Bad Things

1233 Words
“Ayahku tiba-tiba saja menjodohkan aku, padahal aku sama sekali tidak mau menikah, Jhon.” “Tolong aku.” Kata-kata yang Esme nyatakan padanya terus saja terngiang di kepala, hal itu membuat sang pria merasa tidak tenang untuk memejamkan mata. Wanita dengan harga diri tinggi macam Esme, datang padanya bahkan memohon padanya. Menyatakan bahwa dia adalah miliknya dan sesuatu seperti egonya sebagai sang pemilik tiba-tiba saja menggebu hingga titik tertinggi. Jhon merasa dia tidak bisa membiarkan orang lain mengambil apa yang dia miliki. “Ini benar-benar menyebalkan,” gerutu pria itu pada dirinya sendiri dan pada akhirnya dia bangkit dari tempat tidur untuk sekadar mengisi kerongkongannya yang mendadak kering. Pemikiran soal dia adalah pemilik sang nona besar membuat Jhon gelisah. Ya, tentu saja dia wajar merasa terusik ‘kan? toh wanita itu masih setuju menjadi submissive-nya jadi hanya Jhon saja yang boleh menyentuhnya, hal yang sudah menjadi kesepakatan mereka. Hanya Jhon saja yang boleh mempermainkan, menyiksa, dan mengusai Esme Enderson. Tetapi bagaimana caranya mencegah pertunangan sialan itu? Tiba di depan kulkas kecilnya, alih-alih mengambil air mineral Jhon justru malah meraih sekaleng bir. Sedikit alkohol sangat diperlukan dalam saat-saat seperti ini, untuk menjadi teman berpikir. Sebenarnya ada satu cara yang bisa da lakukan untuk menghentikan pertunangan Esme dengan orang lain. Dengan berdiri dalam satu hirarki yang sama dengan perempuan itu atau lebih kemudian merebut Esme dengan cara terhormat seperti orang-orang elit lakukan. Dering ponselnya membuat si pemuda mengambil benda itu dan melihat layarnya sebelum memutuskan menerima panggilan. Nomor tidak dikenal. Jhon enggan menerimanya dan memilih tombol warna merah dan kembali menyimpan ponsel itu disisinya. Tetapi kemudian, satu notifikasi masuk ke dalam ponselnya. Sebuah pesan masuk. Apa kau sudah memutuskan? Pelarian yang kau lakukan sudah terlalu lama. Tidakkah kau ingin kembali? Isi pesan yang selalu Jhon abaikan kini menjadi sedikit menarik perhatian. “Haruskah aku kembali pada keluarga itu?” gumam Jhon setelah meneguk isi kaleng birnya dan menatap langit-langit ruangan dapurnya agak lama setelah membaca isi pesan di ponselnya. Jhon benci mengingat soal keluarga j*****m itu, dan dia tidak sudi kembali ke keluarga sialan itu. Hantu masa lalu yang tidak bisa dia hapus dalam ingatannya. Jhon menutup matanya sambil menghela napas panjang. Sebenarnya dia telah mendengar kabar kematian si monster penyebab trauma masa kecilnya setahun yang lalu. Lebih tepatnya kabar kematian si tua bangka yang telah menyiksanya sebagai pelampiasan atas amarah dan juga kebenciannya. Si tua bangka yang akhir riwayatnya masih pula mampir ke telinga Jhon, padahal dia telah meninggalkan rumah itu di usianya yang ke lima belas dan memutuskan tidak ingin memiliki ikatan keluarga lagi. “Haruskah aku menjilat ludahku dan kembali ke rumah itu untuk mengklaim hakku sebagai satu-satunya cucu dari manusia berhati iblis itu demi Esme Enderson?” ungkapnya lagi pada udara kosong di sekitarnya. Itu pertanyaan paling gila yang dia ajukan untuk dirinya sendiri. Padahal bila di situasi biasa, jelas Jhon tahu jawabannya. Tetapi sekarang entah kenapa dia malah jadi tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu sama sekali. “Ah sialan!” Jhon pada dasarnya tidak benci hidupnya yang sekarang, dia juga tidak benci terhadap kemiskinan yang telah dia jalani nyaris seperempat dari hidupnya sekarang. Toh, dia berhasil bertahan hidup hingga detik ini. Walau sulit ada hal yang dia dapatkan sebagai gantinya. Ya, kebebasan. Jhon mengetikan sebuah pesan sebagai gantinya, mengirimnya segera sebelum kemudian meninggalkan ponselnya begitu saja seolah dia enggan untuk mengetahui balasan pesannya sendiri. *** Esme terbangun pagi itu dalam suasana hati yang agak muram. Dia memang berhasil tidur semalam dan cukup nyenyak. Terima kasih untuk alkohol yang dia konsumsi semalam. Setidaknya itu membantunya berhasil tidur tanpa terbangun sedikit pun sampai pagi. Dia melirik ke arah jam dinding kamar, masih pukul lima pagi. Wanita itu mendecak. “Lihat ini, aku bahkan terbangun sebelum alarm-ku berbunyi,” ujarnya kepada diri sendiri. Alih-alih melanjutkan tidur, Esme lebih tertarik menyingkap selimut dan memilih duduk di ujung ranjang untuk melakukan peregangan sehabis tidur. Setelahnya dia menuju ke jendela untuk membuka tirai dan sekalian jendelanya pula. Membiarkan udara subuh masuk ke dalam kamarnya. Kesegaran yang dia butuhkan membuat wanita itu sedikit lebih rileks. “Hari ini aku harus menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda gara-gara si Arthur sialan, lalu aku juga harus bertemu orang itu siangnya sesuai dengan janji temu. Sial … hari ini benar-benar panjang. Belum melaluinya saja aku sudah sangat lelah,” tutur Esme sambil menghela napas lelah. Ketika dia melewati meja dekat kasur, saat itu pula perhatiannya tertuju kepada ponselnya. Awalnya Esme tidak begitu tertarik. Tetapi karena ada nomor baru yang mengiriminya pesan, Esme memutuskan untuk membukanya. Kedua mata wanita itu langsung membelalak, dan tidak lama sebuah senyuman manis terbentuk di wajahnya. “Akhirnya kau menghubungiku juga, Jhon,” komentar Esme sambil meletakan kembali ponselnya di tempat semula. Wanita itu membuka seluruh pakaiannya untuk melakukan ritual pagi. Wanita itu bersenandung dalam setiap langkah yang dia ambil ke kamar mandi. “Malam ini akan menjadi sangat menyenangkan, kebetulan aku memang butuh hiburan setelah melewati hari yang panjang,” katanya ketika telah memposisikan dirinya di dalam bath up. Menikmati relaksasi pagi dengan berendam air hangat. *** Esme menekan pedal gas dalam-dalam tanpa mempedulikan sama sekali kepadatan lalu lintas kota. Mobilnya melaju dengan kencang menuju ke Shelby Building Company. Dentuman musik dengan bass kencang mengalun dari stereo mobilnya sedikit membantu mengangkat moodnya yang sempat turun gara-gara jadwal pertemuan mereka di pindahkan ke pagi hari alih-alih di jam makan siang seperti yang sudah disepakati. Dia merasa dipermainkan, tetapi tidak bisa berbuat banyak karena hal ini terkait pekerjaan. Terlebih faktanya Shelby adalah investor-nya untuk project kali ini, jadi mau tidak mau Esme sedikit merajakan mereka. Padahal saat itu dia sedang berada ditengah-tengah percakapan penting dengan sekretarisnya Shion. Wanita sialan itu akhirnya mengaku mengetahui soal perjodohan Esme dengan Arthur setelah didesak mati-matian dan diberi sedikit uang sogokan (sahabatnya itu memang mata duitan, jadi mudah sekali untuk mendapatkan informasi). Tetapi di detik-detik dimana dia memarahi, tiba-tiba saja Esme dipanggil untuk bertemu Arthur di Shelby Building Company. Tiba di lokasi, Esme langsung memarkirkan mobilnya dan menghela napas dalam-dalam sebelum keluar dan melangkahkan kaki menuju ke dalam gedung. Berhadapan dengan Arthur Shelby dia perlu fokus dan tidak boleh lengah. Terlebih laki-laki itu sempat memergokinya sedang berbuat tidak senonoh di ruang kerjanya, jadi Esme ingin mengubah kesan itu menjadi lebih baik sebagai rekan kerja professional. Setelah mengatur ekspresinya menjadi muka bisnis, wanita itu kemudian mulai melangkahkan kakinya menuju ke dalam gedung. Beberapa orang yang mengenalnya langsung memberinya sambutan, dan bahkan beberapa secara sukarela mengantarkannya. Tiba di ruangan sang bos barulah Esme bertemu dengan seorang perempuan yang dia kenal sebagai sekretaris wanitanya Arthur. “Selamat datang Ms. Esme Enderson. Atasan saya sudah menunggu Anda, mari ikuti saya,” sambut wanita itu dengan sopan dan Esme hanya mengangguk sebagai bentuk balasan terbaiknya. Wanita itu mengantarkan Esme langsung menuju ke ruangan kerja pria itu, dan membukakan pintu untuknya. Sebetulnya Esme tidak mengira akan dibawa kesini, dia sempat berpikir pertemuan mereka akan terjadi diruang meeting tetapi pria itu malah memilih ruang pribadinya untuk bicara. Kesan yang Esme dapatkan dari ruang kerja pria itu adalah simple. Tidak banyak hal didalam, hanya ada meja kerja dari kayu dan beberapa rak yang penuh dengan buku dan folder. Pria itu sendiri menyambutnya dalam posisi duduk di kursi kulit berwarna hitam yang terlihat nyaman. Dia tersenyum ketika Esme menunjukan batang hidungnya di depan pria itu. “Selamat pagi, senang melihatmu lagi setelah semalam kau kabur dariku. Bagaimana malammu Ms. Esme? Apa kau menyewa gigolo untuk melepaskan stressmu karena orangtua kita?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD