Bab4

1368 Words
Menjelang maghrib, seperti biasa. Cahaya akan ke rumah Ibu dan Bapak yang sudah sepuh. Waktu yang ditempuh tak menghabiskan lima belas menit, mereka sudah sampai. Bapak, hanya seorang tukang ojek pangkalan semasa sehatnya, sedangkan Ibu sama seperti dirinya, buruh cuci serabutan. Hanya saja menjelang masa tuanya, dia tak bisa memegang banyak rumah, pendapatan hanya cukup untuk menghidupi masa tua sehari-hari. “Horeee ada kolak!” Kiran tampak girang. Ada satu mangkuk kolak yang tersaji di meja makan. “Iya, sengaja itu memang buat Kiran.” Bu Saodah tersenyum menatap cucu semata wayangnya. Cahaya datang dengan membawa dua gelas teh manis hangat. Ada satu piring gorengan tempe tepung sudah tersaji di atas meja. Tempe goreng buatan tangan Bu Saodah pastinya. Bikin sendiri lebih hemat pastinya. Adzan maghrib berkumandang, mereka lekas menikmati hidangan alakadarnya. Kiran tampak sekali bersemangat menghabiskan semangkuk kolak. Sementara itu, Bapak, dia tak keluar kamar. Batuknya yang terus menerus membuat dia menjaga jarak dengan siapapun, takut menular, katanya. “Obat Bapak masih ada?” Cahaya menatap Bu Saodah. Satu teguk teh manis hangat baru saja melewati kerongkongan keringnya, mengusir jauh rasa dahaga. “Masih.” Bu Saodah menjawab singkat. “Kalau habis bilang saja, Bu. Mas Baska sudah ngirim uang katanya. Besok Aya ambil ke rumah Mama.” Cahaya tersenyum. Sedikit berbesar hati, walau kiriman dari Mas Baska tak seberapa, tetapi bisa untuk membantu membeli obat untuk Bapak. Tangannya beralih mengambil sepotong tempe. “Maafin Ibu, Aya. Ibu malah merepotkanmu terus.” Bu Saodah menghela napas kasar. “Insya Allah akan selalu ada rejeki kalau buat bantu orang tua, Bu. Ibu hanya cukup bantu doa saja.” Lalu keduanya sama-sama hanyut dalam pikirannya. Dua iris tempe goreng dan teh manis ternyata sudah cukup membuat perutnya kenyang. Usai berbuka, lanjut dengan shalat maghrib lalu berangkat tarawih. Cahaya, Ibu Saodah dan Kiran berjalan bersama menuju masjid yang berada di tengah-tengah antara rumah Cahaya dan Bu saodah. Nanti sepulang tarawih, barulah akan berpisah dan menuju rumah masing-masing lagi. Langit tampak cerah hanya sedikit awan berarak bergumpal, suara bedug yang bertalu menambah semarak pada sore menjelang akhir Ramadhan sekarang. Kirana berlari riang ketika melihat Anneke dari arah jalan berlainan. “Anne!” “Kiran!” “Aku juga sudah dibeliin baju baru sama Mamaku, loh!” Kiran bercerita dengan mata yang tak bisa berdusta. Ada binar bahagia di sana. “Oh, ya? Aku juga sudah. Aku punya tiga, kamu udah berapa?” Anneke terdengar antusias. “Aku juga ada tiga,” jawab Kiran bangga. Cahaya hanya tersenyum hambar. Ingat sekali kalau dua baju itu dibelikan Bang Fajar. Andai keluarga Mas Baska tahu, pasti akan jadi masalah. Bagaimanapun Fajar adalah mantan kekasihnya dulu. Selain itu, Bang Fajar merupakan adik kandung dari suami kakak iparnya---Mas Fajri. Dua lelaki masa lalu yang selalu membayangi langkah kaki Cahaya hingga kini. *** Dua hari lagi menuju lebaran. Sahur Cahaya dengan tempe bacem sisa semalam dan tumis kangkung yang dihangatkan sudah selesai. Bakda shubuh Cahaya langsung membereskan rumah. Setelah itu, baru akan ke rumah Bu Tanti yang biasa mempekerjakannya cuci setrika. Dua hari sekali jadwalnya ke sana. Ada tiga bak cucian milik keuarga besar itu yang sudah Cahaya selesaikan. Kini tengah dijemur di halaman belakang. Sementara menunggu jemuran kering, Cahaya membereskan rumah. Nyapu, ngepel dan mencuci piring. “Bu Tanti, saya permisi dulu, ya! Nanti bakda ashar ke sini lagi. Ada perlu juga soalnya.” “Oh iya, makasih ya, Mbak Aya.” Bu Tanti yang tengah sibuk dengan cucu-cucunya mengucap terima kasih. Cahaya lantas pulang, menjenguk Kirana dulu di rumah sebelum pergi ke rumah Omanya. Sesampai di rumah, tampak Kiran tengah berbaring di ruang tengah sambil menonton televisi. “Kiran, ayo bersiap, Sayang. Kita ke rumah Oma.” Cahaya berjalan mendekat ke arah Kirana yang tengah tiduran beralas karpet gambar frozen di ruang tengah. “Iya, Ma.” Kiran bangkit, tapi wajahnya tampak sekali lemas. “Kok lemas banget, Sayang? Kalau gitu, gak usah ikut saja, ya! Mama gak lama, kok! Kunci pintu, ya, selama Mama pergi.” Cahaya menatap khawatir wajah Kirana. “Iya, deh, Ma. Kiran gak ikut. Mau bobok saja.” “Kalau gak kuat, buka saja shaumnya, Kiran.” Cahaya menatap cemas punggung Kiran yang berjalan menuju kamar. “Iya, Ma.” Kirana hanya menjawab singkat. Dia pun terus masuk ke dalam kamar. Cahaya segera berangkat ke pangkalan ojek. Rumah Ibu Rini---Ibu Mertuanya cukup jauh. Meskipun bisa ditempuh dengan jalan kaki, tetapi kalau sedang puasa seperti ini, cukup menyita tenaga juga karena jaraknya yang lumayan. Menjelang zuhur, akhirnya Cahaya sampai juga di rumah dua lantai itu. Rumah keluarga Adiwinata yang kini dihuni Ibu mertuanya dengan kakak perempuan Mas Baska yang pertama---Mbak Fiska dengan suaminya yaitu Mas Fajri. Sudah lama Mas Fajri bekerja sebagai seorang IT di salah satu bank ternama. Gajinya besar, tetapi entah kenapa dia tak ada niatan untuk membeli rumah sendiri. Sampai hari ini dia masih betah tinggal di pondok mertua indah. Cahaya berdiri di depan pagar rumah setinggi dua meter yang digembok itu. Tak ada security, biasanya yang membukakan pintu adalah Mbok Sari---ART yang dibayar gajinya oleh Mbak Fiska untuk mengurus rumah dan juga Ibu Mertuanya. Dia memijit bell sambil menutup kepalanya dengan telapak tangan, menghalangi sinar terik mentari. Hari tengah terik-teriknya sekarang. Sudah berdiri beberapa lama, tetapi belum ada juga yang membukakan pintu. Cahaya mengusap wajah. Dia lupa tak mengabari dulu mau datang. Dirogohnya saku bajunya untuk mengambil benda pipih miliknya ketika sebuah mobil yang dia kenal, berjalan mendekat. “Akhirnya ada orang yang datang,” batin Cahaya sambil tetap mematung di depan pintu gerbang. Mobil berhenti, Cahaya menyipitkan mata memperhatikan sosok yang keluar. Rupanya Mas Fajri. “Aya, sudah lama? Kenapa gak ngabarin dulu mau ke sini, kan Mas bisa jemput!” tuturnya seraya tergesa membukakan gerbang untuk Cahaya. “Iya, Mas. Lupa. Makasih, Mas.” Cahaya sedikit kikuk ketika Mas Fajri malah memandangnya lekat-lekat. “Lain kali jangan seperti itu, Kiran mana?” telisiknya seraya melihat-lihat sekitar. “Kiran gak ikut, Mas. Ke sini juga sebentar saja, mau ketemu Omanya Kiran doang.” Cahaya menjawab sejujurnya. Mas Fajri adalah orang yang membuat dirinya memutuskan untuk menyudahi hubungannya dengan Bang Fajar. Bagaimana bisa Cahaya tinggal satu atap dengan dua lelaki yang sama-sama menyatakan cinta padanya di masa silam dan sama-sama keras kepala. Namun, rupanya takdir memang kuat. Terlepas dari Bang Fajar, Mas Fajri malah menjadi kakak iparnya juga dan lebih parahnya tinggal di rumah Ibu Mertuanya. “Oh mau ambil kiriman Baska lagi?” telisiknya. Cahaya hanya mengangguk. Mas Fajri mempersilakannya masuk. Cahaya berjalan memasuki halaman luas itu. Mas Fajri kembali ke mobil dan memasukkannya segera ke pekarangan. “Memangnya ATM kamu belum bisa pakai?” Suara Mas Fajri membuat Cahaya yang masih mematung di depan pintu utama menoleh. Entah kenapa rumah ini seperti kosong. “Ya, masih seperti biasa, Mas. Tiap aku nyimpen uang pasti saja hilang.” Cahaya menjawab lemas. Teringat kejadian empat tahun silam, dia terkejut ketika hendak narik uang dari ATM. Uang yang Mas Baska tinggalkan untuknya sebelum pergi merantau ternyata sudah hilang, sayangnya dia tak pernah mengecheck berkala. Dari transaksi, ternyata uang itu sudah hilang cukup lama. Pernah lapor polisi, tetapi ternyata malah ada biaya lain-lain lagi dan prosesnya melelahkan. Akhirnya Cahaya membuat ATM baru, dia mencoba menabung beberapa rupiah lagi, tetapi ternyata sama. Beberapa bulan, uangnya aman, tetapi setelahnya kembali saldonya menjadi 0. Transaksi aneh-aneh yang tak dia paham termasuk top up, top up ke beberapa pengguna yang mungkin hanya orang-orang ahli IT yang bisa melakukannya. Semenjak saat itu, Cahaya tak pernah lagi menyimpan uang di bank, karena itu, setiap kiriman dari Mas Baska akan dikirim ke rekaning Ibu Mertuanya. “Mungkin ada data kamu yang bocor, ya sudah, ke rekening Mama saja gak apa. Yuk, duduk dulu. Sudah lama gak ngobrol sama kamu. Kebetulan Mama sama Fiska lagi arisan, mungkin agak sorean baru pulang.” Mas Fajri membukakan daun pintu. Cahaya tertegun. Langkahnya kaku dan akhirnya kembali memilih berpamitan. “Ahm, kalau Mama gak ada, sebaiknya saya pulang dulu saja, Mas, Sore saya ke sini lagi.” Cahaya baru hendak memutar tubuh dan meninggalkan rumah Ibu mertuanya ketika tangan Mas Fajri mencekalnya. “Mas anter pulang, ya ….” Sorot mata itu masih sama. Tatapan yang membuat Cahaya memilih pergi dari kehidupan dua lelaki masa lalu yang sama-sama keras kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD