Empat

2193 Words
Hari pernikahan itu datang, setelah sekuat tenaga aku menolak kehendak Eyang, papa dan mama, namun semua usahaku menolak itu bagai mengecat es batu di tengah lapangan bola saat Matahari sedang terik - teriknya, alias sia - sia. Perias pengantin yang sudah siap sejak Subuh tadi, sedang merayu untuk mendadaniku. Sementara, mata panda dan sembabku belum juga hilang. Airmata terus menerus mengalir. Meskipun semalam Desti dan Bowo datang menghiburku, semuanya tak memberi pengaruh apapun. Aku hanya ingin pernikahan ini tidak terjadi. Dan Elang? Dia pun hanya mengatakan maaf saat aku mengiriminya pesan tentang 'bencana' ini. Tidakkah mereka tahu, aku menjaga diri untuk suamiku kelak? Suami yang menikahiku karena mencintaiku, bukan karena bersedia memberikan lehernya untuk dinikmati para tetua. Demi apapun, aku benci Elang! Sebagai pria, dia seharusnya bersikap tegas dan berani memperjuangkan cintanya dengan Alya. Bukan malah pasrah dan terkesan tidak peduli dengan kepergian Alya. Dan aku? Ya ampun! Demi apa, aku harus rela malam pertama dengan orang yang enggak aku cinta? Duh Gusti! Ini Elang bisa ditukar Bowo saja enggak sih? "Kak!" Mama berdiri di pintu kamarku, menginterupsi segala gerutuan dalam kepalaku. Mama mendekat dan memelukku dari belakang. "Maafin Mama, papa dan Alya. Maafkan kami, sehingga kamu harus melakukan ini." Mama menangis. Aku ingin marah pada mama, ingin mencaci maki segala perlakuan mama yang terlalu memanjakan Alya sehingga ia bersikap semena - mena seperti sekarang ini. Tapi, itu tidak akan membuat Bapak Penghulu membatalkan pernikahan ini kan? "Jadi istri yang baik ya, Kak, untuk Mas Elang. Pernikahan ini adalah ibadah, lakukan dengan ikhlas ya, Kak. Mama mohon." Hatiku seperti dicubit mendengarnya. Bagaimana bisa mama membawa - bawa sisi relijius dalam diriku, jika kehendaknya saja dalam konteks memaksa. Bukankah Tuhan pernah berfirman, tak ada paksaan dalam agama? "Kak, maafkan kami. Mama doakan kalian berdua menemukan bahagia, dalam jalan perjodohan ini." Aku berdecih secara terang - terangan. Bahagia apa yang mama maksud? Kebahagiaanku adalah kebebasan memilihku. Jika dalam memilih pasangan hidup saja aku sudah terpaksa, bagaimana bisa kuraih bahagia? Mama mencium puncak kepalaku lama. Sedangkan airmata terus - menerus mengalir tanpa henti dari kedua mataku. "Aku berdoa, semoga, Mama lebih menyayangiku setelah apa yang kulakukan ini." Mama yang hendak keluar, menghentikan langkahnya. Mama berbalik dan memelukku lagi, sambil menangis. "Maafkan Mama, Kak. Mama selalu sayang sama Kakak. Mama sayang kalian bertiga. Sumpah, Mama tidak pernah bermaksud pilih kasih." "Mama jelas - jelas pilih kasih. Bahkan dari aku lahir, Mama lebih memperhatikan Alya. Sementara aku, lebih sering dikira anak Bu Ami." Cecarku tanpa ampun. Bu Ami adalah pengasuhku sejak bayi. Beliau sendiri yang bilang, saat aku lahir, Alya baru berusia satu tahun dan sedang rewel - rewelnya. Sehingga Mama hanya memegangku ketika memberi asi, selebihnya, Mama akan lebih memperhatikan Alya. Dan itu terjadi hingga aku dewasa. Teman - teman sekolahku selalu mengira bahwa Bu Ami-lah ibuku. Dan aku akan selalu mengiyakannya. Toh, aku lebih sering bermanja - manja dengan Bu Ami daripada Mama. Mungkin nanti, aku akan sungkem pada Bu Ami alih - alih sungkem pada Mama. "Kak--" "Sudahlah, Ma. Aku tahu nikah adalah ibadah, aku enggak akan aneh - aneh. Perusahaan kita bersatu dengan Perusahaan Om Gagah, aku menikah dengan anaknya. Papa dan Mama tidak kehilangan muka dan Eyang akan bahagia, sehingga umurnya semakin panjang." Aku memotong kata - kata Mama dengan sinis yang nyata. Maaf, Ma. Aku sudah muak. "Doa Mama selalu menyertai Kakak, semoga Allah berkahi pernikahan Kakak." "Amin." Sahutku pendek. Mama mengangguk pada perias dan aku pun mulai didandani. Semoga perias ini jauh dari hati yang busuk, sehingga wajahku tidak terlihat seperti ondel - ondel gagal pentas di PRJ. Aku tidak akan melihat cermin. Aku tidak mau melihat cermin. Perias yang meriasku membawakan baju pengantin. Ia juga membantuku memakainya. "Mau lihat kaca enggak, Mbak?" Tanya perias yang bernama Bu Ayu. "Enggak, Bu. Makasi." Jawabku masam. Melihat pantulan diriku di cermin, big no. Aku tahu wajahku seperti apa, bahkan dengan make up setebal semen ini. Suara ramai - ramai terdengar dari ruang bawah. Lupakan pernikahan di gedung mewah dan masjid megah. Eyang yang sepertinya kepalang malu karena menyodorkan aku ke keluarga Om Gagah, memilih rumah sebagai tempat akad dan resepsi. Tamu? Hanya kerabat dekat saja. Media? Huhuhu, lupakan saja. Kami bukan kalangan sosialita atau pejabat - pejabat Negara. Wartawan yang mengenal kami paling dari koran bisnis dan mereka tidak akan tertarik meliput pernikahan bisnis. Maaf maaf saja, perusahaan kami tidak sebesar Mnc Group. "Penghulunya sudah datang--" Arka berdiri di pintu kamarku. Ia mengenakan baju batik keluarga yang disiapkan Mama untuk pernikahan Alya, yang mana menjadi pernikahanku kini. Wajahnya melongo melihatku. "Tunda dulu kalau mau nyela ya, Ka. Tanya Mama, gue kapan keluarnya?" Tanyaku jutek. Bibir Arka mencebik, "padahal gue mau muji lo, Kak. Tapi denger nada suara lo yang k*****t banget, gue tarik lagi pujian gue. Udah disuruh keluar sama mama!" Balasnya dengan wajah jutek. Aku membulatkan bibir dengan jumawa. "Bawain dong buntut gaun gue, panjang banget kayak daftar dosa lo!" Gerutuku pada Arka. "Yaa Allah, mau kawin mulutnya sembarangan banget lo, Kak." Aku menjewer telinganya, ia mengaduh dan menepis tanganku. Aku turun dengan Arka yang membantu mengangkat buntut gaunku. Ruang tengah disulap mama menjadi tempat akad yang indah. Sungguh, kalau saja Bowo yang menjadi calon suamiku, ini akan menjadi pernikahan sederhana yang indah. Tapi tidak, disana kulihat mas Elang yang duduk di depan Penghulu dan papa, mengenakan baju koko senada dengan gaunku. Oke, ini gaun Alya mestinya. Aku agak sesak menggunakan gaun ini. Karena memang bukan ukuranku. Semua mata memandang ke arahku. Dan kulihat Bowo, Desti dan Reza, pacarnya, duduk di kursi tamu. Bowo bahkan melihatku dengan mata melotot, seolah - olah ia meyakinkan diri, bahwa aku menikah hari ini. Iya aku, orang yang baru saja memproklamirkan diri menyukainya dua minggu lalu. Elang menoleh dan menatapku, dengan tatapan kagum. Mungkin ia sedang berhalusinasi, bahwa aku adalah Alya. Apakah ia akan kepleset menyebut namaku dan malah menyebut nama Alya? Entahlah. Aku duduk di kursi sebelah kiri Elang. "Selanjutnya kedua mempelai dipersilakan bertukar cincin." Eh? Ijab qabulnya udah? Elang meraih tanganku dan memasangkan cincin di jari manisku. Begitu pula aku. Kemudian tanpa aba - aba, Elang mencium keningku. Oke fix, Elang menganggap aku adalah Alya. Pak Penghulu menyodorkan sepasang buku nikah dan menyuruh kami menandatanganinya. Aku berharap, nama Alya lah yang tertera disana. Kesalahan sekecil apapun, bisa menjadi alasanku untuk membatalkan pernikahan ini. Meskipun telat. Kubuka buku nikah itu dan namaku lah yang tertera disana. Happy Renjana Kusumadewo dengan Elang Gagah Triandri. Kuperhatikan dengan seksama, tapi tak satupun huruf itu berubah menjadi nama Alya. Aku pun menandatanganinya di bawah tatapan tajam Eyang yang melihatku seolah - olah aku adalah narapidana yang siap kabur. Setelah prosesi sungkem, kami pun duduk di pelaminan yang digelar di taman belakang rumah. Bowo dan Desti yang kelihatan sekali gatal ingin berteriak padaku segera menghampiri pelaminan dan Desti serta merta memelukku penuh haru. "Cantik banget teman kita satu ini, selamat menempuh hidup baru ya, Cintaku. Semoga pernikahan kalian penuh berkah dan bahagia sampai Kakek - Nenek." Desti berdoa untukku. "Semoga aku bertahan dalam pernikahan ini, gitu dong doanya, Des." Bisikku. Desti menepuk lenganku pelan dan tersenyum pada Elang yang memperhatikan kami. "Selamat atas pernikahannya, Pak." Desti menyalami Elang. Kemudian Reza menggantikan tempat Desti untuk mengucapkan selamat padaku. Disusul Bowo di belakangnya. "Anjirrrrr, happy wedding my happy friend. Semoga hidup lo se-happy nama lo ya, Hap." Bowo merangkulku dengan keras. Aku mau nangis. "Thanks, Kakak Wowo yang mulai hari ini resmi berhenti jadi montir hot gue." Bisikku, Bowo mendelik kasar tapi bibirnya berkedut menahan tawa. "Selamat nikah, Bro. Sabar - sabar ya sama mulut dia. Emang gitu, tapi kalau disumpel kayaknya beda, bisa disetel manja kok suaranya." Bowo menyalami Elang. Aku menepuk bahunya dengan keras. Elang tertawa menanggapi ucapan Bowo. Kemudian para tamu ikut menyalami kami berdua. Hingga kakiku pegal karena belum sempat duduk sejak pindah ke pelaminan ini. "Pegal ya?" Tanya Elang, retorik. "Hm." Jawabku jutek. "Sabar ya, cuma sampai jam dua siang kok acaranya." Aku melenguh, masih lama itu. Sekarang saja baru masuk jam setengah dua belas. Kayaknya. Acara berakhir. Para tetua sedang berdiskusi entah apa. Ada Eyang Kung, Eyang Ti, Om Gagah dan Tante Rianti -- orangtuanya Elang, duduk di ruang tamu dengan Papa dan Mama. Dara, Kakak Elang nomor dua, membantuku kembali ke kamar untuk berganti baju. Gaun ini berat dan aku sudah kelelahan dan kesesakkan. Aku bahkan memilih tidak makan siang demi agar tidak terikat dengan gaun mematikan ini. Apakah aku sudah mengatakan bahwa keluarga Elang memiliki nama - nama burung? Anak pertama bernama Rajawali, lalu Dara, Elang dan si bungsu Merpati. Harusnya Om Gagah membuka maskapai penerbangan bukan Perusahaan kargo, sehingga mestinya Perusahaan kami tidak terjalin kerjasama mainstream ala sinetron. Oh ya, Tante Rianti kepalang jatuh cinta pada Alya. Ide mengganti posisi Alya denganku sepertinya membuat dirinya kesal. Sepanjang acara, Tante Rianti bersikap dingin dan menampilkan wajah jutek padaku. Masalah mulai terendus pemirsa, oh please, jangan buat aku berada di situasi dibenci Mama Mertua. Enggak keren. "Nanti anak - anak tinggal dimana?" Tanya Mama pada Tante Rianti. "Di rumahku dulu lah, Elang belum beli rumah. Malah beli apartement, belum diisi apa - apa pula." Jawab Mama mertuaku, dengan jutek. "Tinggal disini aja." Jawabku. "Ya enggak bisa, istri itu harusnya ikut suami." Jawab Tante Rianti. "Rumah ini lega, Mas Elang bisa pilih mau tidur dimana." Balasku enggak mau kalah. "Hush, kalian akan tidur satu kamar. Di rumah Gagah atau disini". Putus Papa. Aku berdecak dan memilih pergi dari situ, menuju kamarku. Elang menggantikan Dara, membantuku membawa buntut gaun sialan ini. "Happy, pelan - pelan." Setengah berlari, aku menaiki tangga. Sampai di kamar, aku mengusir Elang. Aku ingin mengganti baju ribet yang kukenakan. "Biar aku bantu ya?" Apa?!! "Enggak, makasi. Mas dibawah aja, ikut ngobrol sama yang lain." Jawabku, hendak menutup pintu. "Kalau kesulitan, bilang ya, Py." "Iya." Pintu berdebum dengan keras. Aku menatap cermin dan melihat wajah penuh make up yang sangat asing. Itu wajahku kan? Bukan wajah Alya? Kenapa kami jadi mirip begini? Aku ingin menangis rasanya, menumpahkan segala kekesalanku hari ini. Puas lo Al? Puas hah?!! Tangisku pun pecah. Sepertinya aku tertidur cukup lama. Kepalaku pening. Sebuah ketukan di pintu kamar, menyadarkanku. "Kak, buka pintunya." Suara Mama. Dan aku masih mengenakan gaun sialan itu. Dengan susah payah, kubuka pintu kamar. Mama memandangiku dengan panik. "Belum ganti baju? Besok pesawat kalian jam delapan pagi, Kak." Pesawat apa? Memang mau kemana aku? "Susah buka resletingnya." Jawabku. "Biar dibantu mas Elang ya?" "Eh eh, enggak usah. Mama aja deh." Aku menarik lengan Mama yang hendak berbalik pergi. Mama menghela napas dan masuk ke kamarku. "Masa sama suami sendiri masih malu - malu." "Yakali, aku langsung nari b***l di depan orang yang cinta sama mbakku sendiri, Ma." Jawabku tandas. Gerakan tangan Mama berhenti, "kok ngomongnya gitu? Cinta atau tidak, Elang sudah halal melihat tubuh kamu, Kak." Aku diam saja, mulutku ini macam petasan banting kalau kesal. Maunya teriak - teriak dan bentak - bentak. "Kakak enggak lupa kan, tugas istri?" "Hm." Mama menghela napas lagi. "Melayani suami dengan benar dan nurut ya, Kak." "Hm." "Besok, kalian berangkat bulan madu. Itu hadiah dari kami, ke Okinawa." Bulan madu? Kurasa, aku akan asyik sendiri mengumpulkan kerang dan Elang akan sibuk mencari keberadaan Alya. "Hm." "Kak?" "Apalagi?" Tanyaku jengkel, berbalik memandangi Mama. "Mama mau punya cucu." Kan! "Nanti aku download." Jawabku asal. Mama mengelus kepalaku, "beneran. Mama mau cucu beneran. Anak kalian akan menjadi penentu bahwa perjodohan ini bukan sekedar bisnis." Memang bisnis kok, hatiku mencibir. Mama membantuku meloloskan diri dari gaun ini. Hanya tersisa tanktop hitam dan celana pendek ketat yang kukenakan, ketika kudengar suara pintu terbuka dan dari cermin, kulihat Elang berdiri disana. Spontan, aku menutupi dadaku yang terekspos dengan menyilangkan kedua tangan. "Aduhh, kalau masuk ketuk pintu dong, Mas." Omelku. Mama memukul pipiku dengan pelan, "Mama tinggal ya. Mas Elang mau istirahat tuh." Mama keluar, meninggalkan aku dan Elang dengan kecanggungan yang tampak jelas. "Koper aku dimana, Py?" Tanya Elang, memutus jeda yang mengudara. "Uhm, enggak tahu." Jawabku, sekenanya. Memang aku enggak tahu sih. Merasa risih, aku pun berlari ke kamar mandi dan mengambil baju handuk untuk menutupi tubuhku yang minim bahan. Setelah mengenakan baju handuk, aku keluar dan melihat Elang tengah membuka kopernya. Mungkin Mbak Lia, asisten rumah tangga kami, yang meletakkan koper itu disana. "Aku mandi dulu ya, gerah." Elang berlalu ke kamar mandi dengan peralatan tempurnya. Aku mengangguk dan mencari kapas juga tonik untuk menghapus make up dari wajahku. Elang yang baru selesai mandi, dengan cueknya mengunci pintu kamar dan memakai baju di depanku Eh maksudku, di belakangku. Tapi dirinya terpantul di cermin yang sedang kupelototi. Tidak! Aku menahan diri untuk tidak melihat ke arahnya dari cermin. Fokus pada wajahku. Tapi eh, ngapain dia? Hanya mengenakan handuk yang melilit pinggangnya, mengambil ponsel dan mengetik sesuatu. Pake baju dulu kek! Aduuhhhh. Bukannya tubuh dia enggak bagus lho ya, tapi kan, aduuhhhh. Lama - lama imanku juga bisa jebol disodori pemandangan seperti itu setiap hari. Tetesan air masih mengalir dari dadanya, ya Tuhan, ampuni mata jalang hamba yang menatap liar d**a, ugh, seksi itu. Stop, Happy! Dia cinta Alya, kamu mau dia membayangkan Alya saat menciummu? Batinku berbisik. Aku segera menampar pemikiran liarku dan kembali mengusapkan kapas yang basah dengan tonik untuk menghapus dempulan di wajahku, sekalian, menghapus pikiran nista nan m***m tadi. Lupakan tubuh berototnya, Happy!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD