12 - Pertemuan

1978 Words
Halo, Fellas. Kembali lagi dengan cerita bertema remaja dan misteri dariku. Berharap kalian menyukainya. Akan sangat menyenangkan jika kalian dapat menyukai dan memberikan komentar membangun pada ceritaku yang berjudul "Ten Reasons Why She's Gone." ini. Atas kekurangan yang akan kalian temukan dalam cerita ini, penulis memohon maaf. Terima kasih. *** • Selamat Membaca • TERIK MATAHARI berhasil menyelinap ke indera penglihatan gadis itu dan mengusiknya. Awalnya, Vanya enggan beranjak karena tubuh yang masih terasa nyeri dan lelah. Namun suara seorang pria yang asing mencegahnya untuk tidur lebih lama. Vanya membuka matanya perlahan-lahan, karena beberapa sisi wajahnya masih terasa sangat nyeri. Siluet hitam seseorang kini berubah menjadi sosok yang nyata. Seorang pria yang pantasnya disebut bapak-bapak berdiri dengan berkacak pinggang di depannya. Wajahnya tampak kesal, tapi pria itu sama sekali tidak melakukan apapun selain menunggu Vanya mengembalikan seluruh nyawa yang mungkin bepergian selama dia tidur. "Lain kali jangan tidur di sini dong, Neng," kata bapak-bapak tersebut. Vanya pun mengangguk-anggukkan kepala, merasa tidak enak karena tertangkap basah tidur di emperan toko milik sang pria tersebut. Ia pun bersusah payah untuk bangun dengan memegang dinding berwarna putih di sisi kanannya. Sambil terus menunduk malu, Vanya berkata, "Maafin saya ya, Pak. Jangan pukulin saya, Pak." "Ye, siapa juga yang mau pukulin kamu," balas sang pria berusia lima puluh tahunan itu. "Mendingan kamu pergi sekarang, saya mau buka toko soalnya." "I-iya, Pak. Makasih banyak, Pak." Meski diusir, untuk pertama kalinya gadis itu merasa menemukan manusia baik di muka bumi ini. Bapak itu tidak salah, pikirnya. Wajar saja jika pria yang tak lagi muda itu terpaksa membangunkan Vanya dan memintanya pergi, karena di sisi lain, pria yang merupakan pemilik toko itu juga memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi keluarganya dengan membuka toko, menjual dagangan yang ada di dalamnya. Tak terasa setelah Vanya berjalan menjauh, ia mendengar gemuruh dari perutnya. Gadis itu kelaparan. Sudah sejak dua hari yang lalu, semenjak dirinya melarikan diri dari rumah yang diberikan Baron untuk anak-anak jalanannya, Vanya belum bisa menemukan makanan yang layak untuk memenuhi perutnya yang kosong. Ia hanya sesekali menemukan sisa potongan roti di tempat sampah atau beberapa camilan yang bahkan hanya sesuap atau dua suap saja. "Cari makan di mana ya, gue laper banget yaampun," kata Vanya bermonolog. Mata hitam kecokelatan itupun berpendar ke sekeliling. Jalanan ini cukup asing dari pandangannya. Ia berharap Baron tak akan mencarinya sampai sejauh ini, karena Vanya sudah sangat jauh berjalan. Sendal jepit yang ia gunakan bahkan tampak menipis karena jauhnya perjalanan yang sudah ia tempuh. Misinya adalah untuk lari dari penderitaan dan menemukan bantuan untuk teman-temannya yang bernasib sama. Namun sampai detik ini, ia bahkan tak bisa membantu dirinya sendiri. Sampai kemudian gadis itu pun menghentikan langkahnya di depan sebuah pom bensin. Lagi-lagi perutnya bergemuruh, rasa lapar di dalam dirinya semakin tak tertahankan. Ia bahkan belum menemukan air sejak semalam. Hanya tidurlah yang menjadi obat dari segala kesakitan dalam dirinya. Betapa menderitanya hidup Vanya, tapi gadis itu sama sekali tak ingin menyalahkan Tuhan. Ia kemudian membuka tutup sampah berwarna biru dan mulai memasukkan tangannya ke dalam tumpukan hal menjijikan di sana. Ia tak peduli dengan bau yang tidak sedap, lendir-lendir dari sisa makanan yang tumpah dan apapun yang ada di dalam sana. Vanya hanya ingin mencari makanan atau minuman untuk memenuhi perutnya yang mulai terasa melilit. Dan tak berselang lama, gadis itu akhirnya berhasil mengeluarkan botol mineral yang masih berisi setengah air di dalamnya. Vanya senang bukan main. Ia pun segera mencari tempat duduk di pinggir jalan dan dengan wajah gembira, Vanya segera membuka tutup botol air mineral tersebut dan mulai meminumnya. Karena kehausan, Vanya bahkan dapat menghabiskan air yang sisa setengah botol itu dalam sekali teguk. Ia pun mendesah puas. "Alhamdulillah, akhirnya ketemu air." Digenggamnya erat-erat botol plastik berwarna transparan di tangannya itu. Vanya pun menggeleng pelan seraya menatapnya lekat-lekat. "Siapa sih, yang masih buang-buang minuman kaya gini? Orang ini pasti nggak tahu betapa berharganya setetes air ini buat k***********n kaya gue. Tapi asli sih, gue bersyukur dan berterima kasih banget karena lo udah jadi manusia paling nggak bersyukur di dunia ini, siapapun elo pokoknya. Karena berkat kebodohan lo, gue jadi bisa minum agak banyak hari ini." Panjang lebar gadis itu berbicara seolah botol yang sudah kosong itu adalah teman lamanya. Ia bahkan sampai memeluk botol tersebut sebelum benar-benar membuangnya ke tempat sampah. Mata hitam kecokelatan miliknya itu lantas kembali melihat-lihat ke dalam. Barangkali manusia tidak bersyukur yang digambarkan Vanya sebagai pemilik botol air mineral tadi juga membuang makanan atau meninggalkan uang di tempat sampah. Meski Vanya tahu, hal kedua tak mungkin terjadi. Manusia cenderung berhati-hati soal uang. Kebanyakan dari mereka bahkan mudah dibutakan oleh alat yang sangat bernilai tersebut. Uang jugalah yang membuatnya sering dimarahi dan dipukuli oleh Baron. Seandainya saja gadis itu memiliki kekuatan untuk menciptakan uang, pikirnya. Namun pencarian Vanya kali ini tak berbuah manis. Usahanya yang kedua dalam mencari makanan di tempat sampah, hanya berakhir sia-sia. Ia tak menemukan apapun selain bungkusan makanan yang sudah habis. Kecewa adalah perasaan yang harus ditelan mentah-mentah oleh Vanya. Ia pun berbalik dan menghela napas berat. "Cuma dapat minum ternyata," katanya yang langsung menutup kembali tutup sampah tersebut seperti semula. "Tapi lumayan, deh, bisa buat bertahan sampai nanti siangan. Kali aja di tempat sampah lain ada makanan." "Valerie?" Suara seseorang yang tiba-tiba muncul pun menarik perhatiannya. Vanya menoleh. Dan kedua netra itu menemukan sosok pria bertubuh kurus dengan pakaian serba rapi dan terlihat mahal. Kedua alis Vanya mengerut. Valerie? Awalnya Vanya berpikir bahwa pria di hadapannya itu hanya salah mengira orang lain sebagai dirinya. Sehingga Vanya pun kembali bersiap untuk meninggalkan tempat sampah tersebut. Namun satu tangan dari pria itupun menahan pergelangan kanan milik Vanya, membuatnya waspada seketika dengan menepis kasar tangan sang pria. "Eh! Apa-apaan lo! Jangan pegang-pegang ya!" "Valerie, ini Papa," katanya lagi. Yang justru semakin membuat gadis itu kebingungan. Belum sempat otak dan hati gadis itu bersatu, tiba-tiba saja sang pria di hadapannya itu langsung menarik tubuh Valerie dan mendekapnya erat. Sambil sedikit menangis, pria itu berkata, "Akhirnya Papa bisa nemuin kamu, Valerie. Sekarang kita pulang ya ke rumah, semua orang udah nungguin kamu." Rumah? Benarkah ada sebuah tempat dimana Vanya dapat menyebutnya sebagai rumah? *** INFO TIME. Indonesia belum bisa sepenuhnya mengentaskan anak jalanan. Terhitung hingga 2018, menurut data Kementerian Sosial, masih ada 12.000 anak Indonesia masuk kategori anak jalanan. Data Kemensos 2017 menyebutkan ada lima provinsi dengan jumlah anak jalanan terbesar, yaitu Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Anak jalanan, menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef), adalah anak yang lari dari rumah/keluarga dan hidup sendiri di jalanan, anak yang menghabiskan sebagian waktunya di jalanan untuk bekerja, dan anak yang bersama keluarganya hidup di jalanan. Di Indonesia, seperti data Kemensos, anak jalanan terutama ada di kota-kota besar. Anak jalanan adalah sebuah istilah umum yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya. Pada mulanya ada dua kategori anak jalanan, yaitu children on the street dan children of the street . Pengertian untuk children on the street adalah anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Children in the street atau children from the families of the street adalah anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Salah satu masalah krusial dari meningkatnya jumlah anak jalanan adalah di antara mereka tidak sedikit yang berumur antara 4 sampai 18 tahun. Mereka berada di jalan untuk hidup bebas, lari dari keluarga atau rumah atau untuk mencari tambahan pendapatan keluarga dengan menjadi pengamen, pemulung, pengemis, penjual koran dan lain-lain. Hidup di jalanan bagi mereka menjadi pilihan terakhir walaupun penuh resiko. Sebenarnya jalanan bukan tempat yang aman bagi anak-anak. Hidup di jalanan penuh resiko dipalak, ditodong, dieksploitasi, bahkan pelecehan dan kekerasan seksual tidak dapat dihindari, karena kehidupan jalanan tak ubahnya seperti hukum rimba, yang kuat dia berkuasa. Bahkan sebuah penelitian mengungkapkan bahwa anjal, paling lama dua hari selamat dari resiko pelecehan seksual, dan yang lebih menyedihkan lagi anjal perempuan adalah yang paling sering mendapat resiko pelecehan seksual. Mereka berpakaian kumal, gondrong, bertato merupakan cara anak jalanan menampilkan diri di samping menenggak minuman keras, berjudi dan pemakaian n*****a adalah salah satu kebiasaan yang dilakukan selama di jalan. Alasan yang diberikan adalah melupakan masalah. Sebuah studi tentang anak jalanan menyebutkan bahwa tindakan-tindakan ini membawa anak jalanan pada masalah hukum, karena tindakan tersebut melanggar hukum. Anak jalanan melakukan tindakan mabuk-mabukan, bersikap cuek atau tidak peduli dengan aturan hukum dan yang lebih parah lagi penyalahgunaan terhadap obat-obatan terlarang. Siapa yang bertanggung jawab? Anak jalanan selalu terkait dengan kriteria yang dikenakan kepada mereka oleh pemerintah, yaitu anak yang berusia 5-18 tahun, yang menghabiskan sebagai besar waktunya di jalan, untuk mencari nafkah, atau berkeliaran di jalan raya atau tempat-tempat umum. Waktu yang dihabiskan sekitar 4 jam per hari, pola pengalokasian waktu serupa terus dilakukan hingga mereka menemukan sumber nafkah lain, atau lingkungan sosial yang dapat menampung mereka. Eksistensi anak jalanan terpaut dengan perlakuan dan kondisi dalam keluarganya, kemiskinan, perceraian orangtua, minimnya perhatian dari lingkungan sosial, dan tendensi memprioritaskan uang dari pada bersekolah atau melakukan kegiatan lain. Terdapat empat tipe anak jalanan yaitu: anak jalanan yang masih tinggal dengan orangtua, anak jalanan yang memiliki orangtua tetapi tidak tinggal dengan mereka, anak jalanan yang tidak memiliki orangtua, tetapi tinggal dengan keluarga tertentu, dan anak jalanan yang tidak memiliki orangtua dan tidak tinggal dengan keluarga. Pekerjaan utama anjal adalah pengamen, ojek payung, pengelap mobil, pembawa belanja di toko atau pasar dan peminta-minta. Fenomena anak jalanan ini serta-merta membangun pertanyaan: siapakah sejatinya yang mesti bertanggung jawab atas mereka? Undang-Undang Dasar 1945 hasil amendemen, Pasal 34 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara “. Diktum konstitusi ini jelas memberikan kewenangan pada negara untuk mengurus dan bukannya untuk menangkapi anak jalanan. Atensi utama pada pemeliharaan, penanganan dan pemberdayaan, tampaknya belum dipahami secara merata di semua instansi pemerintah tentang mandat konsitusi untuk memperhatikan kelompok marginal; seperti fakir miskin dan anak telantar. Landasan konstitusional dengan indikator terukur tersurat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 34 Ayat 2 bahwa “ Negara mengembangkan suatu jaringan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan." Prioritas konstitusional agar negara berperan aktif dalam membanguan manusia agar lebih bermartabat, menjadi antitesis dengan kondisi objektif mutu hidup manusia Indonesia saat ini, dan secara khusus masa depan dan perlakuan terhadap anak jalanan. Martabat (integrity ) manusia Indonesia menjadi buram karena balutan kemiskinan, dan mutu hidup mayoritas manusia Indonesia yang masih di bawah standar minimum. Di Indonesia, jaringan sosial sangat minim dikembangkan lintas institusi negara, institusi keagamaan, institusi etnis, dan institusi golongan. Penanganan fakir miskin dan anak jalanan masih menjadi d******i lembaga pemerintah (Kementerian Sosial); dan institusi lainnya didaulat untuk ikut berpartisipasi, sebab ketiadaan dana, tiada daya dan sumberdaya manusia yang memadai. Keberadaan anak jalanan dan fakir miskin tidak terlepas dari sinergitas peranan Pemerintah dan Masyarakat, khususnya keluarga. Fungsi “Rumah Singgah” sebagai wadah berkumpul anak jalanan hanyalah program sejenak dan tidak akan mereduksi akumulasi anak jalanan, apabila kebijakan yang “pro poor ”, program inklusif bagi anak jalanan dan fakir miskin tidak tersinergikan secara nasional, maka program penanganan anak jalanan akan terkesan populis. Untuk itu perlu kerjasama semua pihak untuk saling bergandengan tangan mengatasi masalah sosial ini. Kemiskinan merupakan faktor pertama yang menyebabkan munculnya anak jalanan, baik miskin ekonomi, maupun miskin mental spiritual. Jika pun keluarga itu miskin ekonomi tapi mental spiritualnya kuat, tentu tidak akan dibiarkannya anak-anak mereka turun ke jalanan untuk meminta-minta atau pun mengamen, dan lainnya. Ada harga diri keluarga yang harus dijaga.Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Konsep mengatasi kemiskinan dengan pendidikan dan ketrampilan, seharusnya menjadi sarana yang efektif untuk menjawab persoalan ini. Di samping, penguatan ketahanan keluarga dengan menjaga nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dari semua anggota keluarganya, sehingga diharapkan muncul ide-ide kreatif dan inovatif untuk berwira usaha menambah finansial keluarga. Dan itu dia seputar data tentang anak jalanan ya, fellas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD