7. Benar-benar Hamil

1337 Words
Emma bersyukur, ketika ia tiba di rumah, Raven belum pulang. Ia langsung menghempaskan tasnya ke atas meja rias lalu mengambil sebuah tespek yang baru saja ia beli. Ia tak mau menunda-nunda untuk mengetesnya. Barangkali tebakan Ria tidak benar. Ia pernah mengalami keterlambatan datang bulan dan itu hanya karena ia stres. Yah, pernikahannya membuat ia cukup stres selama hampir sebulan ini. Emma duduk dengan gusar ketika ia sudah bersiap melakukan tes. Sekali lagi, ia berharap ia tidak sedang hamil. Jika ia melakukan hubungan seks dengan pria asing malam itu--Jax--pastilah pria itu memakai pengaman. Sungguh bodoh jika tidak! "Coba aja deh daripada penasaran," ujar Emma. Ia segera mencelupkan tespeknya ke dalam cairan urin. Dengan jantung berdebar, Emma pun menunggu. "Nggak ... nggak mungkin!" Emma meletakkan kepalan tangannya di depan mulut. Ia sangat ingin menjerit sekarang, tetapi ia tak bisa. Ia tak mau membuat gempar seisi rumah. Apalagi jika Raven sudah di kamar. Bisa saja pria itu sudah pulang karena biasanya mereka akan pulang di jam yang hampir sama. "Gimana ini? Gue harus gimana, Tuhan?" Emma menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia meneteskan air mata meskipun sudah ia tahan-tahan. Baru kali ini ia mengalami masalah besar. Pernikahan paksa ini saja sudah menyiksanya, apalagi ditambah kehamilan dengan pria asing. Emma mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tak mau ketahuan Raven untuk saat ini. Raven sudah pernah mencela bahwa ia sudah tidur dengan pria lain. Jika Raven tahu ia hamil dengan pria asing, Raven pasti akan mencemooh dirinya lebih banyak. Emma lantas membuang air seni beserta tespeknya yang telah ia lipat kecil ke dalam kloset. "Raven nggak boleh tahu saat ini. Gue harus cari siapa pria itu. Gue juga ... gue ... mungkin pria itu lebih baik daripada Raven dan mau tanggung jawab. Jadi, gue nggak perlu menjalani pernikahan penuh dendam ini lagi." Emma segera mandi. Ia tak sadar sudah mengguyur dirinya di bawah shower untuk waktu yang cukup lama. Ia baru memutuskan keluar dari kamar mandi ketika tubuhnya terasa begitu dingin, padahal ia mandi air hangat. Sama seperti kemarin, Emma membalut dirinya dengan handuk. Ia tak menyukai ini karena ia bahkan tak sempat mengambil baju gantinya lebih dulu sebelum mandi. "Kamu ngapain aja di kamar mandi?" tanya Raven tepat ketika ia keluar dari kamar mandi dalam keadaan basah kuyup. "Kamu berendam hingga ketiduran?" "Ya. Maaf," ujar Emma dingin. Ia segera membuka lemarinya. Baju-baju di dalam sana adalah baju-baju yang Raven siapkan. Ia bahkan tak ingat membawa apa dari rumah orang tuanya, yang jelas Raven sudah membeli banyak hal. Emma menarik baju tidur berwarna pink lalu segera kembali ke kamar mandi. Ia tak mau memakai baju di depan Raven yang m***m. Begitu selesai memakai baju, Emma pun menggosok rambut sekenanya karena tak mungkin langsung kering. Ia melakukannya di kamar mandi, tentu saja. Dan tak lama, ia mendengar pintu itu dipukul dari luar. "Emma, ada apa?" tanya Raven. "Aku nggak papa," jawab Emma. Ia melemparkan handuknya ke wastafel dan mendadak merasa marah. Ia tak tahu harus marah dengan siapa. Yang jelas hatinya berkecamuk. Ia merasa begitu penuh, marah, ingin meledak dan menangis. "Emma, aku khawatir sama kamu. Kalau kamu nggak segera keluar, aku dobrak pintunya," ujar Raven dari luar. Raven terkesiap ketika Emma tiba-tiba membuka pintu dan menatapnya tajam. "Kamu kenapa? Nggak biasanya begini. Ini bahkan belum waktunya makan malam, kenapa kamu udah pakai baju tidur?" Emma mendengkus seketika karena pertanyaan bernada cemas Raven. Ia benar-benar muak. Raven tidak pernah memperlakukan dirinya selayaknya seorang istri, bahkan Raven sering bertemu pacarnya yang sedang pemulihan pasca kecelakaan dan sekarang ia bersikap seolah peduli? "Aku nggak enak badan. Aku mau tidur aja," kata Emma. Ia berjalan cepat menuju sofa yang menjadi tempat tidurnya. "Kamu sakit? Kamu perlu ke rumah sakit?" tanya Raven seraya mengikuti Emma. "Aku cuma capek," tukas Emma cepat. Ia berbaring di sofa, membalik tubuhnya dan menarik selimut hingga ia terlihat meringkuk lucu di sana. Untung saja, Emma memiliki postur tubuh yang kecil sehingga ia pas berada di sofa tersebut. "Aku bisa panggil dokter jika kamu benar-benar sakit, Emma. Aku telepon sekarang," ujar Raven. Emma langsung menelentangkan dirinya. "Jangan!" Ia tak mau ketahuan hamil oleh Raven. "Aku nggak papa. Aku cuma mau tidur sebentar." "Oke. Terserah saja," ucap Raven yang sudah mengangkat ponselnya untuk menelepon dokter. Emma selalu menolak dirinya, memintanya menjauh dan membiarkan jarak di antara mereka tanpa mau mencoba untuk lebih dekat. Bahkan perhatian kecil seperti ini saja, Emma menolak, pikir Raven dalam hati. Pria itu membalik badan ketika Emma kembali meringkuk di sofa. Ia lalu duduk di tepi ranjangnya yang besar. Ia menatap ke arah ranjangnya yang nyaman lalu ke arah Emma lagi. "Emma, kamu bisa tidur di sini jika kamu emang nggak enak badan. Di sini lebih nyaman," kata Raven. "Nggak mau. Aku nggak mau memohon sama kamu, jadi lupakan saja jika aku harus memohon-mohon sama kamu!" seru Emma dengan nada marah. Ia terduduk seketika dan menatap Raven dengan mata basah. "Aku di sini saja. Asalkan kamu tahu, sofa ini sangat nyaman dan aman. Ini tempat tidur paling nyaman yang pernah aku rasakan. Daripada aku harus memohon sama kamu, lebih baik aku tetap di sini." Raven ternganga mendengar ucapan Emma. Apalagi ketika Emma kembali membanting dirinya dan membentuk buntalan lucu karena hanya rambutnya saja yang terlihat. "Aku nggak meminta kamu memohon, Emma. Aku serius. Aku khawatir kamu sakit. Apa perlu aku angkat tubuh kamu ke sini agar kamu percaya?" tanya Raven. "Nggak perlu. Dasar m***m!" Raven membuang napas panjang dari mulutnya. Ini yang ia tak suka dari Emma. Emma selalu menilai hal dari sudut pandangnya saja tanpa pernah mau menilai dari sisi lain. "Aku hanya mencoba melakukan hal baik untuk kamu, Emma. Kamu lupa, kamu istri aku. Jika kamu sakit, aku juga yang harus merawat kamu," kata Raven. "Aku nggak butuh. Yang kamu lakukan itu palsu. Kamu hanya butuh pertunjukan dan kamu hanya ingin balas dendam sama aku," ujar Emma. Raven mendengkus keras. "Kenapa kamu nggak pernah menghargai sisi baik aku, Emma? Terserah! Tidur saja di situ." Emma tak mendengar lagi suara Raven. Ia masih membuka matanya sedetik lalu, tetapi kini ia memutuskan untuk memejamkan matanya. Tak akan ada habisnya berdebat dengan Raven. Hanya menambah penat kepalanya. Ia masih harus memikirkan bagaimana caranya menangani kehamilannya? Bagaimana menemukan pria yang menjadi ayah dari bayinya? *** Raven masuk ke kamar mandi ketika obrolannya dengan Emma berakhir dengan tidak baik. Ia memukul keras dinding kamar mandi karena tak tahan dengan sikap arogan Emma. Ia mengira Emma bisa ia taklukkan dalam pernikahan ini. Setidaknya, Emma bisa melihat niat baiknya. Sayang, Emma sepertinya masih buta dan hanya mengira ia melakukan itu dengan tidak tulus. Usai membersihkan dirinya. Ia berharap agar ia merasa jauh lebih baik. Barangkali, Emma memang lelah dan sedang tak enak badan. Barangkali, Emma ada masalah di tempatnya bekerja. Atau barangkali, Emma lelah dengan pernikahan mereka. Haruskah ia mengubah taktik? Pikirnya dalam hati. Jika ia terang-terangan bersikap baik pada Emma, ia yakin istrinya itu tetap akan menilai jelek dirinya. "Ah, aku nggak peduli. Kalau Emma belum memohon maaf sama aku, aku bakal tetap bersikap dingin sama dia," kata Raven sebelum meninggal kamar mandi. Namun, ketika ia menatap Emma yang masih meringkuk di atas sofa, hatinya mendadak lemah. Ia mendekati tubuh Emma dengan hati-hati karena tak ingin dianggap mengganggu apalagi dikira pria m***m. Ia hanya bisa tertawa jika Emma mengatainya seperti itu. Ia tak akan berdosa jika ia m***m dengan istrinya sendiri. "Apa dia benar-benar sakit?" Raven menjulurkan tangannya ke kening Emma. "Nggak panas, tapi dia pucet banget. Aku bakal minta Bibi buat masakan sup ayam jahe nanti. Emma suka makan itu." Raven tersenyum tipis seraya mengusap-usap puncak kepala Emma. "Keras kepala sekali. Apa salahnya jika kamu menurunkan sedikit ego kamu, Emma? Apa kamu mengira, aku benar-benar mau balas dendam? Aku nggak kekanak-kanakan seperti yang kamu bayangkan. Kamu harus melihat sisi lain dari aku, Emma. Kenapa kamu nggak sadar? Aku sungguh-sungguh khawatir sama kamu." Raven bicara sangat lirih. Ia tak ingin Emma tahu perasaan dalam hatinya. Ia ingin Emma menyadari semuanya sendiri. Ia sengaja bersikap menyebalkan hanya untuk menggoda Emma saja. "Tidur yang nyenyak, aku harap ketika kamu bangun, kamu sudah jauh lebih baik, Emma."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD