Bulan dan Madu

2128 Words
“Semua sudah siap?” tanya Rain. Tia mengangkat koper tidak lupa menunjukkan ransel kecil berisi dompet, gawai, kacamata dan beberapa barang. Sengaja menyimpannya terpisah agar mudah dijangkau. Rain mengenakan kemeja biru muda dengan lengan dilipat hingga sikut. Dua kancing bagian atas dibiarkan terbuka. Dipadankan dengan celana berwarna mocca yang panjangnya sebatas lutut. Lelaki itu lantas menyambar kacamata hitam serta kunci mobil yang tersimpan di atas nakas. Sementara itu, Tia memakai tunik warna senada dengan kemeja yang Rain kenakan. Phasmina hitam dibiarkan menjuntai menutup d**a. Kali ini dia mengenakan flat shoes berbahan kulit domba, sengaja dia bawa dari Garut. Oleh-oleh dari Sukaregang, kawasan industri kerajinan berbahan kulit di kota kelahiran Tia. Dia ingat betul, membeli sandal ini bersama Kania. Sahabatnya waktu mengajar di Sekolah Dasar Negeri di sana. “Khao Yai, jauh?” tanya Tia. Rain mengangguk, waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Perjalanan dari Bangkok ke Khao Yai sekitar tiga sampai empat jam. “Di sana sangat indah, Tiara pasti suka. Kalau sudah selesai ayo,” ajak Rain. Lelaki itu mengangkat koper dan membiarkan sang istri berjalan lebih dulu. Tia tersenyum semringah, langkahnya ringan seperti biasa. Seolah tanpa beban. Rain gemas, dia selalu mengingat pertama kali mereka bertemu di bandara. Sayangnya langkah Tia yang ringan tadi mendadak berhenti, seakan ada jerat yang mencegah kaki kecil itu melangkah lebih jauh kala melihat Nicky tersenyum menyender pada mobil Rain. “Arun sawat, Tiara.” Nicky menangkupkan tangan. Tersenyum sangat manis, pria berkebangsaan Thailand itu terlihat begitu keren dengan balutan kaus hitam dan celana denim warna biru pudar. Tia menoleh ke arah sang suami, memberi tanda bahwa dia tidak mengerti apa yang Nicky katakan, atau mengapa Pria itu ada di sini. Mau mengacau, acara bulan madu mereka? “Dia aku jadikan sopir,” ucapnya seolah mengerti kebingungan Tia. Dari awal, Tia tidak suka pada Nicky. Namun, perlahan dia mengerti. Namanya juga sahabat, seperti dia dan Kania dulu. “Dia juga bilang selamat pagi, Tiara.” Rain melanjutkan lalu melempar kunci mobil dan langsung ditangkap dengan sigap oleh Nicky. “Oh, good morning, Phi,” jawab Tia, dia membalasnya dengan menggunakan bahasa Inggris. Phi dalam bahasa Thailand berarti Kakak. Sejak awal, Rain membiasakan Tia agar memanggil sahabatnya dengan sebutan Phi. Nicky mengacungkan kedua ibu jari nya. Lalu duduk di belakang kemudi. Benar-benar seperti sopir karena Rain lebih memilih untuk duduk di kursi penumpang bersama kekasih hatinya. Sekalipun Tia memberikan izin semisal Rain ingin duduk di depan. “Dia ikut menginap, karena tanpa dia Abang bisa tersesat karena tidak mengerti dengan daerah sana.” Dalam bahasa Inggris yang fasih Rain menjelaskan. Sekalipun mengerti dan bisa berbahasa Indonesia, dia memilih menggunakan bahasa Inggris demi menghargai Nicky. Salah-salah dituduh menggosipkan lelaki berkulit cerah yang asik bersenandung sambil menaklukkan jalanan. “Oke,” balas Tia. Satu kata cukup untuk menunjukkan rasa tidak suka. Mereka berangkat tepat pada pukul enam pagi. Keluar dari Bangkok jalan yang dilalui mirip jalan tol yang sangat mulus. Mobil melintas melewati daerah industri, beberapa rest area juga pompa bensin, beberapa kali Rain menawarkan Tia untuk pergi ke toilet. Wanita muda itu hanya menggeleng dan memilih memejamkan mata. SUV milik Rain yang dikemudikan Nicky melaju menjelajahi Pahonyothin Road, meninggalkan ibukota Thailand, menuju daerah Pak Chong. Tia terbangun ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah pelataran parkir. Kala kelopak matanya terbuka perempuan dengan balutan pasmina warna hitam itu melihat wajah sang suami yang tersenyum sangat manis. Paha Rain menjadi pengganti bantal. Seingat Tia, dirinya tidur sambil menyandarkan kepala di bahu kokohnya Rain, bukan paha. “Kho thod na, Kha,” ucap Tia. Dia bangun lalu menguap sebentar, meregangkan tubuh tanpa rasa malu. Inilah Tia, yang selalu bebas menjadi diri sendiri. Tidak perlu repot-repot menjadi orang lain. “Tidak perlu minta maaf, apa pun akan Abang lakukan asalkan kamu nyaman, Sayang.” Tia tersipu. Setelah menikah, Rain selalu membuatnya merasa istimewa. Berbeda dengan Irman. Ah lelaki itu, kenapa melintas dalam pikiran Tia saat ini, apakah semesta menginginkan Tia untuk bercerita mengenai Irman pada Rain? Bukankah Tia berjanji akan menceritakan lelaki yang membuatnya menangis di hari pernikahan Tia dan Rain? “Rao maa thong thii rong reem, ” ucap Nicky. Benar saja, mereka sudah sampai, Lelaki itu bergegas turun dari mobil, menikmati sinar matahari yang hangat dipadukan udara yang begitu sejuk. Rain menyampaikan apa yang Nicky katakan kepada Tia, bahwa mereka sudah tiba di hotel. Tia mengangguk lalu dengan tidak sabar dia keluar dari mobil. Serta merta hawa yang sangat segar mengisi paru-parunya. Seakan baru pertama kali Tia menghirup udara seperti ini. Kicau-kicau burung meningkahi suasana saat itu. Saat matahari merangkak naik menuju puncak kulminasi. Resort yang akan mereka tempati merupakan hotel bintang tiga dengan fasilitas restoran dan kolam renang outdoor. Nicky memilih tempat ini karena dekat dengan kawasan wisata yang akan mereka kunjungi. Rencananya setelah chek in dan menyimpan barang bawaan mereka akan bertolak menuju Choc Chai Farm. Di sini mereka akan melihat peternakan terbesar kedua di Asia. Rain dan Tia memasuki satu di antara empat puluh delapan kamar yang berada di hotel tersebut. Kamar yang ternyata merupakan VIP Room itu terdiri dari satu tempat tidur king size. Lengkap dengan pendingin ruangan, televisi yang terletak persis di depan tempat tidur. Dengan nakas yang terlihat sangat classic. Terdapat sebuah balkon dengan view hamparan rumput hijau serta pepohonan yang rimbun dan perbukitan. Dua buah kursi serta meja kayu disimpan di balkon tersebut. Tia membayangkan pagi-pagi dia menemani Rain minum kopi sambil menikmati embusan angin yang teramat memanjakan mereka. Puas menikmati keindahan pelataran hotel dari balkon, Tia menyisir ruangan. Melihat kamar mandi yang tidak begitu luas, tetapi terlihat mewah. Tia tidak akan menyangka jika ini adalah hotel bintang tiga. Penampakannya serupa dengan hotel bintang lima yang pernah dia singgahi di tanah air. “Sayang, lapar?” Rain bertanya, tangannya yang putih dan berurat hasil dari rajin berolah raga, melingkari perut tia dengan lembut. “Kok tahu?” “Istriku memang selalu lapar, bukan?” goda Rain. Tia mendengkus kesal lalu melepas tangan Rain dan menjauh dari sisi suaminya. Tia melemparkan tubuhnya sendiri di atas tempat tidur pegas yang super empuk. Lalu berguling mengitari tempat tidur yang berukuran 180 kali 200 cm tersebut. Rain membatin, mengapa sang istri suka sekali berguling di tempat tidur seperti itu. Beberapa kali lelaki itu mendapati kebiasaan istrinya yang sangat lucu dan menggemaskan tersebut. “Rapikan pakaianmu, lalu ayo kita makan.” “Boleh makan di kamar saja?” pinta Tia. “Khrap.” Apa sih yang tidak untuk Tia, sejak menikah apa yang Tia kehendaki selalu Rain turuti. Lelakinya ini seolah tanpa celah. Dia sangat sempurna. Layanan kamar tiba tiga puluh menit kemudian, beruntung mereka menyediakan halal food. “Nicky bagaimana?” tanya Tia. “Saat ini dia hanya sopir dan tour guide.” Rain berkata enteng dan Tia tergelak. Dia kira Nicky akan kembali menempel seperti lintah pada suaminya. “Aku mau cerita.” Tia menatap langsung netra indah sang suami. Rain mengangguk, mempersilakan. “Pria yang waktu itu datang malam-malam sama Bang Rey, dia mantan tunanganku.” Tia berkata pelan. Terkesan sangat hati-hati. Dia takut melukai perasaan sang suami. “Aku tahu,” tanggap Rain. Lelaki itu melahap hidangan makan siang dengan santai. Sambil bersiap mendengarkan apa yang akan istrinya katakan selanjutnya. “Bagaimana bisa tahu?” “Dioga yang kasih tahu. Hanya sebatas dia mantan tunangan kamu. Cerita di baliknya aku tidak tahu. Dan aku siap mendengar tuan putri bercerita.” Bergulirlah kisah yang membawa Tia hingga lari menuju Thailand. Bagaimana bahagianya dia ketika dipinang lelaki berwajah seperti orang bule. Bagaimana dia bahagianya Tia kala mendapat perhatian demi perhatian hingga semua itu menguap karena Liana. Perempuan yang juga jadi teman main Tia sejak kecil. “Kamu harusnya senang dengan kejadian tersebut,” pungkas Rain. Tia mengernyit, sebelum menjawab dia menelan makanan yang memenuhi mulutnya. “Coba Abang ada di posisi aku. Nyesek banget tau. Aku sudah bilang sama orang-orang mau nikah dengan Irman tau-tau Irman nikahnya sama Liana. Kan nyebelin.” Berapi-api gadis itu menjelaskan. “Tiara menyesali kejadian itu?” “Iyalah.” “Nyesel dong nikah sama Abang?” Rain pura-pura merajuk membuat Tia panik hingga menumpahkan jus jeruk milik Rain. Tia ceroboh jika panik dan kaget ada saja sesuatu yang dia jatuhkan atau tumpahkan. “Bukan ... bukan ... mak ... sud....” “Telan dulu makanannya, sayang,” ucap Rain. Dengan gerakan santai Rain membersihkan tumpahan minuman lalu memberikan segelas air putih untuk Tia dalam diam. Tidak berkomentar apa-apa lagi. Tia semakin takut, dia merutuki diri sendiri karena salah bicara. “Maksud aku gak begitu, Bang. Aduh abang ih, ngambekan.” “Aku sedih, mungkin saja kamu bersedia menikah dengan Abang karena ....” Belum selesai bicara Tia keburu memotong seraya memegang lengan Rain, “Enggak, enggak ada maksud lain, aku emang udah suka sama Abang sejak di Bandara, serius.” Rain sebenarnya tidak marah, dia hanya sedang menikmati reaksi Tia yang berlebihan. Apalagi dengan adanya pengakuan bahwa Tia sudah menyukai Rain sejak pertama kali bertemu. “Kamu gak bohong, kan?” “Mana boleh berkata bohong.” “Nyatanya, Tiara tidak ingat Abang waktu pertemuan di rumah Abi.” Tia tidak berbohong, memang benar malam itu penampilan Rain sungguh berbeda. Tia pangling. “Abang beda, rasanya lebih ganteng.” Tia tersipu malu membuat lelakinya semakin ingin terus menggoda. “Trus jatuh cinta? Mudah sekali jatuh cinta, jangan-jangan nanti kalau bertemu dengan yang lebih ganteng dari abang trus jatuh cinta lagi,” rajuk Rain. Tia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Rain. Didorong sebuah keberanian wanita muda itu mendekat lalu duduk di pangkuan sang suami. Aroma shampo membuat d**a Rain berdesir. Rupanya Tiaranya sudah berani mengoda terang-terangan. “Hanya ada Abang di sini sekarang, tidak ada sedikit pun tempat tersisa untuk orang lain,” bisik Tia. Embusan napasnya yang hangat menggelitik telinga Rain. Membangkinkan gairah yang mati-matian lelaki itu tahan sejak pertama kali memasuki kamar ini. “Abang percaya,” ucap Rain diselingi kecupan-kecupan ringan di seluruh wajah Tia. Sekali angkat tubuh Tia yang ramping berada di pangkuan Rain. Lalu lelaki itu membawanya dan membaringkan istri tercinta dengan sangat hai-hati di atas tempat tidur yang dilapisi sprei berwarna coklat muda. Sayangnya tidak terjadi apa-apa selepas itu, ketukan pintu membuat keduanya menghentikan aktivitas dengan perasaan dongkol. Apalagi setelah tahu yang mengetuk pintu adalah Nicky, Tia semakin jengkel. “Prom reu yang?” Nicky bertanya saat Rain muncul membukakan pintu. Lelaki itu bertanya, apakah Tia dan Rain sudah siap untuk melakukan perjalanan ke beberapa tempat wisata sesuai dengan agenda yang di jadwalkan bersama. *** Berkendara sekitar empat puluh menit mereka bertiga bertolak menuju Chok Chai Farm. Peternakan dengan motto “Live The Green Trend” ini, memiliki pintu masuk dan tempat pembelian tiket yang terletak di pinggir jalan raya. Mereka lalu menumpang tiga rangkaian kereta berbentuk wagon besar dengan kapasitas penumpang sekitar seratus orang, ditarik dengan sebuah traktor. Dengan kereta ini Tia, Rain dan Nicky mengelilingi peternakan yang luasnya puluhan hektar, dipandu oleh tour guide yang menerangkan dalam bahasa Thailand. Beruntung Rain mau menjelaskan kembali apa yang tour guide sampaikan. Setelah tour mengelilingi area perkebunan, mereka tiba di satu bangunan semi terbuka, di mana terdapat berbagai tempat permainan, kafe dan juga tempat untuk menyaksikan cowboy show. Tia begitu antusias. Tingkahnya yang lucu mirip seorang anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Rain tersenyum bangga, sedangkan senyuman Nicky tidak dapat diartikan. Pertunjukkan dimulai dengan narasi tentang kehidupan koboi, kemudian dilanjutkan dengan atraksi berkuda dari seorang koboi. Seorang pria bertopi permainan tali laso membuat Tia bertepuk tangan bahagia, netranya jelas memancarkan sebuah kebahagiaan. Bahagia yang teramat sangat sederhana untuk meraihnya. Atraksi dua orang koboi menangkap seekor sapi tidak kalah seru. Berkali-kali Nicky mengabadikan momen langka tersebut, momen dimana Rain dapat tersenyum lepas setelah putus dari Jane. Antraksi terakhir adalah simulasi pengecapan tubuh sapi dengan menggunakan besi panas. Tia sempat menolak untuk menyaksikan pertunjukkan tersebut karena tidak tega. Akan tetapi setelah diberi penjelasan bahwa sapi yang digunakan yaitu sapi palsu yang terbuat dari kayu, barulah dia patuh untuk tetap tinggal hingga pertunjukan usai. Perjalanan di akhiri dengan mengunjungi sebuah steak house untuk mengisi perut Tia yang selalu lapar. Tidak banyak pengunjung di restoran tersebut karena waktu sudah lewat dari waktu makan siang dan masih agak lama menuju makan malam. Tia menikmati suasana yang mirip seperti di film-film koboi. Ada lampu-lampu gantung yang terbuat dari tanduk rusa, pernak-pernik bergaya western, dan juga pemandangan padang rumput yang luas di luar jendela. Sepiring steak salmon lengkap dengan jagung, kentang, salad dan sausnya tandas dalam sekejap. “Khop khun, khrap,” ucap Rain, dia berterimakasih karena Nicky sudah memilih tempat yang indah ini untuk mereka jelajahi. Nicky tidak menjawab. Sebaliknya dia menatap lurus ke dapan, wajahnya memucat, dia melirik Rain sekilas. Mengundang pria itu untuk berbalik dan melihat apa yang Nicky lihat. Keduanya bertatapan seakan-akan berbincang lewat tatapan mata, membuat Tia yang sedang menyeruput minuman kebingungan dibuatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD