalu duduk di hadapannya, membuat pupil matanya melebar seketika.
“Sekarang, kamu mau beralasan apa lagi? Apa susahnya sih, Chis, jujur sama aku? Kita sahabatan udah lama loh,” ujar orang itu.
Chisa menatap perempuan di hadapannya dengan mata yang terus bergerak gelisah. Jika sebelumnya ia bisa mengelak, kini rasanya sudah mustahil.
“Oke. Aku mau jujur sama kamu. Tapi, plis, jangan kasih tahu siapa pun, bahkan walau itu adalah Nanda. Cukup kamu doang yang tahu ya, Bi,” pinta Chisa. Setelah ia mempertimbangkan beberapa hal, rasanya, ia tak punya pilihan lain selain mengaku pada Bianca tentang apa yang ia jalani akhir-akhir ini. Ia tidak ingin pada akhirnya Bianca akan tahu kenyataannya dari orang lain, yang bisa membuat perempuan itu salah paham karena profesi Chisa yang memang mudah disalah pahami.
“Oke. Kamu bisa percaya sama aku,” balas Bianca.
Chisa menarik napas panjang, lalu mengembuskannya secara perlahan. “Aku tinggal sama seorang cowok. Dia yang kasih aku uang. Tapi, tunggu! Kamu jangan salah sangka dulu! Intinya, kami cuma sekadar tinggal bersama dan aku nggak sampai yang menjual diriku ke orang itu.”
Bianca terdiam. Ia seperti sedang menelisik kemungkinan adanya kebohongan dari bibir sahabatnya itu. Namun, ia tak dapat menemukannya.
“Maksudnya jadi sugar baby?” tanya Bianca untuk memastikan.
“Bisa dibilang begitu, tapi sebenarnya nggak segelap itu juga. Sekadar jadi teman dia aja, karena dia selalu sendirian di apartemen dan tipe orang yang nggak punya banyak teman. Kami juga tidur satu kasur, tapi nggak pernah melakukan lebih dari sekadar tidur pada umumnya kok,” terang Chisa.
“Hah? Memang bisa kayak gitu?” kaget Bianca. “Dia benar-benar nggak macam-macam sama kamu? Chis, maaf kalau lancang. Tapi, apa iya dia nggak ngerusak kamu setelah kalian tidur bareng selama ini? Terus, siapa sebenarnya dia? Dia om-om?”
“Bi, wait! Udah aku bilang, kan? Memang nggak segelap itu. Untuk siapa-siapanya, aku nggak bisa bilang ke kamu sekarang. Aku-”
“Kenapa? Aku kenal orangnya, ya? Jujur aja, Chis, aku masih curiga sama Yasa. Kalian kelihatan dekat akhir-akhir ini, kan? Dan yang aku tahu, kamu memang deket sama dia doang kalau cowok. Tapi kan dia masih muda, kayak kurang cocok aja buat jadi sugar daddy kamu,” bingung Bianca.
Ia masih tidak menyangka jika kekhawatirannya akan benar-benar terjadi. Chisa benar-benar memilih cara instan itu untuk melanjutkan hidupnya. Sebagai sahabat, ia merasa gagal menjaga Chisa. Padahal, ia lebih dari mampu untuk membantu sahabatnya itu. Namun, kenapa Chisa justru memilih cara lain untuk menyelesaikan masalahnya?
“Aku rasa, kamu sekadar tahu orangnya. Tapi maaf banget, Bi, aku benar-benar nggak bisa kasih tahu kamu siapa dia sebenarnya. Ini udah ada di kontrak. Dan bahkan harusnya nggak ada yang tahu kalau aku sekarang cari uang dengan cara seperti ini. Jujur, aku malu, Bi.”
“Ya terus kenapa harus kayak gini sih, Chis? Kamu lupa kalau masih ada aku yang peduli sama kamu? Aku juga mau kali, usaha buat bantuin kamu. Kita sahabatan udah lama, dan aku tahu betul watak orangtua kamu itu. Jadi, dari awal memang buat aku sulit percaya soal penjelasan kamu sebelumnya,” kesal Bianca.
“Maaf, aku cuma nggak mau utang budi lebih banyak lagi ke kamu dan Nanda. Buat kali ini, percaya sama aku, Bi, aku pasti bisa beresin semuanya. Dan aku pasti bisa jaga diri kok. Lagian dia bukan cowok yang seberengsek itu. Dia cowok baik-baik yang kebetulan hanya sedang butuh teman yang bisa jaga privasi dia aja,” terang Chisa.
Bianca memijat pelipisnya yang terasa pening. “Kalau pun aku minta ke kamu buat berhenti, kamu pasti nggak akan mau. Pada akhirnya aku udah nggak bisa berbuat apa-apa, kan?”
“Maaf, Bi …”
Bianca tertawa sumbang. “Ini kamu loh, Chis. Kamu itu cewek paling baik-baik di antara kita bertiga. Bisa dibilang, kamu yang paling suci. Satu-satunya yang bibirnya belum terjamah sama cowok, paling bisa jaga diri di depan cowok, pokoknya kamu itu panutan banget buat aku sama Nanda.”
“Maaf kalau aku ngecewain kamu, Nanda juga. Tapi keadaan yang maksa aku buat jadi gini. Lagi pula, aku benar-benar bisa jaga diri kok, Bi. Kamu nggak perlu khawatirin aku! Mending fokus sama skripsi kamu. Serius, aku nggak mau jadi beban kalian,” kata Chisa.
***
Sejak pertemuan tak terduganya dengan Bianca, Chisa jadi semakin merasa serba salah. Ia jadi lebih banyak diam, dan hal itu disadari oleh Orion. Ia menepukkan kedua tangannya tepat di depan wajah Chisa, membuat gadis itu menejap kaget.
“K- kamu udah pulang? Mau makan apa? Aku belum masak. Aku-” Orion mengangkat tangannya, menunjukkan sesuatu berbau harum di depan wajah Chisa.
“Aku bawa makanan. Kamu nggak usah masak,” kata Orion. Pria itu kemudian duduk di samping Chisa. Ia tatap Chisa lamat-lamat, meski Chisa berusaha menghindari beradu tatap dengan dirinya. “Kali ini ada apa?”
Chisa memaksakan senyumnya. “Enggak, kok. Nggak ada apa-apa. Memang aku kenapa?”
Tentu, Chisa tidak bisa berkata jujur. Ia tidak mungkin mengatakan pada Orion jika salah satu temannya sudah tahu jika ia menjadi sugar baby. Orion pasti akan sangat marah dan khawatir karirnya terancam jika hal itu sampai bocor.
“Dua hari ini aku lihat kamu sering ngelamun nggak jelas. Dosen pembimbing kamu ngilang? Atau di bagian mananya yang salah?” tanya Orion.
“Nggak ada. Aku cuma … kangen rumah.”
Rumah? Chisa bahkan tidak tahu tempat seperti apa yang harus ia sebut dengan rumah. Bahkan, rumah yang ia tempati dulu saat ia masih kecil dan orangtuanya masih lengkap saja sekarang sudah dihuni oleh keluarga baru - keluarga yang jauh lebih sempurna dan bahagia dibanding keluarga Chisa - yaitu, keluarga baru ayahnya.
Chisa menghela napas panjang. Kalau kamu kasih izin, waktu libur panjang nanti aku pengen balik ke rumah.”
Chisa terpaksa berbohong lebih banyak lagi. Padahal, sebenarnya ia tak punya tempat untuk pulang selain apartemen ini. Ia hanya ingin sedikit menyingkir dari Orion, karena teringat dengan reaksi dan ucapan Bianca terhadapnya dua hari lalu.
‘Aku nggak mau mereka semua jadi jijik sama aku, kalau mereka tahu pekerjaanku. Tapi di satu sisi, aku juga percaya pada Orion. Aku masih ingin terus bekerja di sini bersama Orion, setidaknya sampai aku bisa lulus dan dapat pekerjaan yang lebih baik,’ batin Chisa.
“Aku rasa kamu lagi suntuk sama skripsi kamu. Dan kayaknya kamu butuh healing,” ucap Orion.
Chisa mengangguk saja. Toh apa yang Orion katakan tidaklah buruk. “Aku rasa juga begitu. Besok weekend aku-”
“Mau temani aku ke suatu tempat besok hari Sabtu?” potong Orion.
“Eh? Mau ke mana? Keluar? Kita berdua? Memang nggak papa? Gimana kalau sampai ada yang lihat, terus jadi salah paham?” panik Chisa.
Orion terkekeh. “Aku jamin nggak akan ketangkap kamera paparazi. Paparazi di sini nggak sehoror itu. Apalagi aku juga bukan aktor S tier di negara ini. Jadi aku rasa mereka nggak akan seobses itu padaku.”
Alis Chisa menukik tajam. Seolah ia tidak terima dengan ucapan Orion yang seperti tidak sadar jika dirinya adalah aktor terkenal yang sedang sangat naik daun. Apalagi, ia berada dalam proyek film cukup besar yang pastinya akan jadi incaran banyak media menjelang perilisannya.
“M- memang mau ke mana?”
“Aku mau ke Bandung. Rasanya lama banget aku nggak ke Lembang. Aku kangen udaranya,” jawab Orion.
Chisa mendelik kaget. “Sejauh itu? Kamu serius? Terus kita perginya sama siapa aja?”
“Serius. Sejak dulu, aku juga sudah biasa kok nyetir sampai Bandung,” jawab Orion. Tiba-tiba, pria itu menoleh ke arah Chisa, menatap Chisa dengan tatapan yang dalam hingga membuat Chisa sempat lupa caranya bernapas. “Aku nggak suka keadaan yang terlalu ramai. Jadi, cukup kita berdua saja yang pergi.”
Mata Chisa mengejap. Apa ia tidak salah dengar? Orion mengajaknya pergi ke luar kota? Hanya berdua?