Dipisah?

1139 Words
"Assalamualaikum Warahmatullah." Izzaz menolehkan kepalanya ke kanan sembari mengucapkan salam, kemudian melakukan hal yang sama saat menoleh ke kiri. Ia mengusap wajahnya dan beristighfar. Bibir Izzaz bergumam mengucapkan kalimat zikir sebagaimana yang selama ini ia lakukan setelah shalat. Kemudian setelah itu ia mengadahkan kedua tangannya ke atas untuk meminta kepada Allah. "Ya Allah, hanya kepada Engkau hamba memohon dan menyembah. Ampunilah dosa-dosa hamba, dosa-dosa istri hamba dan dosa-dosa saudara seiman hamba." "Ya Allah, selalu ridhoilah apa yang akan kami kerjakan dan lakukan ke depannya, jadikanlah segala kegiatan kami sebagai ladang pahala. Kami pasrah atas segala keputusan-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan tidak pernah tidur." Usai menutup doanya dan diakhiri dengan sujud yang lumayan lama, Izzaz pun melipat sajadahnya dan membawa Al-Qur'an ke atas ranjang. Ia menghampiri istrinya yang sejak tadi terbangun dan melihatnya beribadah. Dilara langsung mencium punggung tangan Izzaz begitu suaminya duduk di sebelahnya. Ia tersenyum sembari bersyukur dalam hati, di saat kebanyakan pria lain mungkin akan memilih tidur, suaminya tak lupa menjalankan kewajiban pada tuhan mereka. "Bacain kayak kemarin lagi, Mas. Aku selalu suka kalau dengar suara kamu mengaji," ucap Dilara. Izzaz mengangguk, ia memperbaiki posisi duduknya dan membuka Al-Qur'an yang tadi dibawanya. Ia membuka lembaran surah Al-Waqiah. "Audzubillahiminasyaitonirrojim." "Izaa waqa'atil waaqi'ah." "Laisa liwaq'atihaa kaazibah." Suara Izzaz terdengar merdu melantunkan surah tersebut, ia membacanya hingga habis satu surah. Sementara Dilara sendiri sangat setia mendengarkan ayat suci yang dilantunkan oleh suaminya, ia tak kembali tertidur. Hal ini telah menjadi rutinitas mereka di setiap sepertiga malam. Jika Dilara dalam keadaan suci, ia juga akan ikut mengaji bersama, tetapi jika seperti sekarang ia hanya akan mendengarkan suaminya. "Shadaqallahul-'adzim'." Surah yang terdiri dari 96 ayat itu selesai dibaca penuh penghayatan oleh Izzaz, ia menciumi Al-Qur'an yang telah dibacanya, kemudian menyimpannya di atas nakas dengan hati-hati. "Kalau surah Al-Waqiah itu termasuk surah Makkiyah atau Madaniyah, Sayang?" tanya Izzaz. "Termasuk dalam surah Makkiyah dong, Mas. Karena Al-Waqiah diturunkan sebelum Rasullullah berpindah ke Madinah," jawab Dilara cepat dengan percaya diri. Izzaz tersenyum seraya mengusap lembut rambut istrinya. "Alhamdulillah, pintar istri Mas." "Benar, seperti kata kamu tadi kalau surah Al-Waqiah termasuk dalam surah Makkiyah. Isi surah ini sendiri menerangkan tentang bagaimana hari kiamat nanti, juga gambaran orang-orang yang masuk ke neraka dan surga-Nya," jelas Izzaz. "Surah ini mengajarkan manusia untuk segera bertaubat sebelum kiamat datang, sebab ketika hari pembalasan datang apa yang akan terjadi, Sayang?" "Ketika hari kiamat telah datang maka pintu taubatnya Allah SWT akan tertutup. Sebagaimana dalam surah Al-An'aam ayat 158 yang kurang lebih menjelaskan bahwa keimanan yang datang setelah hari kiamat terjadi tidaklah lagi berguna jika dia belum beriman sebelum itu," jawab Dilara lagi. "MasyaAllah, Mas jadi tambah bangga dengan kamu. Istri Mas ini gak cuma cerdas dunia, berjiwa sosial, tetapi juga pandai dalam agama, insyaAllah kita bersama-sama meraih surga-Nya, ya?" puji Izzaz. "Aamiin." Mendapatkan Dilara dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah satu hal besar yang terus disyukuri oleh Izzaz hingga saat ini. Ia merasa bahwa Allah terlalu bermurah hati memberikan perempuan bidadari seperti Dilara pada dirinya yang masih banyak dosa. * Dilara menikmati hembusan angin yang menampar wajahnya dengan lembut, hingga menerbangkan ujung-ujung hijab yang ia kenakan. Mata mereka disuguhi dengan pemandangan laut yang luar biasa indah dari atas kapal. Di atas kapal bukan hanya ada mereka, tetapi juga ada beberapa orang lain karena mereka menaiki publik boat, bukan yang pribadi. Lagipula mereka tak ingin membuang-buang anggaran hanya untuk satu private boat, mereka juga bukan pejabat atau artis yang perlu ruang private. Berbaur dengan pengunjung dan warga lain justru menyenangkan. "Sayang, yuk duduk di bawah aja. Jangan di sini, nanti kamu masuk angin," ajak Izzaz lembut. Pasalnya istrinya itu sudah terlalu lama duduk si bagian depan kapal. "Iya, Mas," sahut Dilara seraya turun dengan hati-hati dengan bantuan Izzaz. Ia kembali duduk di sebelah suaminya dan bergabung bersama teman-teman mereka yang lain. "Segar, Mbak?" tanya Yoga yang melihat sejak tadi Dilara tak berhenti tersenyum. "Iya. Gini nih kalau anak kota kelamaan gak liburan, sekalinya liat laut berasa antusias banget," jawab Dilara bersemangat. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali berlibur saking sibuknya menuntaskan kuliah akhir-akhir ini. Ia saja baru diwisuda satu bulan sebelum menikah dengan Izzaz dan memperoleh gelar sarjananya. "Ngomong-ngomong maaf, Mbak ini lulusan SMA atau udah sarjana?" tanya Andre dengan hati-hati, takut kalau menyinggung. "Santai aja. Alhamdulillah saya baru aja lulus kuliah fakultas hukum," ucap Dilara. "Wih, calon pengacara dong, Mbak," sahut Indah yang juga mendengar pembicaraan mereka. Dilara hanya tersenyum kecil sebagai balasan. Ada sesuatu yang berdenyut di dalam hati kecilnya, ada sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang hatinya inginkan. "Tuh sebentar lagi kita sampai," ucap Dimas mengalihkan perhatian mereka. Tak jauh dari posisi mereka, terlihat sebuah pesisir berpasir putih yang indah. Bertambahlah semangat mereka berdelapan setelah melihatnya. Mereka tak bisa lagi membayangkan bagaimana indahnya setiap hari terbangun dengan pemandangan pasir putih dan deburan ombak yang menenangkan. Setelah empat jam berada di atas publik boat, akhirnya mereka meneliti di dermaga Lombok Utara. Namun, mereka belum benar-benar sampai di tujuan, mereka masih harus melakukan perjalanan darat ke tujuan, yaitu Desa Santong di Kecamatan Kayangan, Lombok Utara. Sesaat setelah turun dari publik boat, mereka langsung melanjutkan perjalanan menggunakan mobil yang telah disediakan. "Kamu mabok, Sayang?" tanya Izzaz sedikit berbisik yang melihat istrinya sedari tadi hanya berdiam menatap keluar jendela. Ia takut jika tubuh Dilara tak terbiasa menempuh perjalanan jauh dengan waktu yang lama. Seperti bagaimana Indah yang tadi sempat muntah karena mabok perjalanan. Dilara menggeleng kecil seraya menatap suaminya. "Gak kok, aku udah biasa jalan jauh gini. Kampung Mama kan jauh dan aksesnya juga lumayan susah, jadi perlu berjam-jam naik mobil kalau lagi mudik," cerita Dilara. Namun, ada yang berbeda dari ekspresi wajah istrinya dan Izzaz menyadari hal itu. Dilara tak seceria di kapal tadi, entah apa yang mengganjal hati istrinya. Tetapi ia juga tak bisa menanyakan langsung di depan banyak orang sekarang. "Yaudah, kalau kamu mual atau butuh apa-apa kasih tau Mas, ya? Jangan disimpan sendiri," ucap Izzaz yang lagi-lagi dibalas anggukan lemas oleh Dilara. "Kenapa, Mas? Mbak Dilara mabok juga?" tanya Dimas yang kebetulan duduk di sebelah Izzaz, sehingga posisi Izzaz berada di tengah-tengah Dimas dan istrinya. "Gak, Mas. Cuma mungkin ngantuk aja itu, makanya agak lemas," ucap Izzaz yang tak sepenuhnya berbohong. Lagipula Dilara memang tak mabok kan? "Bawa tidur aja, Mbak. Kalau perjalanan gini emang kerasa lama kalau diliatin," saran Dimas. "Nanti di sana baru kita ngobrolin tentang program kerja kita sama bagi beberapa tim juga. Oh iya, sebelumnya kalau Mas Izzaz dan Mbak Dilara dipisah gak apa-apa, kan?" "Dipisah bagaimana, Mas?" "Kelompok prokernya dipisah gitu. Kan Mas Izzaz ini masuk ke kelompok kesehatan, sementara Mbak Dilara kita fokuskan ke pendidikan jadi pasti bakal beda kelompoknya, gak apa-apa, kan?" ulang Dimas lebih jelas. Izzaz mengangguk. "Kirain saya dipisah rumah, Mas. Kalau dipisah kelompok doang mah gak apa-apa, asal jangan dipisah rumah aja." "Hahahahah, dosa dong saya Mas misahin rumah suami sama istri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD