8. Dasi tanda cinta.

1432 Words
Abijar POV. Rindu Pelangi, gadis yang selalu sederhana, namun memiliki wajah yang memikat. Aku adalah Seorang murid kelas dua belas Tekhnologi Informatika. Seorang lelaki yang mungkin bisa disebut diam diam telah mengagumi gadis itu. "Maaf, gue enggak sengaja!" Saat itu adalah awal pertemuan kami. Dia yang membawa paper bag yang entah apa isinya bertabrakan denganku menuju kelasku. "Iya, enggak apa apa." ujarku. Dia terlihat melebarkan kedua mata. "Eh, lo Abijar kan? anak yang hit itu?" dia bertanya. Ah, aku jadi malu saat itu. Ternyata keberadaanku disekolah ini bisa sampai ke kelas sebelah. Kelas perdagangan, yang di mana ada gadis itu di dalamnya. "Eh, enggak hit juga sih." aku menggaruk tengkuk ku. Dia terlihat melebarkan kedua mata seraya tersenyum. "Ok, lah. Gue ke kelas lo dulu. Permisi!" dia melewati dan masuk ke kelasku. Aku yang penasaran pun ikut masuk ke dalam, dan memilih duduk di bangku ku. "Rin! mana lip teen gue!" "Eye liner gue!" "Bedak gue!" "Cream malam gue!" "Eh, parfum gue Rin!" Para gadis itu terlihat mengerubungi Rindu dengan semangat. Membuat Rindu terlihat kelabakan menjawab satu satu pertanyaan para gadis itu. "Ok, bentar bentar, ya ...," dia mengambilkannya satu persatu sesuatu yang ada di dalam paper bag itu dengan ramah dan begitu sabar. Aku sampai dibuat salut karenanya. Dia yang merupakan anak kelas perdagangan yang letaknya emang ada di ujung bangunan ini. Bisa berada di kelas TI yang memang berada di awal kami memasuki koridor. Aku salut padanya. Dia yang berusia muda, yang biasanya happy happy, dan menghabiskan uang seperti kami. Malah terlihat sibuk sana sini mencari pemasukan. Jujur, aku tidak pernah melihat anak lain seperti dia, di sekolah ini. "Eh, denger denger. Gue bawa produk baru. Nih lihat muka gue. Kemarin kemarin kalian masih inget enggak. Kalau muka gue jerawatan gitu, ada yang masih inget enggak?" tanya nya, pada para gadis itu. "Eh, iya. Kemarin jerawatnya geude geude loh. Ko bisa bersihan gitu deh, lo pake apa?" tanya salah satu gadis itu bertanya. "Eh, masa?" gadis lain ikut mendekat menatap wajahnya Rindu. "Eh, beneran. Glowing jadinya. Pake apa sih lo?" tambahnya antusias. Rindu terlihat tersenyum. "Makanya dengerin dulu gue." dia terlihat mengambil sesuatu dari dalam paper bag itu. "Ini serum, dan gue pake ini. Harganya murah ko, cuma 70 ribu aja. Dan kalian bisa nyicil." Dia terlihat memegang benda berbentuk love. Di mana atasnya ada seperti alat untuk menekan agar serum itu keluar dari sana. "Wah! ini beneran kan? lo pake ini?" gadis lainnya meraih benda itu. Rindu mengangguk. "Iya. Gue pake itu. Dan ini emang bekas gue. Ini semple aja sih, siapa tahu kalian mau." dia menutup kembali tutup serim itu. "Wah muka lo emang glowing sih. Ya udah gue pesen ya?" ujar gadis itu. "Ok, lo nanti chet gue ya. Dan inget, barang datang setelah lunas atau angsuran kalian nyampe 95 persen, aja. Seperti biasa dong." Dia smart sekali. Aku dibuatnya tersenyum sendiri. Dia bisa tegas dengan cara se elegan itu. "Kenapa lo?" tanya Ervan. Dia teman sebangku ku. "Lo liatin si rindu? lo suka dia?" tanya nya beruntun. Aku tergagap jadinya. "Eh, enggak. Lucu aja, jualannya heboh banget." segera kualihkan tatapanku padanya. "Dia Rindu, anak kelas perdagangan. Dia baru baru ini sering datang ke sini. Jualan kosmetik kayanya." "Anak SMK jarang ya, yang kaya dia." "Iya, dia calon pebisnis." Aku terkekeh. "Lo hati hati! dia pacarnya si Dilan. Anak Sekertaris yang sok ganteng itu. Dia ketua tim futsal. Lo kenal enggak?" Aku mengerjap. Setahuku, Dilan itu begitu dekat dengan gadis yang ada di kelasnya. Kalau tidak salah namanya Meta. Aku pernah melihat mereka pergi nonton dan hanya berdua saja. Selain itu, aku juga pernah melihat keduanya berpelukan di atas motor. Kala itu yang bawa motor Meta. Dan Dilan memeluknya dari belakang. Wajar enggak sih, kalau hanya status teman, tapi semesra itu. Dan apakah Rindu tahu itu? "Lo yakin, si Rindu sama Dilan pacaran?" tanyaku lagi. Ervan mengangguk. "Udah dua tahun, dari kelas satu. Lo sih enggak ikut MOS ya? jadinya lo enggak liat." Karena aku memang agak telat masuk ke sekolah ini. Waktu itu aku memang tinggal di Bandung. Dan tinggal di Jakarta baru baru ini. "Oh," aku hanya beroh ria saja. Kembali melihat Rindu masih berbicara bersama para gadis itu. "Elah, hutang gue masih banyak sama lo Rin. Nanti deh, kalau lipteen gue udah kelar yaaa." ujar gadis lainnya. "Iya, iya ..., lo santai aja." ujar Rindu lagi. Semenjak saat itu, aku terus mengikuti nya dari kejauhan. Aku hanya penasaran dengan kehidupannya. Hingga suatu malam, aku melihat Rindu bertengkar dengan Dilan. Dan yang paling membuatku terkejut adalah Dilan berani menampar Rindu, karena gadis itu telah menyerang perempuan yang bernama Meta. Perempuan yang sering aku lihat dekat sekali dengan Dilan. Aku hanya bisa terdiam, saat Rindu menangis masuk ke dalam kosannya. Dan sejak itu aku bertekad akan terus membuatnya tersenyum. Sehingga muncul ide, kalau aku akan membantunya menjual kosmetiknya itu. "Hah, apa?" dia terdengar terkejut karena permintaanku itu. Pada saat itu kami berada di kantin. Aku yang menghampirinya saat Rindu duduk sendiri. Sedangkan Dilan duduk bersama Meta. "Iya, gue mau dong, bisnis kaya lo. Ya liat lo sibuk kaya gitu. Gue kayanya tertarik buat jualan kaya lo. Itung itung belajar bisnis aja." "Serius? masa lo cowok mau jualan kosmetik?" "Emang kenapa?" "Ya, lo normalkan? emang enggak malu?" Aku terkekeh kecil. "Ngapain malu sih? yang penting bukan nyuri kan? Gue kayanya pengen deh punya penghasilan kaya lo. Kayanya enak ya bisa ngasilin uang sendiri tanpa minta ke ortu." Dia mengangguk. "Gue denger, lo banyak ceweknya. Noh, cewek cewek lo, tawarin aja, siapa tahu doi tertarik, terus mau beli." bisiknya, membuatku agak kesal. Bagaimana ya, aku pikir dia mengenalku karena kebaikan ku atau prestasiku. Eh, ternyata karena aku ini seorang play boy. Ya Tuhan ..., baru mau mulai berjuang, malah sudah ketahuan belangnya. "Gue punya banyak cewek? kata siapa lo?" agak sewot, aku waktu itu. Dia terkekeh. "Ya, kan. Cowok yang good looking modelan kaya lo ini, masa iya enggak play boy. Kan aneh," apa katanya! Dia serendah itu menilaiku. "Enak aja lo!" kesalku. Dan dia malah terkekeh. "Ya udah, ya udah. Jadi lo mau stock apa sistem dropship? jadi lo enggak usah stock kaya gue. Lo tinggal caling gue, kalau ada orderan. Jadi barang langsung dari gue." "Dari lo aja. " Aku sengaja pesan dari dia. Biar dia mendapatkan poin yang lebih tinggi. Aku sedikit tahu tentang bisnis ini. Semakin banyak orderan. Maka semakin tinggi poin yang akan ia terima dari atasannya. Dan poin itu akan ditukar dengan uang nantinya, dan jadi bonus. Selain uang yang ia dapatkan dari hasil jualannya itu. "Ok, deh. " Kemudian aku sengaja meneruskan banyak obrolan agar tidak ada rasa canggung antara dia dan aku. Aku bahkan ikut mengakrabkan diri pada sahabatnya Rindu. Yaitu Raya. Semakin hari, aku semakin akrab dengannya. Rindu ini sesosok orang yang menerima temannya tanpa memandang jenisnya. Maksudku, komunikasi Rindu padaku dan Raya sama. Dia tidak canggung, seperti para gadis lain yang selalu malu malu kucing padaku. Ah, atau karena memang Rindu tidak tertarik padaku. Dan aku tidak apa apa. Ini masih permulaan. Suatu saat akan aku pastikan kalau Rindu bisa melupakan Dilan, dan hatinya hanya terarah padaku. Dan aku akan menjaga hatinya lebih baik lagi. Semoga saja. *** "Aduh! s****n!" Aku mendengar gerutuan Rindu. Dia sepertinya baru saja datang. Hari ini hari senin, kami sebentar lagi akan bersiap untuk upacara. Kuhampiri dia."Kenapa lo?" tanyaku. "Eh, lo punya dasi dua enggak? s**l banget gue. Kelupaan tadi. Padahal udah gue siapin di atas meja. Tapi malah enggak ke bawa. Kalau pulang lagi, nanti gue bakal telat. Malah enggak bisa masuk lag--" Dia terdiam dengan kedua mata mengerjap. Kala aku sudah memasangkan dasi miliku pada lehernya. "Udah! lo masuk sana!" ujarku padanya. "Eh, tapi--" "Masuk gih ke barisan. Nanti keburu ketahuan ketua pembina. Berabe loh!" Dia masih terlihat bingung. Sehingga aku mendorongnya pelan ke arah tengah lapangan. Dengan diriku yang pergi ke arah pembina untuk menyerahkan diri. Beliau sudah mengumumkan, siapa yang tidak memakai dasi. Maka harus berlari keliling lapangan selama tiga putaran. Yang jadi alasan kenapa anak anak sangat takut tidak membawa dasi adalah, karena lapangan di sekolahku sangat luas. Sehingga akan membuat mereka lelah. "Sok soan lo!" Rindu mendekat dengan air meneral di tangannya setelah aku selesai lari. "Bentar lagi upacara. Kalau lo dehidrasi. Lo bisa pingsan!" tambahnya, ia terlihat cemas. Aku hanya tersenyum menatapnya. "Makasih!" kataku, seraya mengambil air mineral itu. Dia mengangguk. "Ya udah, gue kebarisan ya?" dia hampir pergi, namun ku raih tangannya dan ku genggam erat. Menghadirkan kerjapan di kedua mata indah itu. "A-ada apa?" tanya nya. Dia menarik tangannya menuntut untuk dilepaskan. Namun aku tetap menggenggamnya, menarik ke arah barisan. "Kita bareng aja!" kataku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD