Edo geleng kepala, menatap kesal Febian. “Bisa-bisanya lo taruhan diem-diem di belakang kita,” ucap Edo.
“Iya, Feb. Belum ada sejarahnya kita kalah.” Ini si Leo yang kecewa juga sama Febian.
“Itu bukan kesalahan gue. Tapi lo!” Febian menunjuk kearah Edo.
Edo cengo, menunjuk muka dia sendiri. “Gue …? Kok bisa!”
Febian mendengus kesal. “Iyalah! Gara-gara lo manggil Andin. Gue pikir, lo nggak bakalan manggil nama dia, makanya gue berani bertaruh sama Lusi.” Ini si Febian kesal juga sama Edo.
Edo nyengir. Gantian Leo dan Risky menatap tajam kearahnya. “Kalian kenapa natap gue kek gitu!” protes Edo.
“Lo itu yang kenapa?” tanya Leo.
“Ehem! saudara-saudara setanah air beda bangsa. Perlu kalian inget, gue masih di sini woi!” Ini Andin emang deh, Edo sama temennya juga, padahal Lusi sama Andin masih di sana, tapi mereka malah berdebat soal taruhan.
“Ihh! nggak banget. Masa kehilangan dua juta aja udah heboh.” Ini si Lusi emang paling bisa ngomporin orang.
“Iya, kata Anak Sultan. Dua juta itu cuman seupil!” Andin ikut ngomporin mereka.
“Ini bukan masalah uang, Ndin! Tapi masalah harga diri kita yang nggak pernah kalah!” kesal Risky.
“Bener banget!” Edo dan Leo ikut membenarkan.
“Heleh! alasan! Dasarnya situ yang pelit!” Masih saja Lusi mengolok mereka.
“Bener, Lus. Dasarnya pelit, ya tetap pelit. Malu-maluin aja, jadi Cowok pelit.” Andin benar-benar, dia keknya punya maksud terselubung. Si Lusi juga langsung konek dengan rencana Andin.
“Hei! Markonah! enak aja lo bilang ‘gue pelit’ lo mau minta uang sekarang juga kita kasih.” Edo mulai kepancing dengan kata-kata Andin.
“Gue nggak percaya, pelit ya pelit!” Ini Andin terus jadi kompor.
“Kita nggak pelit!” Febian ikut bicara.
Lusi diam-diam mengeluarkan ponselnya, pura-pura sibuk main ponsel, supaya Febian nggak curiga.
“Buktikan!” tantang Andin.
Edo menghela nafas. “Lo benernya mau apa dari kita!” Edo ikut menantang Andin.
“Gue cuman pengen bukti kalau kalian nggak pelit dan medit!” ketus Andin.
“Udah dibilang, kita nggak pelit!” Ini si Risky ikut emosi juga, mereka paling anti dibilang pelit.
“Mana ada maling ngaku!” Masih saja Andin kekeh.
“Maksud lo!” kesal Edo.
“Pelit ya pelit. Ngerti! Kalian pelit! Dua juta aja jadi heboh. Gimana dengan taruhan kita yang dua puluh juta, udah gue bela-belain minta ke Bonyok.” Ini si Andin tanpa sengaja sudah keceplosan. Lusi melotot.
Edo langsung refleks, dia benernaya nggak tegaan kalau menyangkut cewek. “Ya udah, hutang lo lunas!” Kata-kata itu keluar begitu saja dari bibir sexi Edo.
Febian, Leo dan juga Risky melotot. Nggak percaya aja dengan kata-kata Edo.
“Tapi ada syaratnya!” potong Edo.
“Apa syaratnya!” tantang Andin.
“Kalian berdua harus ngikut kita seharian full!” ucap Edo.
“Oke! sapa takut!” ucap Andin mantap dan sangat pasti.
Edo menyunggingkan senyumnya, karena dia punya rencana untuk ngasih pelajaran ke Andin.
“Eh, tunggu bentar!” Leo protes.
Semua menatap kearah Leo. “Apa lagi, Nyet!” Febian ikut penasaran dengan Leo.
“Kalian nggak nyadar, ternyata si Cungkring Andin sendiri!” celetuk Leo.
Edo yang emang punya otak di atas rata-rata, dia langsung nangkap, beda sama temen dia. Telmi!
Risky dan Febian menatap kearah Andin. “Iya! itu lo sendiri ‘kan?!” Risky ikut membenarkan.
Andin nyengir, mau mengelak juga nggak bisa, dia udah terlanjur keceplosan. Dengan gaya yang enggak banget, ibarat maling ayam yang ketangkap, Andin akhirnya ngaku juga. “Iya …”
“Deal! Kita bebasin utang lo!” seru Leo tiba-tiba. Langsung di pelototin sama temen-temennya. Jelas dipelototin, karena semua orang yang ada di sana menatap tajam kearah mereka.
Leo nyengir. “Ya maap!” ucap Leo tanpa beban.
“Akhirnya … utang kita lunas!” celetuk Lusi.
“Udah, sono bayar! Kalian ikut kita,” ucap Febian.
Lusi berdiri, berjalan kearah kasir untuk membayar tagihan makan mereka. Semua ikut berdiri, Edo buru-buru mencekal lengan Andin. Takut tuh cewek kabur.
Andin tersenyum. “Ceile! Bang Edo mulai naksir gue ya …” Ini cewek satu pe-de banget. Jaim dikit napa!
“Buahaha …” Leo, Febian dan juga Risky tertawa kencang. Nggak nyangka banget Andin bakalan ngomong kek gitu.
Edo menatap kesal Andin. “Markonah! nggak usah kepe-dean! Lo nggak bakalan masuk daftar gue!” ketus Edo.
“Emang lo pikir, demit modelan kek lo, bakalan masuk dalam daftar idaman gue. No!” ucap Andin lantang.
Sumpah, ketiga temen Edo nggak bisa nahan tawa mereka lagi. Andin unik, jika biasanya Edo di puja-puja, ini langsung di tolak mentah-mentah.
“Sam ague aja, Ndin. Lo keren, jago balap lagi. Cocoknya sama gue!” Si Leo emang dari awal ngebet banget sama Andin.
“Enak aja! Cowok yang sama gue, harus lebih kuat dari gue!” celetuk Andin. Leo langsung kalah mental, diam lebih baik. Eamang Andin benar, dua kali dia KO sama Andin. Mana pernah dibanting juga.
“Edo yang cocok sama lo! dia ‘kan lebih hebat dari lo!” celetuk Risky.
“Ogah!” jawab Edo dan Andin serempak.
“Ceile! kompak bener Pasutri ini,” ledek Febian.
“Diem kalian, Nyet! ayo cabut!” Edo yang malas dengar ocehan mereka, menarik tangan Andin, berjalan keluar Dari restoran. Febian sengaja menunggu Lusi selesai membayar tagihan mereka.
*
Edo dan ketiga temannya menaiki motor gede mereka, Lusi dan Andin masih diam mematung, sepertinya mereka ragu dengan keputusan mereka yang ingin ikut dengan Edo.
“Ayo naik!” ajak Edo.
Andin berpikir sebentar. “Lo nggak bakalan perkaos kita ‘kan!” Ini Andin benar-benar, antara polos dan malu-maluin.
“Buahaha ….” Edo dan teman-temannya langsung tertawa kencang.
Lusi dan Andin memberengut, karena emang isi otak keduanya sama. “Eh, Markonah! asal lo tau aja, meskipun gratis, gue nggak bakalan mau nyentuh cewek modelan preman kek lo, yang ada senjata gue putus!” Andin yang jengkel, langsung aja nimpuk kepala Edo. Sumpah ini cowok satu bikin emosi, coba kalau Mamanya denger, sudah dipastikan Mama Dewi bakalan ngamuk. Anak cantiknya di tolak mentah-mentah!
Untung Edo sudah pakai helm, jadi timpukkan Andin nggak berasa. “Ayo naik! udah jelek, pasang muka jelek! Nggak enak di pandang tau!” ucap Edo.
“Ihh! gue seumur-umur baru nemuin model bekicot kek gini! pengen rasanya gue mutilasi sampai sosis-sosisnya!” ucap Andin kesal.
Leo, Febian dan juga Risky tertawa kencang. Harga diri Edo sebagai ketua Preman langsung anjlok! Dipanggil Import, masih oke. Lah ini, di panggil bekicot! Hewan berlendir yang super lomot!
“Diem lo Markonah! nggak naik, gue cipok!” Andin yang sudah paham dengan kata ‘cipok’ langsung menutup mulutnya. Ngebayangin cipokan Edo yang udah dua kali, bikin dia mual.
“Huek! cipokkan lo bau rokok!” celetuk Andin.
“Buahaha …” Andin benar-benar mengocok perut mereka.
“Besok Abang makan permen dulu, kalau lo minat lagi Markonah!” Demi apa coba, Edo keknya mulai mencair, hidupnya yang sepi, tiba-tiba saja seperti menghangat dengan datangnya sosok Markonah yang no jaim, yes malu-maluin!
“Nggak! gue nggak minat! Bangke!” kesal Andin.
“Buruan naik!” ketus Edo.
“Kalau nggak mau, naik aja sama Abang!” Yang ini suara Leo, emang dia ngarep banget Andin mau sama dia.
“Nggak ada! Markonah sama gue!” Nah, lo! sikap posesifnya Edo keluar.
“Idih! Terserah gue, mau naik sama siapa!” protes Andin.
“Nggak ada! lo sama gue. Entar gue naiknya kenceng.” Ini si Edo paling bisa ngertiin Andin.
Andin menatap Edo. “Bener … gue bisa berdiri lagi ‘kan?” Dasar Andin, tingkah dia udah melebihi cowok.
“Iya! entar gue ajarin trik naik motor!” ucap Edo.
Andin nggak mikir dua kali, langsung naik keatas boncengan Edo. “Ayo jalan Import!” Andin menepuk punggung Edo.
“Siap!” Edo yang irit bicara, bisa-bisanya selalu merespons Andin.