Selasa Sial

1128 Words
Matahari di siang menjelang sore ini sedang terik-teriknya. Gianna sedang duduk di sebuah bangku panjang yang terletak di salah satu pohon nan rindang yang banyak ditemui di sekitaran kampus. Kali ini Gianna sendiri, Tasya sedang ada keperluan yang membuatnya tidak bisa menemani Gianna bersantai sekarang sebelum kelas selanjutnya dimulai. Menarik napas panjang, Gianna mengeluarkan sebuah notes yang hampir selalu ada dalam tasnya. Entahlah apa yang mampir di pikiran gadis itu, kini tangannya menulis rangkaian huruf demi huruf. Lebih tepatnya Gianna sedang mencoba untuk menuliskan apa yang ia pikir juga rasakan. Kemudian ingatannya kembali memutar kilas balik tentang kejadian kemarin atau lebih tepatnya saat Jeffry datang. Perkiraan Gianna jarang atau bisa dibilang hampir tidak pernah meleset. Apa yang ia khawatirkan benar. Jeffry marah akibat IP (Indeks Prestasi) milik Gianna semester lalu menurun dibanding semester-semester sebelumnya. Sebenarnya hanya selisih nol koma sekian dibanding semester lalu, tapi itu berhasil membuat Jeffry berang dan akhirnya memutuskan untuk mendatanginya. Kisah ini bermula sejak dosen pembimbingnya yang entah bagaimana ceritanya adalah salah satu kenalan ayahnya menghubungi sang ayah untuk meminta bertemu beberapa hari lalu. Gianna yakin bahwa dosennya itu tidak akan pernah memulai obrolan mengenai Gianna jika tidak ditanya lebih dulu oleh ayahnya. Asumsi Gianna berkata bahwa tujuan dari dosen pembimbingnya menemui Jeffry ialah untuk membahas sebuah pekerjaan atau apapun itu di urusan dunia orang dewasa, kemudian Jeffry secara basa-basi akan menanyakan perkembangan akademik Gianna dan ternyata malah mendapat berita mengejutkan ini. Ketika Jeffry datang kemarin, ia habis-habisan memarahi Gianna yang katanya terlalu menggampangkan perihal akademiknya. Tidak ada kata-kata apresiasi yang keluar dari bibir sang ayah, meski nilai Gianna termasuk salah satu yang cukup tinggi di antara teman sekelasnya yang lain. Karena bagi Jeffry, banyak orang hebat di luar sana terkecuali anaknya yaitu Gianna. Tanpa sadar air mata gadis itu menetes membasahi notes yang sedang ia pegang. Beruntunglah Gianna karena kawasan di sekitar pohon ini sedang sepi sekarang, jadi Gianna tidak perlu merasa malu untuk menangis. Awalnya Gianna mencoba menahan air matanya yang mendesak keluar, sampai akhirnya bahunya juga ikut bergetar akibat tak kuasa membendung air mata. Jadi hal terakhir yang bisa gadis itu lakukan ialah menangis mengikuti suara hati. Gianna lelah, Gianna lelah akan sikap menuntut ayahnya. Gianna lelah karena Jeffry tak bisa sekalipun melihat sejauh mana langkah yang sudah Gianna tempuh, alih-alih Jeffry hanya memikirkan bagaimana hasilnya harus berakhir sempurna dengan segala cara apapun yang akan Gianna tempuh, Jeffry tak peduli. Lama ia menangis sampai sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Pesan dari Tasya yang mengatakan sudah berada di depan ruang kelas mereka berikutnya dan tengah mencari dirinya. Tanpa menunggu lama Gianna langsung mengatakan akan menuju tempat Tasya berada, sebelum gadis itu berceloteh panjang lebar dan memutuskan mencari keberadaan dirinya. Gianna mengambil cermin kecil dari tasnya, lalu menghapus jejak-jejak air mata yang masih tersisa. Ia juga menepuk-nepuk pelan kedua pipinya yang terlihat merah beberapa kali, berharap bukti bahwa ia habis menangis bisa sedikit berkurang. "Semangat, Gi! Jagoan kok lemah," ucap Gianna bermonolog sebelum akhirnya bangkit meninggalkan kursi itu. Tanpa sadar tingkah gadis itu mengundang kekehan kecil dari seseorang yang sejak tadi berada tak jauh dari tempat Gianna berada. "My Gianna!! Dari mana aja sih lo?" Tasya yang semula duduk di depan ruang kelas menghampirinya dan langsung memasang wajah kesal, mungkin gadis itu kesal karena harus menunggu sedikit lama, Gianna memilih untuk ke toilet dan mencuci wajahnya terlebih dahulu sebelum menemui Tasya. Gianna terkekeh kecil, "Lebay banget lo, Sya! Udah kayak pacar gue yang nggak bisa ditinggal bentar." Mendengar ucapan Gianna membuat Tasya melotot dan memukul kepala sang sahabat pelan, "Nggak usah bawa-bawa pacar kalo lo sendiri jomblo, Nyet!" "Jomblo teriak jomblo," cibir Gianna. Kemudian disusul oleh protesan tak terima dari Tasya yang diabaikan Gianna. Gadis itu lebih memilih memasuki ruang kelas karena para mahasiswa yang memakai kelas itu telah selesai. *** Kelas berakhir dengan cepat atau setidaknya begitulah yang Gianna rasakan. Ia baru akan memutuskan untuk pulang saat Tasya dengan nada bossy-nya menyuruh Gianna dan teman sekelasnya yang lain untuk tetap duduk di tempat karena ada sedikit pengumuman yang akan gadis itu sampaikan. Sedetik kemudian Tasya dan dua teman mereka yang lain, di mana Gianna kenali sebagai anggota HMJ sama seperti Tasya sudah berdiri di depan kelas layaknya dosen yang siap memulai perkuliahan. "Halo guys! Sorry ya gue sama temen-temen di depan nyita waktu kalian bentar. Tapi ada sedikit info nih buat kita semua ...." Tasya membuka obrolan itu dengan sangat santai, seperti tipikal Tasya biasanya. Inti isi dari pengumuman itu ialah akan diadakannya agenda tahunan untuk mahasiswa tahun pertama yang diselenggarakan oleh HMJ. Acara itu berupa camp satu angkatan untuk jurusan Gianna selama tiga hari dua malam. Sebenarnya Gianna pribadi sudah tahu mengenai acara ini, berdasarkan pengalamannya tahun lalu karena ini merupakan agenda tiap tahun yang selalu dinantikan mahasiswa tahun pertama, tapi tujuan Tasya dan dua temannya yang lain berdiri di depan tak lain dan bukan ialah mencari relawan untuk menjadi panitia yang akan mengonsep acara tersebut. Ketika diminta angkat tangan untuk pihak yang bersedia tentu saja Gianna enggan melakukannya. Ia sedang tidak berada dalam suasana hati yang cukup bagus untuk dilibatkan dalam panitia sebuah acara. "Oke ini udah ada empat orang, kuota kita lima orang ya. Tinggal satu lagi nih," Tasya kemudian mengamati satu per satu nama yang sudah ditulis di papan tulis lalu ia mengernyit pelan, "Yaudah, pas kok lima. Sama Gianna ya satunya," tutupnya yang langsung menatap Gianna di mana gadis itu juga tengah menatap Tasya dengan mata melotot tak terima. Namun hanya dibalas Tasya dengan mengangkat kedua bahunya santai. Oh tidak, Tasya sudah positif gila! Well, Gianna memang menyadari hal itu dari lama tapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa kegilaan Tasya akan mencapai batas ini. Biasanya Tasya tidak akan mempermasalahkan jika Gianna tidak mau terlibat dalam suatu kepanitiaan, entah angin apa yang merasukinya kali ini hingga membuat gadis itu berpikir sedikit di luar logika atau setidaknya logika Gianna. Seusai ketiga temannya itu menyudahi acara mereka yakni mencari panitia untuk mewakili kelas mereka di acara itu, Gianna langsung memukul lengan Tasya dengan sekuat yang ia bisa. Hingga menyebabkan gadis itu mengaduh kencang dan berteriak histeris. Untungnya di kelas mereka hanya tersisa beberapa orang saja, jadi Gianna tidak segan melakukan tindakan yang bisa dibilang merupakan suatu kejahatan ini. Toh, teman-teman sekelasnya yang lain paham betapa gilanya kelakukan Tasya dan Gianna kadang. "Orang gila! Apa lo mukul gue? Sakit banget, anjir." Gianna melotot tak terima mendengar itu, "Lo yang orang gila! Ngapain bawa-bawa nama gue di kepanitiaan? Gue lagi males juga." "Biar lo kerja dan nggak mendekam mulu di kamar atau paling mentok jadi teman jalannya Keanu terus, Sis!" Tasya mengedipkan sebelah matanya ketika melihat mata Gianna makin melotot mendengar jawaban Tasya. "Ah rese lo, Sya. Tau ah gue mau balik, kesel gue sama lo." Tanpa banyak kata Gianna meninggalkan Tasya yang segera disusul oleh gadis itu sambil tertawa cekikikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD