Tujuh

1802 Words
Hari ini aku sudah mulai masuk kantor lagi. Masih di GG Cargo, karena menyatukan dua Perusahaan besar sangat memakan waktu. Papa memberikan kesempatan untuk menikmati posisiku yang baru saja naik level menjadi Manager. Dan karena aku sekarang sudah menikah dengan Elang, tentu mulai hari ini kami akan berangkat bersama. Di Perusahaan dengan aroma nepotisme yang kental seperti GG Cargo, tidak masalah menikah dengan rekan kantor. Yang penting tidak satu divisi. Jika sepasang suami istri berada dalam satu divisi, maka salah satunya harus siap pindah bagian. Yep, inilah, my new chapter in life. Here we go, Happy. Aku melangkahkan kaki mengikuti Elang, suamiku. Mantan calon suami Kakakku. Semua mata memandang ke arah kami. Salahkan ke-semena-mena-an Elang pada waktu. Mentang - mentang dirinya menjabat sebagai Direktur, ia memilih berangkat lebih siang. Tentu saja, kantor sudah ramai dan semua orang yang bertemu kami di lobby tidak segan - segan menatap dengan tatapan penuh telisik, penasaran, dan kepo akut deh pokoknya. Semua orang kenal Elang. Dia-lah penentu dan yang memutuskan, seberapa cepat dan banyak semua karyawan disini menerima gaji. Pengendali apakah sabun cuci tangan di toilet - toilet dalam gedung ini akan dicampur dengan air atau tidak. Dan, apakah pantry akan tersedia penuh dengan kopi, teh, gula dan antek - anteknya. Hei jangan salah, jika bubuhan tanda tangannya pada semua dokumen expenses tidak ada, jangan harap karyawan di sini akan sejahtera. Dan, beberapa dari mereka mulai mengenaliku. Manager GA yang baru. Happy. Si pendek gemuk yang sering juga dipanggil bogel, berbicara nyablak dan sentak sengor. Tahu enggak sentak sengor? Yang kalau ditegur, langsung nyolot duluan. Nah itu aku. Dan kenapa bogel? Padahal tinggiku 158. Salahkan b****g besar ini, membuatku terlihat pendek, bulet dan buntet. Setidaknya, begitulah aku dipanggil di sini. Elang dikenal karena posisinya dan tentu saja karena dia juga anak pemilik Perusahaan ini, sementara aku dikenal karena tingkah menyebalkanku yang terpatri dalam ingatan beberapa karyawan, terlebih OB yang suka bersantai – santai di tangga exit. Mereka menganggapku musuh, karena aku sering menegur mereka yang kelewat santai hingga sulit dicari di saat yang paling dibutuhkan. "Pagi Pak Elang dan Mbak--eh, Bu Happy." Sapa Yosep, Security yang sekarang sedang duduk di meja resepsionis. Sementara Mitha, resepsionis di sampingnya, hanya tersenyum sopan dan sedikit mengangguk. "Mbak aja, Pak! Emang saya udah kelihatan Ibu - Ibu apa!" Jawabku, judes. "Ah Ibu, enggak enak ah udah jadi istri Bos." Jawab si Yosep berkumis baplang. Elang tertawa menanggapinya. Aku memutar mata dan memencet tombol lift. "Saya kira Pak Elang pacaran sama Mbak yang cantik itu, Mbak siapa ya anaknya Pak Latief." Lanjut Yosep. Aku mengetuk - ngetuk heels sepatu kanan dengan tidak sabar, ingin segera masuk ke dalam benda kotak ini. Menghindari percakapan pancingan Yosep. Dasar Bapak - Bapak tua, kepo banget sama urusan orang! "Alya, Pak. Kakaknya Happy itu." Yosep tertawa tak tahu malu, kumisnya bergerak - gerak menjijikkan. "Oh Kakaknya. Jadi sebenarnya pacaran sama Bu Happy tapi diam - diam ya, Pak?!" Retorik! Itu pertanyaan retorik. Elang menyentuh punggungku, setengah memeluk. Saat suara lift berdenting dan pintunya terbuka, Elang mengangguk sopan pada Yosep tanpa mengindahkan ocehan kepo bin unfaedahnya barusan dan membimbingku masuk ke dalam lift. Karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, tentu saja semua karyawan sudah berada di tempatnya masing - masing. Lift hanya berisi kami berdua. Aku sudah akan memprotes sikapnya yang kelewat sopan, tapi keburu Elang yang membuka suara. "Jangan ditanggapi, cuma penasaran aja dia. Kalau kamu ladeni, kelihatan benarnya. Apalagi sampai kamu sewot kayak tadi." Aku menghembuskan napas kesal, "aku memang dikenal tukang sewot di sini. Kalau Bapak lupa." Jawabku, menekan kata Bapak. Elang tersenyum kecil dan tidak mempedulikan sewotanku. Lantaiku sampai lebih dulu, Elang mengatakan akan langsung menuju ruangannya. "Ingat, baru pulang madu, jangan marah - marah. Terlihat sekali tidak dapat jatah." Elang berpesan dengan senyum mengejek sebelum pintu lift terbuka. Aku baru akan membalas ketika pintu berdenting dan terbuka. Di depan lift, berkumpul semua staff GA yang langsung berteriak, "Surprise!" Dan menyemprotkan snow spray. Elang tertawa, menahan pintu lift. "Pak Elang enggak mampir dulu?" Tanya Dicky, salah satu staf-ku. "Maaf, saya sudah ditunggu Pak Raja. Terima kasih kejutannya." Jawab Elang. Aku pamit pada Elang dan segera melangkahkan kaki keluar lift. Yang langsung disambut dengan bar - bar rekan divisiku. Bahkan ada Desti. Dia berlari memelukku. "Yang habis honeymoon, datengnya kesiangan." Canda Desti sambil memegang bahuku dan mengumumkan pada semua orang yang berada di sini. Aku mendengus tidak peduli. "Pacaran sama Direktur diem - diem." Dea, anak HRD, mencolek pipiku. Aku memberinya pelototan Suzanna, Dea terkikik. Dan seharian ini, aku menerima banyak ucapan selamat, ungkapan tidak menyangka bahkan pertanyaan tentang Alya yang memang sering bertandang kemari dan menunjukkan kemesraan dengan Elang, sebelum dia kabur dan melarikan diri. Bukannya aku tidak tahu, mereka berbisik - bisik di belakangku. Membuat beraneka berita dan gosip, dimulai dari, Elang yang terpaksa menikah denganku karena uang dan itu tidak sepenuhnya salah sebenarnya, hanya saja aku tidak suka mendengarnya. Hingga pertanyaan, apakah aku menikung kakakku sendiri dan tengah hamil sekarang, sehingga Elang harus bertanggung jawab dan Alya frustasi dengan melarikan diri. Konyol. Aku baru saja keluar dari toilet ketika mencium bau asap rokok di tangga exit, yang pintunya bersebrangan dengan toilet perempuan. Aku mendorong pintu itu hingga terbuka dengan kuat. Dan mendapati beberapa karyawan perempuan yang sedang merokok, kurasa mereka anak call centre yang kebetulan satu lantai denganku. Dan seorang office girl yang ikut menggosip bersama mereka. Objeknya, tentu saja masih aku. Mereka semua menengok dan kaget melihatku berdiri di pintu. "Eh Ibu, sebatang lagi ya, Bu. Asem nih mulut." "Muka kamu tuh juga asem! Beresin, sapuin dan bersihin. Di lantai satu ada smoking area, males banget sih turun. Ada lift itu, enggak lewat tangga." Cerocosku. "Kamu juga! Malah nimbrung. Mereka lho, mempersulit kerjaan kamu." Tunjukku pada office girl yang sekarang menunduk dan meminta maaf. Aku kembali menutup pintu tangga exit, dan sempat mendengar perkataan salah satu dari mereka. "Enggak tahu, kurang o*****e kali dia. Hihihi, masa Pak Elang enggak bisa ngasih o*****e. Atau mungkin dia aja yang udah kelewat uzur." Aku memegang kenop pintu hendak membukanya lagi, tapi kuurungkan. Aku memilih beranjak kembali ke ruanganku. Dasar cabe - cabean sialan! Kurang ajar banget ngatain aku kurang o*****e. Helloo. Rasanya o*****e aja aku belum tahu, gimana bisa bilang kurang? Minta dipindah ke bagian gudang tuh anak. Huh! Senyuman Raja yang sedang berdiri di depan pintu ruanganku menghentikkan gerutuan dalam kepalaku. "Kok ditekuk mukanya, kan baru pulang liburan." Raja bertanya dengan dua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Aku tersenyum segaris, "ada apa, Pak? Tumben turun gunung." Sapaku, sembari membukakan pintu ruangan, mempersilakannya masuk. Raja mengikutiku masuk dan kuarahkan kursi untuknya duduk. "Cuma mau nanya kabar pengantin baru yang habis honeymoon." Jawabnya dengan senyum menggoda. Aku mencibir terang - terangan, lupakan kalau dia Bos besar. Bertanya soal pribadi, membuat tembok pemisah zona bos - karyawan itu runtuh dengan sendirinya. "Ngeledek, padahal udah tanya ke Mas Elang tuh." Raja tertawa, memperlihatkan lesung pipinya yang hanya berada di sebelah kanan. "Elang jawabnya enggak asik ah. Mau dengar jawaban kamu." Aku memilih membuka portal Perusahaan dan memilah berita terkini disana. Mengabaikan pertanyaan Raja. "Hei, Py! Kok aku dicuekkin." Sungutnya, sembari menutup layar laptopku dengan tangannya yang lebar. "Mau nanya apa sih, Mas? Kuat berapa ronde? Cetak gol berapa kali? Atau ukuran itu-nya Mas Elang?" Sahutku, to the point. Raja spontan tertawa. Karena sedari pagi, pertanyaan - pertanyaan sialan itulah yang kudapatkan. Jadi, aku tebak saja Raja akan menanyakan hal serupa. "Sensi banget kamu, kenyang ya ditanya begitu terus?" "Sampe mau muntah." Jawabku acuh tak acuh. "Jadi, kalian tinggal di rumah mami?" "Mau dimana lagi, katanya apartemen mas Elang belum rapi." Jawabku, sambil mengedikkan bahu. "Udah ah, aku mau cari Erwin. Malah jadi mampir kesini." Ia berdiri dan membuka pintu. Erwin adalah Departemen Head HRD yang berada satu lantai denganku. Aku mengerutkan dahi, Raja tertawa. Merasa sukses mengerjaiku. Cuti berbulan madu rupanya membuat pekerjaanku menumpuk. Elang dengan sabar menunggu di ruanganku sambil memainkan ponselnya. Kami pulang saat hari sudah gelap dan kantor mulai sepi, kecuali bagian gudang dan ekspedisi di lantai satu, yang masih berkutat dengan pengiriman barang. "Mau makan dulu enggak, Py?" Tanya Elang tepat di saat perutku berbunyi. Nyaring. Ia tertawa. "Enggak usah dijawab kayaknya." Sahutku sambil membuka pintu mobilnya. Rupanya keputusan makan di jalan berbuah kemarahan mami mertuaku. Aku tidak tahu jika mami menunggu kami untuk makan malam. "Apa susahnya kasih kabar kalau akan lembur?" Mami masih mengomel, pada Elang sih, tapi setiap kata ditekankan seolah untukku. "Karena Elang kira Happy akan pulang jam lima tadi, Mi. Mana tahu kalau lembur." Elang berkilah. Mami melirikku sinis dan mendengus, "manja banget minta ditunggui." Aku mengangkat kepala dan memandang mami, "aku enggak minta tungguin. Mas Elang aja yang--" "Mi, ya wajar kalau Elang tungguin. Happy kan istri Elang sekarang." Elang memeluk bahu mami-nya. "Aku ke atas duluan, Mas." Beranjak dari hadapan Mami, aku pergi menaiki tangga dan menuju kamar kami. Sial, aku melupakan tasku yang tadi sempat kuletakkan di kursi meja makan. Saat hendak berbelok ke ruang makan, kudengar suara Elang yang sedang menegur tante Rianti. "Mi, hargai Happy dong. Dia tidak kabur saat akad saja sudah bagus. Kalau Mami lupa, Happy menerima dengan terpaksa pernikahan ini. Sekarang, dia malah mau menuruti kemauan Mami tinggal disini. Meninggalkan kenyamanan dan keluarganya. Dia terpaksa, sendiri dan mungkin terluka dengan semuanya. Tolong jangan ditambah kesakitan dia, Mi. Please." Suara Elang lirih, tapi terdengar jelas olehku yang berada di balik tembok yang memisahkan ruang makan dan ruang keluarga. "Bela terus, sudah jadi istri kok masih manja." "Dia enggak manja, Mi. Elang yang sengaja nungguin, enggak ada yang salah kan? Suami nungguin istrinya yang lembur." "Ya salah, harusnya dia berhenti kerja." "Mami, dia baru saja mendapatkan penenggakuan atas kinerjanya. Biarkan Happy menikmati hasil kerja keras dia." "Sebenarnya kenapa sih Alya sampai kabur? Kamu beneran selingkuh sama Happy?" "Ck. Kenapa masih dibahas sih, Mi? Kalau Alya cukup bodoh dengan lari, aku tidak akan jadi i***t dengan mengejarnya seperti orang gila. Cukup tentang Alya, Mi. Sekarang, suka tidak suka, Mami harus menerima Happy sebagai istri Elang." "Mami enggak suka ide ayah kamu soal ini." "Enggak ada yang suka, tapi kami semua cukup dewasa untuk mengesampingkan ego. Elang harap, Mami juga." "Mas-" Kudengar suara deritan kursi yang didorong secara kasar dan suara Mami yang memanggil Elang, aku segera berlari kembali ke kamar. Menaiki dua anak tangga sekaligus. Dan langsung merebahkan diri di atas kasur. Tak lama, Elang masuk membawa tasku dan menyerahkannya padaku. Wajahnya tampak kesal. "Kamu mau mandi enggak? Atau aku dulu?" Tanyanya sambil membuka dasi. "Mas Elang aja, aku enggak mandi malam." Dia membuka baju di depanku dengan santainya. Aku pura - pura menyibukkan diri dengan ponsel dan sesekali mengintip kegiatannya yang sedang bersiap mandi melalui jari - jariku yang memegang ponsel. "Lihat aja, Py. Halal kok." Katanya, kemudian ngeloyor ke kamar mandi. Sementara aku terperangah kaget, tertangkap basah melirik tubuh berototnya. Aduh, mata, lo enggak sabar banget sih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD