Jane Harit Thanappond

1870 Words
“Khop khun, khrap,” ucap Rain. Rasanya, ucapan terimakasih karena Nicky sudah memilih tempat yang indah ini untuk mereka jelajahi tidaklah cukup. Rain rela membayar mahal karena sahabatnya itu sudah memberikan kebahagiaan dan membuat sang istri begitu bahagia. Nicky tidak menjawab. Sebaliknya dia menatap lurus ke depan, wajahnya memucat, dia melirik Rain sekilas. Mengundang pria itu untuk berbalik dan melihat apa yang Nicky lihat. Keduanya bertatapan seakan-akan berbincang lewat tatapan mata, membuat Tia yang sedang menyeruput minuman kebingungan dibuatnya. Seorang perempuan dengan rambut pink pastel sombre ala-ala idol K-Pop berdiri kira-kira dengan jarak tiga meter dari tempat rain duduk saat ini. Rain berpaling, berharap perempuan itu tidak melihat keberadaan mereka. Pun dengan Nicky, sayangnya terlambat. Gadis yang terlihat nyentrik dengan setelan kaus berwarna putih bergambar kaktus, dipadukan dengan rok jeans skinny serta menggunakan sepatu bertema loafers warna hitam itu sudah melihat Nicky terlebih dahulu. “Aw, Phi Nicky, Mai dai teu gan nan lei na.” Gadis itu menyapa Nicky, mengungkapkan bahwa mereka lama tidak berjumpa. “Sawatdii khrap, Jane.” Hanya itu yang mampu Nicky ucapkan seraya tersenyum kaku. “Waddii, Kha, Phi. Sabai dii mai, kha?” “Phom sabai dii, khrap.” Nicky menjawab bahwa dia baik-baik saja. Rain memejamkan mata, dia masih duduk membelakangi Jane. Tia tersenyum melihat interaksi Nicky dan Jane. Ah ... pasangan serasi, pikir Tia. Nicky tampan dan perempuan itu teramat rupawan. Mirip seperti personil girlband dari korea. “Sendirian?” tanya Jane dalam bahasa Thailand. “Aku bersama dia,” jawab Nicky. Barulah Rain mengangkat wajahnya. Hal pertama yang dia lihat adalah bola mata indah milik Jane. Rambutnya yang dulu hitam legam kini sudah berubah. Dengan netranya Rain menangkap tato di lengan kiri Jane. “Rain.” “Jane. Sawatdii khrap.” “Waddi. Kamu berbeda, Rain. Badanmu tampak berisi, masih rutin nge-Gym kah?” Dengan Riang Jane bertanya. Rain tidak pernah menyangka akan bertemu Jane secepat ini, terlebih lelaki itu sedang bulan madu bersama sang istri. Tia menatap interaksi ketiga orang berbahasa Thai tersebut. Dia berusaha menerjemahkan raut wajah Nicky juga senyum Rain yang terlihat sangat terpaksa. Namun, lelaki yang kini menjadi suaminya tersebut memiliki sorot mata yang sulit untuk di artikan. Tia lebih memilih memalingkan wajah. Steak house yang tadi sepi kini mulai dikunjungi beberapa wisatawan. Dari sekian banyak meja hanya ada satu meja kosong tepat di sebelah pintu masuk. Dia melihat tanduk rusa, serta lampu-lampu gantung yang pernah dia lihat di film-film koboi dari Hollywood. Jane menduduki salah satu kursi kosong tepat di sebelah Nicky. Posisinya persis berhadapan dengan Rain. Dia begitu riang Tia dapat melihat pancaran kebahagiaan dari gadis yang memiliki kulit putih dan mata sipit tersebut. “Jane, khun khao keu phanrayaa phom,” ujar Rain. Tangannya sengaja dia lingkarkan di bahu Tia. “Ngomong apaan, Bang?” bisik Tia. “Abang bilang kamu adalah istri Abang, yang paling cantik,” jawab Rain, lantas lelaki itu mengecup ujung hidung Tia, membuat pipi perempuan itu merona karena malu. Keduanya tidak menyadari, ada yang terluka melihat kemesraan tersebut. “Miia?” tanya Jane. “Khrap, kami baru saja menikah.” Wajah Jane memucat, Nicky berubah menjadi gugup. Sementara Tia dengan senyum khas nya terlihat begitu manis. Alunan lagu yang terdengar di steak house tersebut tiba-tiba berubah menjadi lagu sedih. Seakan mengerti bahwa seorang perempuan baru saja terluka. “Congratulations, kho thod, can tong pai leew.” Usai mengucapkan selamat, Jane berdiri dan berpamitan. Karena tergesa perempuan keturunan Tionghoa tersebut menyenggol gelas hingga tumpah membasahi pakaian Nicky. Pria itu refleks berdiri. “Kho thod, kha,” sesal Jane, dia merogoh sehelai sapu tangan dari dalam tas. Tangannya terlihat gemetar ketika membersihkan kaus yang dikenakan Nicky. “Mai bpen rai.” Usai mengatakan tidak apa-apa, Nicky meraih tangan Jane kemudian membawa perempuan itu keluar dari steak house. *** Hari sudah gelap saat Tia dan Rain tiba di hotel. Tia melepas pashmina yang seharian dia kenakan, kemudian membiarkan rambutnya yang lepek karena berkeringat tergerai begitu saja. Sedangkan Rain berdiri menghadap balkon. Pemandangan yang bisa dia saksikan hanyalah temaram dengan deretan lampion yang berkilau dari kejauan. Tia pamit untuk membersihkan diri, Rain hanya mengangguk. Sejak bertemu dengan Jane perangainya berubah. Lelaki itu lebih banyak diam. Tia berusaha menebak apa yang ada dalam pikiran sang suami. Sia-sia, tidak ada petunjuk apa pun. Hanya wajah Rain yang terlihat semakin gelap. Seperti gulita dari petang hingga penghujung malam. Penuh misteri. “Abang,” sapa Tia. Rain terperanjat. Lekas-lekas dia melingkarkan tangan pada tubuh mungil sang istri, harum shampo terhidu begitu manis. Membuat lelaki itu enggan melepaskan diri dari pelukan yang menenangkan itu. Perempuan manis dan terjaga, dia hanya membuka diri untuk suaminya saja. Dan Rain merasa sangat beruntung menjadi orang yang akan mendampingi Tia hingga ujung usia. Sosok yang selalu ceria, yang selalu menghadirkan tawa dan menghidupkan kembali hati Rain yang dulu telah mati. Sayangnya, Rain menyesal, mengapa orang dari masa lalu harus hadir mengusik kebahagiaan yang baru saja dia rajut. Rain merasa sangat bersalah ketika melihat kekecewaan terpancar dari wajah Jane kala mengetahui dirinya telah menikah. “Bang,” panggil Tia untuk yang kedua kalinya. “Abang melamun?” “Tiara, Abang hanya lelah. Tidurlah, abang mau mandi. Perjalanan kita esok hari masih amat panjang.” Rain melangkah masuk menuju kamar mandi, meninggalkan sang istri yang diam karena kebingungan. *** Sudah tengah malam. Tia masih saja gelisah, dia tidak dapat memejamkan mata. Acara televisi sama sekali tidak membuatnya terhibur. Terang saja, stasiun televisi menayangkan acara lokal. Tanpa terjemahan. Lewat dua puluh menit dari tengah malam. Tia menghampiri nakas samping tempat tidur, meraih gawai dan mulai bermain candy crush. Menyelesaikan level 550 yang terlupakan setelah dia menikah. “Tiara? Kamu sedang apa?” Rain mengagetkan Tia yang sedang konsentrasi menyelesaikan permainan. Telepon pintarnya terlempar hingga jatuh. Untung saja, lantainya beralaskan karpet tebal dan empuk sehingga gawai dibeli dari hasil mengajar baik-baik saja. “Astagfirullah, Bang,” protes Tia. Rain merengkuh tubuh sang kekasih. Memberikan pelukan yang menhantarkan aliran listrik dalam tubuh Tia. Lagi dan lagi. “Sudah larut, kenapa belum tidur?” “Gak bisa, udah usaha dari tadi tapi kantuk tak kunjung datang,” keluh Tia. Dia mencium aroma tubuh Rain yang membuat dadanya berdesir halus. Menikah itu indah. Tia bahagia, dia tersenyum dalam dekapan hangat sang suami. “Kho thod, na. Abang lelah, tadi langsung tidur gitu aja.” “Mai bpen rai, Bang.” Netra sepasang sejoli itu bersirobok, keduanya tersenyum lantas sama-sama mengeratkan pelukan. Jarum jam yang berdetak meningkahi syahdunya malam itu. Dari luar, suara binatang malam laksana kidung yang begitu merdu. Mengantarkan kembali sepasang pengantin itu pada perjalanan meniti rasa anugerah dari Yang Maha Kuasa. Sayangnya, romansa yang mereka rajut diinterupsi oleh dering telepon. Pasti ada sesuatu yang terjadi hingga mendorong seseorang menelepon lewat tengah malam. “Angkat saja, Bang. Khawatir emergency.” Tia mendorong bahu Rain yang kekar. Dengan malas, Rain bangkit, dalam hati dia berkata, “Awas saja kalau tidak penting!” Tampak sederet angka tanpa nama. Hanya saja Rain kenal betul dengan angka-angka tersebut. Bertahun-tahun dia bersama dengan pemilik nomor tersebut. Ingin rasanya tidak menjawab panggilan tersebut, seperti apa yang Tia katakan, bagaimana jika terjadi sesuatu yang sifatnya darurat? Sesaat setelah menggeser tombol hijau pada layar ponselnya, Rain mendengar suara Nicky di ujung sambungan. “Jane mabuk berat. Dan aku tidak mendapatkan taksi,” papar Nicky. “Di mana kalian sekarang?” Siang tadi, mereka berpisah di steak house. Nicky memilih mengikuti Jane dan menyerahkan kunci mobil pada Rain. “Baar, mai glai caak roong reem.” Lelaki itu menyebutkan di mana dia dan Jane kini berada. Tepatnya di sebuah Bar yang lokasinya tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Rain menutup telepon. Lalu menceritakan apa yang terjadi pada Nicky. Hanya saja, dia menyembunyikan kenyataan perihal keadaan Jane. Bukan berbohong atau menutup kebenaran, lelaki itu pasti bercerita. Hanya saja tidak sekarang. Jika siap. Suatu saat nanti. Tia menyerahkan kaus serta jaket, memberi dorongan pada Rain untuk menjemput Nicky. Suntikan semangat Tia berikan melalui kecupan ringan pada bibir serta kening Rain. Maafkan aku. Bisik batin Rain. *** “Mii gan cong reu mai?” Petugas yang berjaga persis di depan pintu masuk bar bertanya dengan ketus. Lalu rain menjelaskan, dia tidak reservasi. Kedatangannya hanya menjemput temannya yang sedang mabuk berat. Sempat terjadi ketegangan, hingga akhirnya Rain diizinkan masuk setelah manager Bar mempersilakan. Rain memasuki sebuah bar yang megah, walau cahaya di dalamnya remang-remang, lelaki itu bisa melihat betapa indahnya seluruh ruangan yang didominasi warna coklat kayu tersebut. Terdapat beberapa meja. Yang berukuran besar bentuknya bulat dengan enam kursi yang mengelilinginya. Ada pula meja yang berbentu persegi, empat kursi yang dengan jok dan sandarannya yang unik menambah kesan manis. Di pojok dekat bar, terdapat seorang perempuan dan laki-laki. Namun, bukan mereka yang Rain cari. Hari sudah sangat larut, tetapi pengunjung masih betah menghabiskan malam. Terdengar alunan musik yang lembut. Rain melirik lebih dalam, terdapat lantai dansa. Beberapa pasangan saling merapatkan tubuh dan bergerak seirama dengan musik. Lelaki itu merogoh kantong dan mengambil gawainya. Belum sempat menyambungkan telepon, Nicky melambaikan tangan dari pojok ruangan. Lalu dia menghampiri. Jane masih dengan pakaian yang sama, terbaring lemah pada sofa. Dari mulutnya tercium bau alkohol. “Sekarang bagaimana?” tanya Nicky. Rain mempertimbangkan. Segala kemungkinan bisa terjadi, satu-satunya kemungkinan yang tidak dia inginkan adalah rusaknya biduk rumah tangga yang baru saja dia bangun. “Phi Rain,” racau Jane. “Chan raak khun, na. Chan kidteung khun.” Rain tertegun mendengar ucapan Jane, benarkah gadis itu masih mencintai dan merindukan dirinya? Kenapa dia harus kembali justru ketika rasa yang Rain miliki sudah dia berikan pada perempuan lain. Perempuan yang kini sedang resah menunggu kedatangannya di kamar hotel. “Dari tadi dia terus-terusan sebut nama kamu, Rain,” ujar Nicky. “Ayo, antarkan dia,” ajak Rain. lelaki itu mengangkat tubuh Jane yang ringan. Mati-matian untuk tidak menatap wajahnya yang sedang terlelap. Wajah yang dulu pernah dia kagumi. “Biar aku yang nyetir, Rain,” ucap Nicky. Rain menggeleng. Setelah menidurkan Jane pada jok belakang lelaki itu bergegas duduk di belakang kemudi. Nicky menyerah. Dia pasrah duduk di samping Rain. Karena tidak tahu harus membawa gadis itu ke mana, Nicky dan Rain membawa Jane ke sebuah hotel tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap. Rain menolak membawa sang mantan untuk menginap satu hotel dengannya. Selain khawatir mengacaukan bulan madu mereka, Rain ingin usahanya melupakan gadis itu berjalan lancar. Jane menggerutu, sesaat kemudian dia menangis dan meracau. Rain menidurkannya dengan hati-hati. Namun, sesaat kemudian perempuan itu bangkit. Meski tidak seimbang dia berusaha untuk duduk hingga sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Perempuan itu memuntahkan isi perutnya persis pada tubuh Rain. Kepanikan terjadi. Jane yang setengah sadar masih mampu meminta maaf. Rain bergegas menuju kamar mandi membersihkan sisa muntahan yang begitu menjijikan. Tia sudah tertidur pulas saat Rain tiba di hotel. Tubuhnya bergelung persis seperti bayi. Dengan sangat hati-hati lelaki itu menutup tubuh sang istri dengan selimut. Rain membuka pakaiannya yang kotor terkena muntahan Jane. Meski sudah dibersihkan di kamar hotel Jane, lelaki itu tetap merasa tidak nyaman. Rasa lelah yang biasanya menggiringnya untuk tidur pulas kini tidak berarti. Dia tetap membuka matanya, hingga subuh tiba. Pria itu terus diserang berbagai pikiran dalam benak. Apakah hanya kebetulan atau sudah suratan takdir. Lelaki itu bertemu kembali dengan gadis yang mengabadikan namanya dengan tato tepat di pergelangan tangan kirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD