Gagal curhat dengan Bowo kemarin lusa, membuatku mengalihkan kegalauan dengan mengunjungi salon and spa. Tak lupa, mengajak Desti serta.
Ah Bowo, alih - alih membuatku menumpahkan segala isi hati. Malah aku yang sabar mendengarkan segala curahan hatinya. Disenggol sedikit, lacur memang cowok satu itu.
Langsung curhat.
Tapi, dengan begitu saja, sedikit keruwetanku berkurang. Ralat, tidak berkurang, tapi setidaknya aku tahu bahwa aku memiliki Bowo dan Desti, sahabat - sahabatku.
"Maaf Cyin, tadi ke nganter Reza dulu ke kantornya." Desti tergopoh - gopoh menghampiriku.
"Mobil dia kemana memang?" Aku mendorong kursi untuk didudukinya.
"Masuk bengkel." Desti mengambil buku sample gaya rambut terkini, "sekalian potong aahh." Katanya.
"Aku potong enggak ya?" Mematut diri di cermin, aku menanyakan pendapat Desti.
"Pendekkin lagi deh, lucu tahu muka kamu kalau chubby gitu."
Aku cemberut, "lucu sama badut berkorelasi lho, Des."
Desti tertawa, "ih kamu negatif thinking deh. Beneran lucu, mirip Putri Titian tahu. Muka kamu kan awet muda."
Aku mencibir, "awet muda atau kayak bocah?"
"Hihihi serba salah deh, sudah di pendekkin sedikit lagi. Terus di-blow bawahnya." Desti merentangkan rambutku.
"Eh kita massage dulu aja yuk, aku mau curhat." Desti menghentikan kegiatannya dan memandangiku dengan seksama.
Pantas saja Bowo tergila - gila pada dia, Desti adalah perempuan anggun yang langka.
"Ada apa, Cantik?" Tanyanya, peduli.
"Cerita di atas aja, yuk." Aku pun menarik lengan Desti untuk menaiki tangga dan menuju ruangan massage.
Setelah mengganti baju dengan kain batik, kami menempatkan diri dengan berbaring telungkup di atas dua matras yang disediakan.
"Jadi gini--"
Aku pun menceritakan mengenai perjodohan paksaan papa dengan Elang, Desti mendengarkan dengan sabar dan seksama. Tidak menjeda apalagi menginterupsi.
"Kenapa mbak Alya baru bilang enggak mau nikah, setelah semua ini." Desti membuka suara setelah aku menyelesaikan curhatanku.
"Mana aku tahu, Des. Kukira hubungan mereka baik - baik aja." Jawabku lesu.
"Terus, apa kamu akan terima perjodohan om Latief? Maksudku, benar yang papamu bilang. Umur kita sudah cukup untuk menikah, Happy."
Aku memandangi Desti dengan nanar, "apa kamu bisa nikah sama orang yang enggak kamu cinta?"
Desti tertawa, "ya ampun, Happy, ayah ibuku saja menikah tanpa pacaran. papa mama-mu juga. Apa yang kamu khawatirkan?"
"Desti, kita bukan mereka. Kita sudah ter-influence dengan n****+, film dan sinetron cinta - cintaan. Menikah tanpa cinta sounds like a shit."
"Hush!" Desti memukul lenganku yang terjulur ke arahnya.
Aku merenggut.
"Lagian ya, Des, kamu bayangin aja. Mas Elang itu kan cinta sama mbak Alya, yang ada, dia banding - bandingkan aku dengan mbak Alya. Aku enggak mau!"
"Ya ampun, aku enggak berpikir pak Elang bakalan seperti itu deh. Dia kan cerdas, kuliah di luar Negeri. Masa iya, punya pemikiran kolot seperti itu."
"Desti, laki - laki itu sama aja. Mau cerdas, intelek, bodoh, lemot. Kalau urusan perempuan dan s**********n, ya instingnya tetep jalan. Kasarnya, merem aja mereka bisa tahu, mana cewek cantik dan cewek jelek." Cerocosku.
Mbak - Mbak yang sedang memijat kami tertawa. Memutar badan sedikit, aku memelototinya hingga mereka bungkam.
"Kamu enggak jelek, Happy. Stop berpikir bahwa kamu tidak cantik!" Desti mengelus lenganku.
"Tapi mulutku jahat."
"Tidak jahat, kamu hanya jujur dan blak - blak-an. Itu tidak jahat."
"Tetap saja, aku dibandingkan Alya, bagaikan Bumi dan Langit."
"Itu karena kamu membanding - bandingkan dirimu sendiri. Kamu juga pantas kok bersanding dengan pak Elang."
Aku memicingkan mata ke arah Desti, "karena uang?"
Desti menggeleng, "because you're beautiful. Kamu enggak kalah dari Alya, kamu cantik dengan caramu sendiri."
"Kamu bilang begitu, karena kamu temanku kan, Des?"
"Haduh, susah deh ngomong sama orang yang lagi mengalami krisis kepercayaan diri. Tuh tanya Mbak-nya, cantik enggak Mbak temen saya ini?" Desti memiringkan tubuhnya, bertanya pada Mbak yang memijat aku.
"Cantik kok, Kak." Jawab si Mbak dengan senyum dikulum.
"Bener enggak Mbak? Kalau bohong, saya enggak mau bayar lho!" Ancamku galak, Desti tertawa.
"Tenang aja Mbak, saya yang bayar." Desti menjawab lagi.
"Eh jangan deh, gajimu kan kecil, Des. Nanti kamu bangkrut." Kataku, jumawa.
Desti mendengus, "iya deh Bu Manager. Apalah aku yang cuma gagang sapu kantor."
Aku terbahak mendengarnya.
***
Bercerita apapun ke Desti, tentu saja akan tersambung secara otomatis ke telinga Bowo. Dan sekarang, pria ganteng itu sedang duduk manis di hadapanku. Katanya sih, aku disidang.
Cih! Siapa dia memangnya?
Bowo menghembuskan napas dengan dramatis, rokoknya yang entah keberapa itu sudah habis dalam asbak. Sementara si boneka Anabelle yang menjadi biang keladi, telah melarikan diri bersama pacarnya yang mirip artis sinetron itu.
"Kenapa enggak bilang kalau lo mau merit?" Bowo bersuara, akhirnya.
Aku sempat mengira dia shock dan kehilangan kemampuan berbicaranya.
"Yeeee mana gue tahu, kan gue sudah bilang, kalau gue dijodohin." Menutup hidung, aku menghalau asap rokok yang mengepul di antara kami. "Dipaksa." Tandasku.
"Sama siapa tadi? Elang itu yang pacaran sama Alya kan? Jadi selama ini lo nikung kakak lo sendiri apa gimana?"
Aku melotot mendengar asumsinya, "enak aja! Jelek - jelek begini, gue punya harga diri ya!"
Bowo tertawa, "yaelah. Biasa aja keless."
"Lo sih, nuduh yang enggak - enggak."
"Daripada yang iya - iya."
"Tahu ah!"
Bowo mencubit pipiku, "yailah ngambek. Jadi, gue sama Desti kecolongan lo nih ceritanya? Huft." Sekarang dia memasang mimik dramatis.
Lebay!
"Mbak Alya kabur, jadi gue deh ditumbalin gantiin dia. Apa gue ganti kelamin aja ya?"
Bowo melongo, kemudian.
"Hush! Aneh - aneh aja lo! Yaudah terima nasib aja, Elang enggak jelek juga. Masa iya lo enggak mau sama dia. Atau? Dia yang nolak lo ya? Huahahaha."
Dia tertawa dengan jahanamnya.
"Enak aja! Dia justru meyakinkan gue untuk mau terima perjodohan konyol ini. Gue yang enggak mau sama dia, catet ya!"
"Iya. Iya gue catet, pake spidol permanen." Serunya, di sela tawa.
"Lagian, gue suka sama orang lain." Kataku kemudian, membuatnya berhenti tertawa.
"Siapa? Pria mana yang kena kutukan itu?"
Brengsek, Bowo!
"Elo!" Jawabku cepat, membuatnya terdiam dan mencerna satu kata dariku.
Hening mengudara di antara kami, tanpa tahu malu, aku menggerak - gerakkan jari dengan tidak sabar di atas meja. Sementara Bowo, masih terdiam dan menatapku lamat - lamat. Kemudian, bahunya lunglai.
"Kenapa lo baru bilang?"
What?!
"Ya ngapain gue bilang, lo aja cuma naksir Desti. Yang ada, perasaan gue cuma jadi bulan - bulanan kalian berdua."
Bowo berdecak, "lo su'udzon mulu sih sama kita! Kalau gue tahu dari awal, seenggaknya, lo enggak perlu denger curhatan receh gue tentang Desti."
Aku mengibaskan tangan tidak peduli, "yaudahlah. Enggak usah dipikirin, lagian gue enggak berharap hubungan lebih sama elo kok. Begini aja gue udah happy."
"Yaiyalah lo Happy, yang Bowo kan gue." Kelakarnya, aku tertawa.
"Gue juga tahu diri kok."
Bowo menggeleng, "bukan gitu, Py. Tapi, kalau aja gue tahu dari awal. Gue bisa melihat lo dengan berbeda. Maksud gue, selama ini, gue enggak berani mencoba berpikiran tentang menjalin hubungan dengan lo karena--" Bowo menggaruk tengkuknya, "karena jelas ya kelas kita beda. Gue yang kaum Sudra begini, mana pantas sih bersanding sama lo."
Aku merenggutkan wajah tidak suka.
"Lo mah ih, suka kayak gitu ngomongnya. Emang gue tipikal yang banding - bandingin kasta apa!"
"Ya emang enggak. Tapi gimana ya, istilahnya nih, kalau di Naruto. Lo tuh klan Uchiha, sedangkan gue--"
"Stop! Mau Uchiha kek, Uzumaki kek, Naruto, Boruto, yang penting gue tetap Anandhi." Potongku, tidak nyambung.
"Dasar nehi - nehi lo!"
Kami pun tertawa. Tapi benar deh, sesuka apapun aku pada Bowo, mengharapkan perasaanku berbalas, tidak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku suka ngobrol dengannya, tertawa dan bercanda dengan dia. Itu sudah cukup untukku.
***
Di rumah, Papa sudah menungguku dengan jidat berlipat. Ada Elang dan Raja juga, untung enggak ada Eyang.
"Lama banget pulangnya, Kak." Omel Papa begitu aku menyalaminya.
"Biasanya juga Papa enggak peduli." Balasku.
Papa melotot, aku ngeloyor mengambil minum untuk diriku sendiri.
"Kita bicarakan acara pertunangan kamu, sekarang!" Teriak Papa.
Aku kembali dengan gelas di tangan.
"Pertunangan apa? Kayaknya aku belum bilang setuju deh."
"Kamu dan Elang, akan bertunangan dan segera menikah. Kamu sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab dengan beban yang Papa kasih--"
"Dengan terpaksa." Potongku, Papa melotot.
Segera aku menjahit mulutku, tak kasat mata tentu saja.
"Setelah tanda tangan surat perjanjian, kamu tidak perlu bekerja, Kak."
"Tapi aku mau tetap kerja, baru juga naik jabatan."
"Seluruh tangga organisasi akan diubah sesuai kesepakatan, begitu juga posisi kamu."
"Aku enggak mau kalau begitu. Belum sebulan jadi Manager, udah diusir lagi."
"Enggak diusir, Happy, justru posisi kamu kuat. Kamu akan masuk dalam jajaran direksi dan pemegang saham." Elang bersuara.
"Tapi Mas Elang, posisi dengan kerja keras aku cuma Manager itu. Menjadi salah satu pemegang saham dan direksi itu karena darah yang mengalir disini." Aku menunjuk lenganku.
"Kamu tuh tinggal terima jadi, apa susahnya sih, Kak?" Papa mulai gusar.
"Ya susah dong, kalau selama dua puluh delapan tahun aku dianggap ndablek dan enggak berprestasi, Papa kira dengan mudah akan aku lepaskan gitu aja prestasi yang dengan susah payah aku capai?"
Elang dan Raja bergerak gelisah, mereka sadar mungkin bahwa belum waktunya berada di situasi seperti ini.
"Kamu yakin kenaikan posisimu itu karena prestasi?" Tahu - tahu suara gaib Eyang Radjiman Suryonegoro Mangkudiningrat terdengar.
Aku memutar tubuh dan mendapati Eyang Kung berjalan ke arah kami.
"Iya dong, emang Eyang berani ngutak ngatik GG Cargo?" Ejekku.
"Bisa saja Elang hanya berbaik hati, karena Perusahaan akan digabungkan." Eyang melirik Elang yang terdiam di kursinya.
"Mana ada, Mas Elang aja enggak tahu aku naik posisi kan? Lagian itu hasil review Departemen Kepegawaian. Mas Elang enggak ada urusan disana." Tandasku.
Eyang berdecih, "tetap saja dia punya kuasa. Siapa tahu?" Katanya cuek.
Kalau saja tidak ingat bahwa beliau adalah orangtua yang notabene ayah kandung Mama, sudah kutarik tongkat saktinya itu.
"Tidak perlu ada pertunangan." Kata Eyang, mataku membulat bahagia, "langsung nikah saja." Lanjutnya, membuat cengkraman tanganku pada gelas yang kugenggam menguat.
"Eyang!" Aku berteriak kesal.
"Apa?" Eyang menatapku tajam.
Nyaliku ciut, ish!
Kesal, aku berlari ke kamar. Tidak mempedulikan panggilan papa dan Elang. Arka yang baru turun juga turut memanggilku, aku menabrak bahunya tanpa ampun dan membanting pintu kamarku.
Mengapa tidak ada yang mengerti, bahwa pernikahan adalah hal suci yang tidak bisa dipermainkan seperti ini?
Aku benci Alya! Karena dia tidak bertanggung jawab dan menimpakan semua masalahnya padaku. Kusebut saja masalah.
Jika ia tertekan berhubungan dengan Elang sejak dulu, kenapa baru sekarang mengambil tindakan gila? Kenapa tidak dari dulu dia menolaknya, sehingga segala hal seperti ini tidak perlu menimpaku.