Malam itu, ketika Emma terbangun, kamarnya sudah sangat gelap. Emma langsung melirik Raven yang tidur nyenyak di ranjang kamar itu. Emma ingin kembali tidur, tetapi rasanya ia tak bisa karena ia sudah tidur sejak sore hari. Apalagi perutnya terasa kosong. Ia butuh makanan.
Emma berjalan perjalanan menuju pintu hingga ia menemukan sebuah kertas post it tertempel di daun pintu. Ia mengambil kertas itu lalu membawanya ke luar kamar agar bisa membacanya. Ia mendengkus karena tahu itu tulisan Raven yang mirip cakaran ayam.
"Jika kamu lapar, kamu bisa meminta Bi Tum untuk memanaskan sup ayam jahe. Lekas sembuh." Raven.
Emma meremas kertas itu lalu membuangnya ke tempat sampah dapur. Ia tak perlu membangunkan orang tidur untuk makan. Ia langsung membuka kulkas lalu menemukan kotak berisi sup yang disebutkan oleh Raven. Ia memanaskannya dengan kompor alih-alih microwave. Ia juga menemukan nasi, tetapi perutnya bergejolak ketika ia membuka rice cooker.
"Kenapa kayak gini? Apa gue harus muntah-muntah kayak tokoh hamil di film gitu? Kalau gini, gue bakal ketahuan," gumam Emma resah.
Emma melupakan nasi yang membuatnya mual lalu menuangkan sup ke dalam mangkuk besar. Ia memutuskan untuk menggoreng kentang sebagai pelengkap makan. Ah, ia merasa gila makan di tengah malam begini.
Sembari makan, Emma berselancar di dunia maya. Ia mulai membaca bagaimana cara menyingkirkan janin secara aman dan alami. Namun, itu sia-sia karena hampir tak ada website yang menampilkan. Ia mencoba memutuskan untuk bertanya di situs percakapan rahasia, tetapi ia ngeri sendiri dengan komentar orang-orang yang justru berkata bahwa menggugurkan janin sendiri sangat berbahaya.
"Gue nggak punya pilihan lain. Gue harus nemuin pria itu," gumam Mia lagi. "Mungkin pria itu kerekam CCTV. Kalau nggak di bar, pasti di hotel. Tapi, bisa nggak gue liat CCTV-nya?"
Emma tak mau menyerah. Ia akan berpura-pura kehilangan perhiasan lalu mencoba bertanya pada petugas keamanan di Bar Melody dan Hotel Seanshine besok sepulang kerja. Ia akan mencari tahu siapa pria sialan itu.
***
Keesokan harinya, Emma dilanda rasa malas. Bahkan untuk bangun tidur saja ia tidak memiliki semangat. Ia mengusap perutnya tanpa sadar. Ia sudah menghitung-hitung berdasarkan apa yang ia baca di internet, kehamilannya mungkin sudah berkisar 6-7 minggu karena ternyata ia sudah telat cukup lama. Hanya saja, ia tak menyadarinya.
"Emma, kamu udah bangun?" tanya Raven.
Berbeda darinya yang malas untuk bangun, Raven sudah terlihat segar bahkan sudah mandi. Emma mendudukkan dirinya dengan hati-hati karena pusing yang mendera. Ia memegangi kepalanya. Gestur itu membuat Raven mendekat untuk membantu Emma. Namun, Emma menepis tangan Raven dengan cepat.
"Kamu terlihat nggak sehat, Emma, apa kamu yakin tidak perlu ke rumah sakit?" tanya Raven.
Emma menutup bibirnya ketika ia mencium aroma shampo Raven. Biasanya ia tak begini, ia menyukai aroma shampo dan sabun Raven. Bahkan ia juga menyukai aroma tubuh Raven. Namun, kali ini penciumannya bereaksi berbeda.
"Apa yang terjadi? Kamu mual? Apa kamu masuk angin?" tanya Raven lagi. Ia berlutut di depan sofa Emma.
"Menyingkir. Aku tak apa-apa," ujar Emma. Ia mencoba berdiri dengan menahan pusing di kepalanya. "Bukannya kamu mau bersiap-siap ke kantor? Aku juga, aku harus mandi."
Raven membuang napas panjang karena Emma kembali menolaknya. Ia pun ikut berdiri. "Tiga minggu lagi, aku ada acara penghargaan. Aku ingin kamu datang."
"Apa? Kenapa aku harus datang?" tanya Emma. Ia tak ingin disorot oleh media. Tidak, di saat ia hamil begini. Bagaimana jika makin banyak orang yang tahu?
"Tentu saja karena kamu adalah istri aku, Emma. Kamu harus menunjukkan bahwa kamu mendukung suami kamu," kata Raven.
Emma membalik badan lalu mengangguk. "Hanya untuk pertunjukan?"
"Ya. Seperti biasa. Kamu hanya harus datang dan tersenyum di depan semua orang. Aku yang akan memilih gaun terbaik untuk kamu kenakan," kata Raven.
"Oke, tapi apakah akan ada banyak wartawan?" tanya Emma ragu-ragu.
"Tentu aja. Kamu menikahi pria terkenal, Emma," ujar Raven dengan nada pongah. "Aku akan pastikan kamu terlihat cantik di depan kamera."
"Apa kamu melakukan untuk mencemooh aku, Raven? Aku dulunya sempat menjadi model dan sekarang ... kamu sengaja melakukan itu?" tanya Emma.
"Nggak. Kenapa aku harus melakukan itu? Aku melakukan itu hanya karena kamu adalah istri aku. Kenapa kamu nggak ngerti juga? Pokoknya, kamu hanya perlu berdandan dan datang ke sana denganku. Kita akan menjadi sorotan publik malam itu," kata Raven.
Emma menyugar rambutnya lalu segera membuka lemari. Ia mengambil baju ganti dan segera mandi saja karena ini sudah hampir siang. Ia tak ingin kesiangan tiba di stasiun radio. Ia juga punya tujuan sore nanti, mencari rekaman CCTV pria yang menghamilinya.
***
Emma harus menelan kecewa ketika ia datang ke Bar Melody. Ia tak bisa menemukan rekaman CCTV karena kejadian itu sudah sebulan lebih berselang. Dan petugas keamanan selalu menghapus rekaman setiap satu bulan sekali.
Sedangkan di hotel Seanshine, ia juga tidak diperbolehkan untuk melihat rekaman CCTV tanpa adanya surat kehilangan dari kepolisian. Dan waktu sudah lewat dari sebulan. Petugas hotel tidak percaya jika Emma kehilangan sesuatu, karena jika benar ada barang berharga yang ketinggalan atau hilang sudah pasti ada yang lapor lebih cepat.
Dan waktu pun berlalu dengan lambat bagi Emma. Karena ia mengalami mual dan pusing. Ia harus berpura-pura bahwa ia baik-baik saja di depan semua orang, walaupun itu tidak mudah. Dan kini, ia baru saja didandani oleh seorang MUA. Ia akan menghadiri acara penghargaan film bersama Raven.
"Kamu terlihat cantik, Emma," kata Raven yang baru saja keluar dari walk in closet-nya. Ia tersenyum puas karena Emma terlihat begitu menawan dengan balutan gaun yang ia pilihkan. Sudah ia tebak, Emma akan bersinar malam ini.
"Raven, tunggu sebentar, perutku nggak enak," kata Emma seraya meremas perutnya. Rasa tak nyaman tiba-tiba hadir di sana. Ia pun segera berjalan menuju kamar mandi.
"Apa kamu gugup?" tanya Raven yang menyusul Emma hingga ke depan pintu kamar mandi. "Emma? Kita harus segera pergi. Apa kamu terlalu gugup dan mulas? Ah, kamu udah berdandan, kenapa kamu malah lama banget?"
Emma yang berada di kamar mandi tak menjawab. Ia baru saja dikagetkan dengan bercak darah di celana dalamnya. Perutnya juga seperti diremas-remas. Emma meringis dan ia ketakutan sekarang. Ia tak tahu apa yang terjadi, tetapi pendarahan pada wanita hamil bisa saja berbahaya.
Dengan gemetar, Emma pun membuka pintu kamar mandi. "Raven, tolong aku."
"Apa yang terjadi, Emma?" Raven menangkup wajah Emma yang pucat pasi. "Kamu sakit?"
Emma mengangguk. "Aku sakit perut. Aku ... aku pendarahan."
"Apa? Pendarahan apa? Kamu ... kamu baru datang bulan? Atau ...."
Emma menggeleng. Tubuhnya meluruh ke lantai dengan cepat karena ia terlalu lemas dan takut. Ia tak tahu apa yang akan dikatakan Raven setelah ini, tetapi ia yakin Raven akan tahu ia sedang hamil. Atau mungkin, ia sedang mengalami keguguran.
"Emma! Tidak! Bangun!" sentak Raven kaget. Ia menepuk pipi Emma dan tahu istrinya itu masih setengah sadar. Melihat air mata Emma meleleh hingga ke pelipisnya, Raven tahu Emma sedang tidak baik-baik saja. "Sadarlah, Emma. Aku bawa kamu ke rumah sakit."
Emma merasakan tubuhnya seketika menempel di tubuh kekar Raven. Ia diangkat begitu saja lalu dibawa berlari ke luar kamar. Ia bisa mendengar sayup-sayup suara asisten rumah tangga yang bertanya pada Raven tentang apa yang terjadi padanya.
"Emma sakit ... pendarahan ... perutnya kram ... rumah sakit!" Emma juga mendengar secuil jawaban Raven. Ia ingin menjelaskan semuanya, tetapi matanya begitu berat hingga ia tetap terpejam begitu juga dengan bibirnya yang seolah tak berguna.
"Emma! Kita di mobil sekarang," ujar Raven yang sedang memasang sabuk pengaman untuk Emma.
"Tuan! Apa yang Anda lakukan? Kita harus segera berangkat. Red carpet akan segera dimulai," kata Erik yang bersiap untuk menyetir mobil mewah Raven. Namun, alih-alih masuk ke mobil itu, Raven justru membawa Emma ke mobil lain.
"Istriku sakit, Erik. Aku harus membawanya ke rumah sakit. Kamu nggak liat, Emma hampir pingsan!" Raven menutup pintu mobil lalu segera berlari ke arah pintu kemudi. "Aku nggak akan hadir ke acara itu. Tolong kamu urus dengan baik."
"Tapi, itu itu acara yang sangat penting, Tuan," kata Erik mengingatkan.
"Emma jauh lebih penting daripada acara itu. Aku harus pergi."
Raven tak bisa dicegah lagi. Dalam sekejap, mobilnya sudah memelesat di jalanan. Ia mengebut sambil sesekali melirik Emma yang mengernyit.
"Emma, apa kamu salah makan?" tanya Raven. Ia mengusap kening Emma yang berkeringat dingin. "Ayolah, Emma. Jangan tutup mata cantik kamu. Bangun, sadarlah. Aku mohon."
Raven menambah kecepatan mobilnya hingga akhirnya ia tiba di rumah sakit. Sama seperti tadi, Raven menggendong tubuh Emma. Kali ini, Emma terlihat jauh lebih memiliki kesadaran karena ia langsung merintih begitu dibawa masuk ke ruang UGD.
"Dokter! Dokter! Tolong!" teriak Raven keras-keras.
Seorang perawat mendekat untuk menyambut Raven. "Tolong ke sini, Tuan. Baringkan pasien. Apa yang terjadi?"
"Mana dokternya? Istri saya sakit!" pekik Raven. "Saya mau dia diperiksa sekarang juga. Dia sakit perut."
Tak lama, beberapa dokter datang untuk memeriksa Emma. Ketika itu, Emma membuka matanya. Ia bertemu tatap dengan Raven yang tampak begitu cemas. Ia memalingkan wajahnya karena ia takut, sebentar lagi Raven akan tahu.
"Apa yang Anda rasanya, Nona?" tanya salah satu dokter yang memeriksa perutnya dengan stetoskop. "Bagian perut mana yang sakit?"
"Saya ... saya mengalami pendarahan, Dokter. Tolong," rintih Emma.
Para dokter pun paham. Mereka langsung melakukan pemeriksaan USG pada Emma sementara Raven menunggu dengan begitu gelisah. Sesekali, ia bertanya pada dokter bagaimana kondisi Emma saat ini.
"Anda tidak perlu khawatir. Ini bukan pendarahan yang fatal. Kondisi janinnya masih sangat baik," ujar dokter itu menerangkan.
"Apa? Janin?" Raven menatap kantong kecil di layar monitor lalu menoleh pada Emma yang kembali pingsan. "Istri saya hamil?"