"Selamat datang di desa kami, Bapak dan Ibu-ibu sekalian. Semoga kalian bisa betah ya di sini, kalau butuh apa-apa bisa minta bantuan saya saja."
Dimas menjabat tangan pria tua yang merupakan tetua desa yang akan mereka tempati untuk mengabdi. Sambutan ramah mereka terima dari para tetua desa maupun warga-warganya.
"Ini kami sediakan satu rumah yang lumayan untuk kalian pakai bersama-sama, kamarnya ada lima di dalam. Maaf kalau belum bisa sediakan yang lebih dari ini, soalnya di desa ini juga masih banyak keterbatasan," ucap Pak Sunar.
"Tidak apa-apa, Pak. Disediakan rumah ini juga lebih dari cukup bagi kami, nanti sepandai-pandainya kami saja lah yang atur kamarnya," jawab Dimas sopan.
"Yaudah, kalau begitu kalian bisa istirahat dulu hari ini. Besok saya akan datang lagi untuk menunjukkan lokasi-lokasi yang sebelumnya sudah dilihat oleh Pak Dimas bulan lalu," pamit Pak Sunar. "Saya pamit dulu, ya."
"Iya, Pak. Terima kasih."
Sepeninggalan Pak Sunar, Dimas pun menggiring yang lainnya untuk masuk ke rumah yang disediakan oleh Pak Sunar. Sekeliling dan seisi rumah tampak sudah dirapihkan sebelumnya, bahan makanan juga terisi dengan penuh di dapur.
"Nah, kamar di sini kan ada lima. Kamar pertama untuk Mbak Dilara dan Mas Izzaz aja, terus Mbak Indah dan Mbak Lia bisa barengan juga, kan? Sesama perempuan," ucap Dimas. "Saya sama Mas Yoga, Mas Andre biar sama Mas Irham aja."
"Kamar yang satunya lagi gimana, Mas?" tanya Yoga.
"Biarin kosong aja dulu, siapa tau nanti mau dipake barang-barang atau apa. Soalnya kalau saya sama Mas Irham kamarnya sendiri-sendiri gak enak, biar adil juga," ucap Dimas menyampaikan keputusannya.
Setelah mendapat pembagian kamar yang cukup adil menurut mereka, satu persatu pun mulai masuk ke kamar masing-masing dan membereskan barang-barang. Dilara dan Izzaz juga termasuk salah satunya yang sudah masuk ke kamar.
"Sayang, tadi kenapa?"
Dilara yang sibuk membereskan pakaian mereka dan memasukkannya ke lemari kayu pun menoleh. "Kenapa gimana, Mas? Aku gak apa-apa," jawab Dilara.
Izzaz menghampiri istrinya, ia menangkup wajah Dilara dengan kedua tangannya dan menatap lekat kedua mata istrinya. "Jangan bohong Sayang. Mas gak paksa kamu buat cerita, kalau emang gak mau cerita yaudah gak apa-apa. Tapi, Mas harap kamu bisa menjadikan Mas sebagai sandaran kamu."
Ibu jarinya mengusap pipi Dilara dengan lembut, kemudian naik untuk mengusap kepala istrinya. "Kalau kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal hati kamu, cerita sama Mas, ya? Jangan dipendam sendiri, nanti kamu yang sakit."
"Jangan menganggap bahwa Mas hanya sekadar suami yang harus kamu layani, tapi anggap Mas sebagai teman dan sahabat kamu juga," sambung Izzaz. Nada suaranya sangat lembut didengar oleh Dilara.
Dilara sontak memeluk Izzaz dengan erat. Awalnya sedikit kaget, tetapi Izzaz kemudian membalas pelukan istrinya dan mengusap punggung Dilara memutar dan memenangkan Dilara.
"Maaf, Mas," ucap Dilara sedikit bergetar.
"Gak, Sayang. Kenapa harus minta maaf sih? Orang kamu gak salah apa-apa kok harus minta maaf. Mas juga gak lagi marahin kamu, jadi jangan anggap kalau sekarang Mas lagi marah atau maksa kamu, gak," ucap Izzaz memperjelas maksud ucapan dan tindakannya.
Dilara mengangguk kecil di balik pelukannya. Ia menyembunyikan wajahnya di balik d**a bidang Izzaz.
"Mas gak maksa kamu cerita sekarang, tapi kalau kamu sudah siap kamu bisa cerita kapan aja," ucap Izzaz yang lagi-lagi diangguki oleh Dilara.
Ia melepaskan pelukan mereka, kemudian menghapus jejak air mata di wajah istrinya dengan lembut. Izzaz hanya maklum saja, apalagi Dilara sedang datang bulan, suasana hatinya tidak bisa diprediksi.
"Yuk Mas bantu beres-beres terus kita ngumpul sama yang lain bahas program kerja," ajak Izzaz.
Ia mengambil alih pekerjaan Dilara tadi dan menyusun pakaian mereka berdua di dalam lemari kayu beralaskan kertas kalender karena tampaknya lemari tersebut baru saja dicat.
Tak membutuhkan waktu lama untuk membereskan pakaian, keduanya pun keluar dari kamar bersama dan bergabung bersama Dimas, Yoga, Andre dan Irham yang sudah duduk lesehan beralaskan tikar di lantai.
"Berarti sisa nunggu Mbak Indah dan Mbak Lia, ya," ucap Dimas. "Kita tunggu bentaran lagi, ya. Kalau gak keluar-keluar saya panggil nanti.
"Gak usah dipanggil kita juga udah ada kok ini Mas," sahut Indah yang baru saja keluar bersama Lia.
"Mbak lama amat di kamar, ngapain aja sih? Kita udah lumutan nih nunggunya," ucap Yoga dibuat-buat.
"Alay, baru juga nunggu bentaran," balas Lia. "Mantan gue aja nunggu lima tahun biasa aja tuh, lo baru nunggu lima menit udah ngeluh. Laki bukan sih?"
Yoga membuat ekspresi seolah-olah ia baru saja diputuskan. "Mbak tega amat sih, pantesan masih jomblo."
"Kurang ajar," balas Lia seraya mengambil duduk di sebelah kiri Dimas.
"Udah-udah, sekarang kita mulai aja ya pembagian program kerjanya. Nanti kelewat malam terus kalian capek lagi, jadinya gak kondusif," ucap Dimas menengahi.
Jika sudah seperti ini, aura pemimpinnya benar-benar terlihat jelas. Berbeda ketika sedang dalam suasana bersantai, Dimas sangat pandai menempatkan dirinya.
"Jadi, bulan lalu saya sudah pernah meninjau lokasi dan keadaan di sini bagaimana bersama tim yang lain, dan atasan saya menyetujui ada tiga program kerja yang akan kita laksanakan di sini," ucap Dimas menjelaskan. "Oleh karena itu saya juga akan membagi kita menjadi tiga tim yang akan mengerjakan tiga proker berbeda, agar kerja kita lebih efesien dan efektif."
Semuanya mengangguk menyetujui usulan Dimas.
"Tim pertama yaitu Mas Irham dan Mbak Dilara, keduanya akan menjalankan program kerja di bidang pendidikan. Mengingat fasilitas dan sarana pendidikan di desa ini masih belum memadai juga guru-guru yang belum berpengalaman, kita akan membuat sekolah gratis untuk anak-anak di desa ini dan desa sekitar. Kita juga akan bekerja sama dengan guru-guru yang ada seandainya kekurangan tenaga pengajar," ucap Dimas menjelaskan.
"Untuk lokasi sendiri saya sudah berdiskusi dengan Pak Sunar dan beliau memberikan sebuah sekolah lama yang tidak terpakai, tidak jauh dari sini. Kalian bisa gunakan itu," sambung Dimas lagi. "Ada pertanyaan?"
Dilara dan Irham menggeleng bersama, tanda sudah mengerti semua perintah Dimas.
Selanjutnya laki-laki itu kembali melanjutkan pembagian program kerja yang sudah direncanakan sebelumnya. Dimas, Izzaz dan Lia berada dalam satu program kerja yang sama, yaitu bidang kesehatan, mengingat profesi ketiganya sama-sama di bidang kesehatan. Sementara Indah dan Yoga mendapatkan proker di bidang pertanian yang merupakan salah satu sektor mata pencaharian di desa itu.
"Mbak Dilara sama Mas Izzaz dipisah nih? Gak apa-apa gitu, Mas?" canda Yoga. "Masih pengantin baru, kasian loh Mas. Takut gak kuat pisah lama-lama mereka."
Mereka tertawa bersama-sama karena kekonyolan Yoga.
"Mas Izzaz sendiri bilang kalau dia siap dipisah kok, lagian bidang mereka ini beda banget. Gak mungkin bisa di satu proker yang sama," ucap Dimas. "Lagipula inilah salah satu risiko jadi relawan, harus siap ditempatkan di mana saja, salah satunya kalau harus pisah sama pasangan sekalipun."
"Susah ya Mas kalau punya pasangan sesama relawan?" sahut Lia.
*