Ini seperti Déjà vu.
Esme sebetulnya bisa saja mempertimbangkan usulan dari si sulung Shelby. Malah hal itu tidak merugikan sama sekali, karena toh Arthur Shelby ini tidak punya ketertarikan padanya dalam hal romansa. Pun juga, jika dia terlibat dengannya untuk beberapa waktu Esme bisa punya alasan untuk menolak perjodohan yang sudah ayahnya siapkan dibelakang punggungnya seperti sekarang. Hanya saja ada satu hal yang mengganjal. Dia teringat akan perjanjiannya dengan Jhon, sang patner ranjang. Dia sudah terlebih dahulu membuat kontrak dengannya.
Wanita itu kontan menggelengkan kepala sebagai gesture penolakan terhadap Arthur. “Aku tidak bisa menyanggupi rencanamu. Bagaimana aku bisa mempercayaimu? Kau bilang kita dikubu yang sama, tapi kenapa saat di pesta kau terkesan bersebrangan?”
“Lucu sekali Esme, aku tahu kalau kau tidur hampir dengan separuh dari populasi pria elit, tetapi kau menolak penawaranku. Sungguh, aku sangat tersinggung.”
“Tolong pisahkan antara hubungan semalam dengan komitmen jangka panjang, Arthur Shelby. Lagipula darimana kau tahu soal kehidupan pribadiku? Kita berinteraksi secara pribadi pun baru dua kali kalau aku tidak salah mengingat.” Bibir merah muda sang nona mencebik tidak suka.
Arthur sejenak menatap wajah Esme lekat-lekat sebelum kemudian perhatiannya teralih pada benda yang bercokol di leher sang nona. Rasa tertarik mulai muncul dari sana. Meski Arthur adalah tipe pria lurus dan kaku, tetapi bukan berarti dia tidak tahu. “Bagaimana kalau kau tanyakan saja pada kekasihmu, ah tidak bukan tapi mastermu? Kurasa itu adalah alasan paling logis mengapa kau menolak rencanaku,” ujar Arthur dengan santai, tetapi ekspresi muka Esme langsung berubah seratus delapan puluh derajat.
“Bagaimana kau tahu?” timpal wanita itu penuh keterkejutan.
“Benda itu terlalu mencolok meski kau bisa saja beralasan kalau itu hanyalah sebuah fashion statement dan melihat dari reaksiku kurasa tebakanku benar. Ini sedikit mengejutkan, pertama aku memergokimu sedang bermasturbasi di ruang kantormu, dan yang kedua kau dimiliki oleh seseorang diluar sana dengan hubungan master & slave. Aku tidak menyangka kalau Esme Enderson yang gengsinya setinggi langit rela mengenakan collar dan tunduk pada seseorang.”
“Untuk ukuran pria kaku dan kurang pergaulan, kau tahu terlalu banyak, Arthur.”
“Aku tahu soal dirimu juga dari adikku. Dia tidak pernah cerita kalau kau into that thing. Tapi selebihnya aku tahu kalau kau perempuan yang cukup haus seks dan tipikal hyper di atas ranjang.”
Esme berdecak sebal, dia dan Thomy memang seumuran dan mereka juga satu fakultas saat masih kuliah dulu. Tidak mengherankan kalau pria itu tahu banyak. Hanya saja mengapa dia mengatakan semua hal kepada kakaknya yang notabene tidak memerlukan informasi itu?
“Aku tidak menyangka orang itu cukup mulut ember untuk ukuran laki-laki,” sahut Esme mencoba untuk tidak terlalu reaktif.
Arthur hanya mengedikan bahu. “Bisakah kau bersiap-siap saja sekarang? kita perlu bertemu dengan orangtua kita sekarang.”
“Kapan aku setuju ikut denganmu? Aku tidak bisa pergi. Aku cukup sibuk dan banyak pekerjaan yang perlu aku selesaikan.”
“Kalau begitu hubungi ayahmu dan bilang sendiri kalau kau tidak mau datang.”
“Si b*****h ini,” gumam Esme yang langsung meraih ponselnya untuk melakukan apa yang laki-laki itu bilang. Hanya perlu menekan satu nomor panggilan cepat, Esme langsung terhubung dengan sang ayah hanya dalam hitungan detik.
“Esme putriku, kau sedang—”
“Ayah dengarkan aku, apa maksud Ayah mengirim Arthur ke kantorku? Aku sedang sibuk sekarang, aku tidak mau pergi dengannya. Lagipula kalau memang ada pertemuan harusnya dalam perencanaannya Ayah membawaku ikut serta. Kok bisa-bisanya Ayah merencanakan meeting mendadak begini?!” potong Esme yang lumayan murka atas segalanya.
“Tinggalkan pekerjaanmu sekarang. Ikutlah dengan Arthur dan jangan berani kau bawa mobil sendiri. Biarkan Arthur yang menyetir untukmu. Kau harus ada disini untuk mendiskusikan masalah penting. Jangan membantah!” jawab Ethan singkat dan tegas kepada putrinya. Untuk beberapa alasan Esme langsung mencicit. Dia tidak pernah mendengar ayahnya bicara dengan nada seperti itu kepadanya kecuali hanya ketika dia sedang marah.
Apalagi ketika sambungan telepon dimatikan, membuat Esme tidak bisa berbuat apa-apa dan langsung merasa gelisah. Esme menggigit bibir bawahnya. Ini sudah pasti masalah yang serius.
Arthur yang sejak tadi hanya berdiri menyaksikan sang nona besar tidak bereaksi banyak, dan malah mengajukan pertanyaan sebagai gantinya. “Jadi bagaimana keputusan akhirnya Ms. Esme?”
“Lima menit, tunggu aku diluar.”
“Take your time,” sahut Arthur yang langsung meninggalkan ruangan dan menunggu di luar depan pintu ruangan.
Sementara Esme menggunakan waktu yang dia minta untuk memperbaiki penampilannya yang kacau. Dia tidak touch up. Hanya sekadar memperbaiki pakaian dan menggunakan parfum untuk menutupi apa yang telah dia perbuat. Dia keluar tepat di lima menit, dan mulai melangkah beriringan dengan Arthur keluar dari kantornya. Tidak lupa Esme juga memberikan Shion yang rupanya masih berada di mejanya dengan pandangan yang menusuk karena wanita itu membiarkan Arthur masuk tanpa aba-aba keruangannya dan melihat posisi Esme yang paling memalukan.
Shion menanggapinya dengan menjulurkan lidah. Esme jelas tahu bahwa semua rangkaian peristiwa ini adalah sebuah konpsirasi antara dia dengan ayahnya. Terlebih tadi pagi saja, Shion sudah memperingatkan Esme tentang pernikahan, jelas sekratarisnya itu sudah dapat perintah khusus dari sang ayah dan Shion sudah memberikan dia bocoran.
Esme memberikan Shion jari tengah, sementara Shion malah melambai mengantar kepergiannya dengan sumringah. Memang dasar sahabat b*****t.
“Mukamu masam sekali, sebegitu tidak sukanya kau bersamaku?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut Arthur setelah mereka berdua duduk bersama di mobil sang pria. Ini semua karena ayahnya sudah mengantisipasi Esme untuk tidak membawa mobil sendiri. Alhasil Esme terjebak berada di dalam situasi ini bersama Arthur.
“Aku hanya tidak suka dengan fakta bahwa kemungkinan besar tujuan dari meeting ini hanyalah sesi tatap muka untuk membahas perjodohan,” timpal Esme.
Kalau boleh jujur sebenarnya Arthur adalah pria yang masuk kategori green flag untuk sebagian orang. Tetapi jujur saja, Esme belum siap untuk menikah dan mengabdikan hidupnya kepada satu pria saja, apalagi pria yang bukan tipe-nya. Ini memang bukan salah Arthur, tetapi Esme sebal karena laki-laki itu terlihat menurut saja padahal dia bilang dia sendiri pun tidak mau menikah sama seperti Esme.
“Aku sebenarnya tidak keberatan, aku sudah sangat bosan dengan ayahku yang terus menerus membahas status lajangku dan mendesakku untuk segera menikah. Apalagi ketika Thomy sudah bertunangan duluan lebih dari aku,” jelas Arthur dan tampaknya dia sangat jujur soal itu dan dia melirik Esme ketika menyebut nama adik bungsunya.
“Justru yang jadi masalahnya dari sekian banyaknya wanita elite disekitarmu, kenapa harus denganku?”
“Untuk yang satu itu kau bisa tanyakan langsung pada orangtua kita. Yang jelas aku pernah dengar kalau Pak Ethan secara terang-terangan pernah bilang padaku bahwa dia sangat khawatir dengan gaya hidupmu. Dia bilang kau menjadi terlalu liar dan butuh sosok suami yang bisa mengendalikanmu dari sifat barbarmu itu. Sementara ayahku bilang kalau aku perlu sosok perempuan yang berkpribadian berbeda untuk membuatku bahagia. Selebihnya keluarga Enderson dan Shelby butuh generasi penerus dari darah kita.”
“Apa? kenapa dia mengatakan sesuatu seperti itu kepadamu?! Ayahku tidak pernah mengatakan apa-apa soal gaya hidupku!”
“Sudahlah, Esme. Kita hanya perlu menghadiri pertemuannya. Dengarkan dengan seksama apa yang mereka mau, lalu kau bisa berdebat dengan mereka bila kau tidak setuju.”
“Lah? Aku sudah pernah melakukannya dengan ayahku. Tapi yang aku pertanyakan adalah lantas peranmu apa? kau mau diam saja dan bertingkah seperti anak penurut di depan mereka semua sedangkan aslinya kau juga tidak setuju dengan perjodohan ini begitu? Pengecut sekali kau Arthur!”
“Esme, aku hanya ingin meringankan hidupku. Bebanku sudah lumayan berat dan banyak, aku tidak mau lagi menambahnya dengan berdebat. Percuma menentang ayahku, karena dia keras kepala dan berpendirian teguh.”
Esme langsung mencebik, rasanya sangat kesal melihat seorang pria tidak bisa bertindak sesuai dengan hati nuraninya sendiri. “Intinya kau hanya seorang pecundang, Arthur.”
Percakapan berakhir, dan mereka tiba di tempat pertemuan. Esme membuka sabuk pengamannya sementara Arthur sudah lebih dulu meninggalkan kursi kemudi dan berjalan memutar hanya untuk sekadar membukakan pintu mobilnya dan membantu Esme keluar. Sungguh … tindakan yang sangat gentleman sekali, tetapi Esme tidak terpesona dengan hal itu dan lagi Esme merasa ada yang aneh dari sosok pria disampingnya. Entah kenapa ada yang berbeda dari dia, tapi apa?