Bab3

1063 Words
Cahaya kini berkutat di dapur. Dua gelas beras sudah ditanaknya di dalam alat penanak nasi. Ayam goreng untuk Kiran sudah selesai dia masak. Kini jemari lentiknya tengah sibuk mengiris tempe untuk dijadikan bacem. Sayurnya dia menumis kangkung. Aroma masakan menguar memanjakkan indra penciuman. Perut yang letih menahan lapar seolah disuguhi oleh godaan. Apalagi tubuh Cahaya terasa sangat lelah setelah seharian membersihkan rumah kakak iparnya. “Ma, di rumah Anneke, sudah banyak kue loh, Ma. Di rumah kita kok gak ada kue?” Suara Kirana yang muncul dari ruang tengah terdengar. Cahaya terdiam. Ingat masih ada sisa uang. “Iya, besok juga Mama mau bikin. Kiran mau kue apa?” Cahaya tak sampai hati memberi tahu yang sebenarnya jika mereka tak punya uang. “Wah, beneran, Ma? Mau bikin kue banyak juga?” Kiran begitu antusias dan bertanya dengan mata yang berbinar. “Enggak banyak, Sayang. Lebarannya ‘kan sehari doang. Satu toples saja cukup, ya.” Cahaya menoleh pada putrinya. “Kalau di rumah Anneke, kuenya banyak, Ma. Katanya suka banyak keluarganya yang datang. Kalau kita kenapa gak punya keluarga, sih, Ma? Kan biar Mama bisa bikin kue banyak.” Nyess! Ada yang terasa menusuk perih. Benar, semenjak jatuh miskin dan Mas Baska pergi merantau, dirinya memang seolah tak punya keluarga. Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah jauh berubah, berbeda sekali dengan ketika dirinya masih berjaya dulu. Mereka pun hanya memanggil kalau butuh bantuan saja. Andai Cahaya tak memiliki Bapak yang sudah sakit-sakitan, Cahaya dulu juga akan memilih ikut Baska merantau. Namun, tak tega melihat Ibu yang sudah sepuh harus mengurus Bapak sendirian. Cahaya anak semata wayang. Sementara itu, Baska merupakan anak bontot dan memiliki dua kakak perempuan. Ayahnya sudah meninggal dan hanya menyisakan Ibunya saja, karena itu, Mas Baska merasa jika tanggung jawab pada Ibunya pun sama besar, mengingat dua kakaknya hanyalah perempuan. Dulu sikap mereka baik, hanya saja … semenjak dirinya susah, semua menjauh. Benar seperti yang dikatakan Kirana, mereka sudah seperti tak punya keluarga. “Kita kan ada keluarga, Nenek sama Kakek. Nanti lebaran kita ke sana, kok!” “Keluarga kita, Kakek sama Nenek doang, ya, Ma?” Kirana datang mendekat dan duduk di sampingnya. Lalu mengambil irisan tempe dan hendak menyuapkannya. “Hush, ‘kan lagi puasa!” Cahaya memindahkan wadah tempe. “Tapi kata Anneke kalau lupa boleh, Ma. Dia kalau di sekolah pasti selalu lupa padahal pas mau beli jajan, Kiran ingetin, tapi katanya nanti saja ingetnya pas jajan esny sudah habis,” celoteh Kirana. “Kalau lupa itu gak sengaja, mana bisa inget kalau sudah es nya habis. Itu namanya pura-pura lupa. Kiran jangan gitu. Puasa itu adalah latihan kedisiplinan. Bagaimana kita belajar disiplin untuk menahan diri dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari. Menahan diri itu bukan hanya dari lapar dan haus, tapi juga dari perbuatan-perbuatan tercela lainnya. Puasa juga melatih kejujuran … karena orang-orang mana tahu kalau kita hanya mengaku-ngaku puasa, padahal seringnya pura-pura lupa kayak temen kamu itu. Selain itu, ketika kita puasa … kita belajar melatih empati kita, Sayang. Karena tak semua orang di dunia ini beruntung dan bisa kenyang makan setiap hari … ada yang setiap harinya harus menahan lapar hingga mendapatkan sepeser rupiah untuk membeli makanan.” Kirana hanya mengangguk-angguk dan memperhatikan tangan Cahaya yang kini tengah mengiris bawang. “Oh gitu ya, Ma? Kita masih beruntung ya, Ma, bisa makan tiap hari.” Kiran berucap dengan polosnya. Hanya senyum yang Cahaya ulas sebagai jawabannya. Andai putrinya tahu, seberapa keras dia berjuang untuk bertahan hidup selama empat tahun ini. Namun benar, semua masih harus disyukuri karena mereka masih bisa makan setiap hari. Hening, hanya suara pisau beradu dengan talenan sampai suara Kirana terdengar lagi. “Ma, Omanya Anneke itu kalau lebaran suka beliin baju. Omanya Kiran kok gak pernah, sih?” tanyanya. Cahaya beralih pada ikatan kangkung dan lekas membuang karet pengikatnya. Diirisnya kangkung itu, sedangkan isi kepala berputar memikirkan jawaban yang tepat untuk Kiran. Oma adalah sebutan Kiran untuk Ibu Mertua Cahaya atau orang tua dari Baska. “Hmm … gini … lebaran itu memang kembali semua baru, tapi itu artinya … setelah puasa sebualn penuh ini, diharapkan kita bisa jadi pribadi yang baru … yang awalnya solatnya cuma wajib saja, setelah Ramadhan selesai diharapkan bisa ditambah sunnah, yang biasa baca qur’annya satu ayat, setelah Ramadhan jadi satu juz, yang biasanya pelit sedekah, setelah Ramadhan diharapkan bisa jadi rajin. Semua baru … itu bukan berarti bajunya harus baru. Tapi kitanya yang baru lagi.”Cahaya mencoba mencari pemaparan sederhana agar bisa dipahami oleh Kirana yang usianya baru enam tahun itu. “Oh gitu … terus kenapa Mama juga beliin baju baru?” Pertanyaan Kiran membuat Cahaya terdiam. Kadang sebagai orang tua, tak dipungkiri kalau Cahaya sedih ketika melihat anak-anak yang lain pakai baju baru, sedangkan putrinya pakai baju lusuh yang bahkan sudah kekecilan. “Karena kan baju Kiran juga sudah kecil-kecil. Jadi kebetulan ada rejekinya pas mau lebaran, jadi beli, deh!” Itulah jawaban yang akhirnya Cahaya sampaikan. “Oh gitu?” Kiran mengangguk-angguk. “Kiran bosen, nih, Ma. Mau maen di depan dulu sambil nunggu adzan … siapa tahu pas Kiran maen, tiba-tiba ayah datang kasih kejutan! Kata Mama ‘kan nanti juga ayah akan pulang.” Kirana bangkit diiringi air mata cahaya yang jatuh. Selalu sedih ketika dia menanyakan terkait Baska. Sosok yang biasanya komunikasi hanya lewat gawai saja. Setiap lebaran, Kirana selalu berharap jika ayahnya datang dan memberinya kejutan. Wajar dia merindukan sosok ayah, sudah terlalu lama sosok itu menghilang dari memori kanak-kanaknya. Yang dia tahu hanya bayang, yang ditatapnya pada layar gawai. Seperginya Kiran, gawai Cahaya bergetar. Sepertinya kontak batin terjadi antara dirinya dan Baska. Suaminya itu langsung mengiriminya pesan. [Dek, Mas sudah kirim uang buat lebaran. Ambil ke rumah Mama, ya!] Cahaya hanya menghela napas panjang, lantas dia menjawab singkat pesan yang dikirimkan suaminya. [Iya, Mas.] Cahaya tak pernah bertanya nominal dan menuntut ini itu. Dia sangat tahu sebesar apa utang yang harus dilunasi suaminya karena kebangkrutan itu. Bukan hanya ratusan juta, tetapi hingga milyaran. Karena itu, dia tahu diri untuk tak meminta lebih. Bahkan hal itu juga yang menjadikan Cahaya tak punya nyali untuk bercerita pada Mas Baska jika Ibu Mertua dan kakak-kakak iparnya sudah sangat jauh berubah semenjak kepergian Mas Baska. Cahaya tak mau jika Mas Baska kebanyakan beban pikiran di rantau sana. Cahaya ingin utang-utang yang menggunung itu segera lunas dan suaminya bisa pulang dengan kedaan selamat dan berkumpul kembali bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD