Serba Serbi Gianna

1107 Words
Gianna menghela napasnya lelah ketika mendapati rumah yang menjadi tempat ia bernaung selama kuliah itu bak kapal pecah yang ditinggal nahkodanya. Seharusnya Gianna tak perlu berharap banyak pada Radika yang ia tinggalkan seorang diri di rumah mereka pagi tadi. Orang seperti Radika mana mau peduli dengan hal-hal remeh semacam mengurus rumah seperti ini. Prinsipnya adalah ketika masih bisa berjalan di atas lantai yang keramiknya tidak ditumbuhi rumput maka itu termasuk golongan rumah yang bersih. Ingin rasanya Gianna memberikan bogem mentah secara cuma-cuma pada adiknya itu. Namun sayang ia tidak bisa. Bukan karena Gianna takut, hanya saja memukul Radika yang badannya hampir dua kali lipat dari badannya itu membuat tenaga Gianna seperti tidak sebanding jika harus disandingkan dengan tenaganya. Dengan langkah gontai Gianna berjalan mendekati sofa yang berada tidak jauh dari pintu masuk, melemparkan tasnya dengan segenap tenaga, lalu mengucir rambutnya menjadi satu bagian. Tidak ada yang bisa Gianna lakukan lagi selain mulai membersihkan kekacauan ini. Ya, setidaknya itulah hal paling waras dan paling masuk akal yang bisa ia pikirkan sekarang dibanding harus memikirkan bagaimana cara melenyapkan sang adik dari muka bumi. Baru beberapa menit Gianna mulai menyapu ketika pintu kamar mandi terbuka dan menampilkan sosok Radika yang terlihat segar dari sana. "Loh, Gi? Padahal gue baru mau nyapu abis mandi ini," Radika berbicara sembari mengeringkan rambutnya dengan sebelah tangan yang memegangi handuk kecil. "Alasan." "Gerah tau, Gi. Makanya gue mandi dulu." Gianna melirik Radika tajam, bukannya tidak tahu adiknya memang akan selalu mencari pembenaran akan tindakan yang ia lakukan. Gianna sangat hapal dan itu sudah di luar kepalanya, "Kebanyakan alasan emang hidup lo, Dik!" Diam-diam Radika mencibir sikap Gianna, apalah daya Radika yang selalu salah di mata sang kakak yang maha benar. Radika terlambat menyapu rumah, dibilang tidak berguna. Radika terlihat bermalas-malasan, dibilang tidak punya tujuan hidup. Radika terlambat mencuci piring dan alat masak lainnya ketika Gianna memasak, dibilang lelet. "Tadi lo ke kampus naik apa?" Radika bertanya setelah membiarkan keheningan menyapa mereka selama beberapa saat. "Nggak perlu kepo!" "Ya Tuhan gue salah mulu, gue nanya serius padahal," gerutu Radika sambil memungut sampah-sampah bekas makanan ringan yang tercecer di rumah ini. Siapa lagi pelakunya jika bukan dirinya sendiri. Memilih bungkam, Gianna kembali meneruskan kegiatannya untuk menyapu rumah. Sehabis ini ia akan tidur siang dan tidak akan berniat bangun dari kasur setidaknya sampai matahari mulai turun dari singgasananya. Perihal perut bisa dipikir nanti, karena Gianna sadar betul bahwa badannya sangat amat membutuhkan kasur sekarang. Melihat keterdiaman Gianna mau tak mau membuat Radika sadar jika apa yang ia lakukan kali ini sedikit keterlaluan. Ia tahu bahwa tadi malam sang kakak itu hanya tidur beberapa jam atau bahkan tidak tidur, entahlah sebab Radika hanya mengeceknya sekali karena bertempur dengan tugas, tapi ia malah membuat kekacauan di rumah mereka pagi ini. Beberapa saat setelahnya Gianna telah menyelesaikan tugasnya. Lalu gadis itu mengambil tas yang tadi ia taruh sembarangan di sofa dan melangkah menuju kamarnya tanpa ada percakapan lagi dengan Radika. Melihat wajah Radika hanya menyulut emosinya saat ini, oleh sebab itu Gianna memilih mengabaikannya dan bersikap seolah mereka tidak pernah saling kenal sebelumnya. *** "Gi!" Seruan itu membuat kesadaran Gianna perlahan kembali. Tak lama kemudian pintu kamarnya diketuk beberapa kali dengan cukup nyaring, disusul dengan munculnya kepala Radika dari balik pintu kamarnya yang dibuka sedikit. Gianna yang nyawanya masih tidak terkumpul sepenuhnya hanya bisa mengernyitkan alisnya seraya menatap Radika lama, seolah mengisyaratkan bahwa ia sedang bertanya tanpa suara maksud kedatangan adiknya itu. "Papa nelpon lo tapi nggak diangkat katanya, hp lo mana?" tanya Radika, matanya memindai seisi kamar Gianna bermaksud menemukan ponsel yang menjadi alasan mengapa sang ayah meneleponnya sore ini dan langsung menginterogasi Radika mengenai keberadaan Gianna. Mendengar hal tersebut membuat Gianna mengerang pelan. Sedikit menggerutu karena tidurnya diganggu oleh kabar yang dibawakan Radika. Dengan asal ia meraba-raba bagian bawah bantal tempatnya tidur dan menemukan ponselnya di sana. Seketika itu juga matanya menyipit ketika terang cahaya dari layar ponsel menyapanya. Di sana terdapat beberapa notifikasi dari berbagai aplikasi, salah satunya terdapat lima panggilan tak terjawab dan tiga pesan tak terbaca dari ayahnya. Papa: Dimana? Papa: Gianna Papa: Angkat telfon papa Tanpa sadar Gianna menahan napasnya sesaat, tahu bahwa sepertinya posisinya tidak aman sekarang. Gianna menggigit bibir bawahnya cemas, berusaha merangkai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Ketika ia dapati bahwa ponselnya kembali bergetar dan menampilkan nama 'Papa' sebagai identitas penelepon membuat Gianna menarik napas kemudian mengembuskannya secara perlahan. "Halo, Pa?" Ada jeda yang terdengar ketika Gianna berhasil mengatakan salamnya pada sang ayah. "Ya, Gianna," sahut Jeffry atau nama asli ayah Gianna dengan suara yang terdengar tenang. Bahkan bisa dibilang terlampau tenang, tanda bahwa keadaan semakin darurat, setidaknya itu yang Gianna yakini. "Semester baru sudah dimulai 'kan?" Jeffry kembali bertanya, masih mempertahankan nada suaranya. Gianna mengangguk secara refleks, hingga akhirnya ia sadar bahwa saat ini ia sedang terhubung via panggilan telepon. Tentu saja Jeffry tidak bisa melihat respons spontan yang ia berikan tadi. "Iya, Pa. Ini baru dua minggu mulai jalan." "Pulang, Gianna. Kita perlu bicara." Gianna menggenggam erat ponsel yang sedang ia pegang, "Besok Gianna kelas jam sepuluh, Pa. Can we talk on saturday or maybe sunday?" tanyanya mencoba menawarkan sebuah solusi agar ia tak perlu berangkat pagi buta dari rumah ayahnya. "I’m going home now, Gianna. Kita bicara begitu Papa nyampe rumah.” Setelah itu panggilan diputus secara sepihak oleh Jeffry. Gianna berharap hari ini cepat berlalu, atau kalau itu terlau berat untuk dikabulkan maka Gianna akan mengganti permintaannya menjadi semoga pertemuannya dengan sang ayah segera berlalu. Seolah teringat akan suatu hal, Gianna bergegas bangkit dari kasurnya dan berjalan keluar kamar. Ia harus mencari Radika sekarang. Setidaknya Gianna harus memastikan kalau Radika tetap berada di rumah ketika Jeffry tiba. Namun nampaknya nasib baik memang jarang berdamai dengan Gianna. Sudah mencari ke seluruh penjuru rumah tapi ia tidak juga menemukan keberadaan Radika. Harapan terakhir akhirnya adalah ketika ia mengirim pesan untuk Radika, yang dibalas tepat satu menit setelah Gianna mengirim pesan tersebut. Radika: Gue lg di luar Gi Radika: Knp? Oke, baiklah. Hal yang bisa Gianna lakukan sekarang ialah tetap tenang dan semangat. Berulang kali ia mengulang-ngulang kata penyemangat dalam otaknya agar tidak terlalu gugup. Toh, yang akan ia temui sekarang ialah ayahnya. Jeffry memang tidak tinggal satu rumah dengannya dan Radika. Ayahnya itu memang masih menetap di sekitaran Jakarta, namun jarak antara tempat tinggal mereka itu bisa memakan waktu dua jam perjalanan. Jadi Gianna dan Radika memutuskan untuk meninggali sebuah rumah satu lantai yang berukuran cukup luas, rumah ini dulunya adalah rumah ayah dan ibunya ketika baru pertama kali menikah, setidaknya itulah kisah yang selalu disampaikan kepada Gianna ataupun Radika sebelum akhirnya mereka membeli rumah yang kini ditempati Jeffry seorang diri atau kalau para pengurus rumah tangga tidak dihitung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD