Enam

1800 Words
Setelah puas dengan Shibuya, kami pun siap kembali ke tanah air. Mungkin cuma aku dan Elang yang menghabiskan bulan madu dengan bermain - main, atau cuma aku yang sengaja bermain - main untuk membuat Elang lelah dan hanya menginginkan tidur saat kembali ke hotel? Hehehe. Biarin aja, daripada diajak nonton film yang mengandung plus plus, sumpah itu tuh canggung banget. Memang sih, aku sudah kenal Elang dari masih sekolah SMP. Tapi bukan sebagai orang yang aku suka. Bahkan sedikitpun membayangkan Elang menjadi suami tuh enggak pernah terpikirkan olehku. Apalagi, sejak Elang dan Alya resmi berpacaran, yang ada, aku menganggap Elang seperti Kakak laki - laki yang tidak aku punya. Untung saja Elang cukup mengerti isyaratku, sehingga dia tidak meminta yang aneh - aneh. Tidur saja berjauhan, kadang, Elang mengalah dengan tidur di sofa. Meski akhirnya aku enggak tega dan memintanya tidur di kasur yang sama. Kami sedang menunggu Pesawat yang akan membawa kami kembali ke tanah air. Aku baru saja membelikan dua gelas kopi untukku dan Elang, ketika kulihat Elang sedang ngobrol dengan orang Indonesia juga sepertinya, tapi agak kebule-bul-- "KAFKA??!!!" Elang dan pria itu menoleh berbarengan, diikuti senyum tengil makhluk berambut keriting gondrong itu. "Hadiirrrr!" Jawabnya, sambil tertawa. Tidak kusangka bertemu dengannya, musuh bebuyutanku sekaligus idola. Aku mengenal Kafka dari Bowo. Pria setengah bule, setengah Sunda yang sering membawakan acara jalan - jalan favoritku. By the way, aku, Bowo dan Desti jadi keranjingan travelling juga karena acara dia itu. "Kamu kenal, Py?" Elang mengambil gelas yang kusodorkan padanya. Aku mengangguk antusias, meski raut wajah Kafka terkejut melihatku. Tentulah, dia tahu bahwa Elang dan Alya berpacaran, pasti dia tidak tahu kalau yang menikah dengan Elang justru aku. Karena setahu aku, Kafka juga berteman dengan Elang cukup lama. "Eh Happy Besdey." Celetuknya. Dari pertama kali kenal, Kafka memanggilku Happy Besdey. Maksudnya Birthday, tapi sengaja dibikin Besdey sama dia. Aku agak bingung sama volume otaknya kadang - kadang, ngobrol sama dia kebanyakan unfaedah-nya. Aku mencibir, "Siapa sih yang enggak kenal Kafka Rauf, pembawa acara travelling yang paling hits." Jawabku setengah nyinyir. Kafka terbahak. "Bisa aja kumis Doraemon." "Hahah---apaaa?" Dia manggil aku apa tadi? Kumis Doraemon? Elang terbahak, "ini istri gue, Happy." Elang merangkul bahuku. "Kalian kenal lama?" Kafka mengulurkan tangannya yang kusambut dengan remasan kencang ala Happy. Dia meringis. "Kuat banget tenaga lo, Py. Abis nguli dimana?" "Enak aja nguli! Abis honeymoon tahu! Kenal lewat Bowo, dia temenan juga sama Bowo." Jawabku jutek. Ganteng sih, tetep aja nge-bete-in. Dia bilang apa tadi? Kumis Doraemon sama apa tuh? Abis nguli? Hellooo, pewaris Perusahaan besar ini. Sepele! "Oh honeymoon, masih panas dong ya." Celetuknya. Aku mendelik, Kafka terbahak. "Berarti nama lo enggak Happy besdey lagi, sekarang ganti jadi Happy Wedding." "Terserah lo, Kaf." Aku mengibaskan tangan ke arahnya tidak peduli. "Atau Happy Weekend?" "..." "Oh ... Happy Ending." "..." "Eh jangan deh, kan baru nikah. Masa udah ending aja. Hhmmm, gimana kalau Happily ever after? Deal?" "Bodo amat, Kaf. Bodo!" Elang menertawakan kami. "Kenapa harus Amat? Kenapa enggak si Jupri atau Si Soleh?" Aku memutar mata. Kafka memang se-absurd itu, saudara - saudara. Dia kembali tertawa, kemudian melanjutkan obrolan dengan Elang. "Kita cocok lagi, Bro. Kalau bikin Perusahaan, namanya digabung aja. Kafka Elang. Bikin Perusahaan penerbangan." "Maaf, MasBro. Korelasinya dimana ya?" Aku menginterupsi. "Kafka kan artinya burung. Hehehe." Burung banget nih? Elang tertawa sembari meninju lengannya, aku tersenyum kecut. Aku pun memilih membuka ponsel dan berselancar di i********: daripada mendengarkan obrolan tidak bermanfaat dua makhluk berburung itu. Hingga nama kami dipanggil untuk menaiki Pesawat tujuan Indonesia. Ternyata kami satu Pesawat juga dengan Kafka. Namun tempat duduk kami terpisah jauh, baguslah. Berbicara dengannya menyulut mulut petasanku yang meledak - ledak. Iya, dia se-nyolot dan se-menyebalkan itu. "Mas, nanti kita tinggal di rumah siapa?" Saat pesawat sudah benar - benar take off dan aku melepas seatbealt-ku, kami mulai mengobrol lagi. "Rumahku. Kita akan tinggal di apartement, tapi belum rapi." Aku cemberut, "enggak bisa dirumah aku aja?" Elang menggeleng, "masa aku yang numpang sama mertua? Kamu yang mestinya ikut suami, Py." "Mami kamu jutek banget." Kataku, jujur. Elang mengelus tangan kananku yang berada di atas paha. "Enggak kok, mami cuma masih belum terima kenyataan aja. Lagipula, ini mungkin yang dinamakan jodoh. Pacarannya dengan siapa, menikah dengan adiknya. Eh." Aku memukul lengannya, dia tertawa. Elang sebenarnya baik, si bodoh Alya itu akan menyesal telah meninggalkannya. Dara menjemput kami di Airport, setelah berpisah dengan Kafka yang langsung menuju parkiran, kami pun menghampiri Dara. Padahal, dia sedang hamil muda. Hebat, sanggup nyetir sampai Bandara dari rumah. "Mas Raja kemana memang, Mbak?" Elang mengambil alih kemudi dan membukakan pintu depan untukku yang bingung. Kukira Dara akan duduk di depan. "Meeting, Lang. Naik saja, Py, biar Mbak di belakang." Dara sudah membuka pintu belakang untuk dirinya sendiri. Aku pun duduk di kursi depan dengan canggung. "Gimana honeymoon-nya?" Dara mencolek bahuku dan mengerling usil. Aku meringis, kurasakan bahu Elang menegang. "Seru, Mbak." Jawabku, malu - malu. Duhh, bukan Happy banget sih. Tapi ini tuh semuanya serba canggung. Aku biasa ngobrol dengan Dara tentang apa saja, sebagai adik Alya. Bukan adik iparnya. Gusti! "Seru ya, main bola. Bisa cetak gol enggak?" Elang berdehem keras, sementara kurasakan wajahku memanas. Tunggu, kami tidak melakukan apa - apa, tapi kenapa seperti tertangkap basah sedang melakukannya di depan Dara. Oh my God! Dara menepuk bahu kami berdua, "Mbak maklum kok." Katanya dengan bijak. Idiih, maklum apaan. Tapi kalau aku sangkal, justru ketahuan selama di Jepang kami hanya bermain - main, alih - alih fokus pada proyek pembuatan Bayi. Pembuatan Bayi. APA???!!!! OH NO! Bangunkan Happy yaa Allah, semua hanya mimpi kan? "Aduuh!" Kepalaku yang terantuk jendela menjadi jawaban, bahwa semua ini nyata. "Eh maaf, maaf, Py. Sorry, mobil di depan tuh halangi jalan kita. Kamu enggak apa - apa?" Elang mengelus kepalaku dengan panik. Sementara di kursi belakang, Dara bersiul keras. "Enggak apa - apa kok, Mas." Jawabku, untuk membuatnya berhenti mengelus kepalaku---yang salah. Kan yang kepentok sebelah kiri, dia malah ngelus - ngelus yang kanan coba. Ish. Di rumah Elang ternyata ramai dengan keluarga kami, bahkan ada Mama dan Papa yang turut menyambut kedatangan kami. Berasa seperti atlet olimpiade yang kalah dalam pertandingan dan mereka datang untuk menghibur. Setidaknya, begitulah yang aku rasakan. Aku yang kalah berargumen dengan Eyang seminggu sebelum pernikahan dan harus menerima kekalahan telak ini dengan lapang jiwa. Karena lapang d**a judul lagunya Sheila on 7. "Gimana penerbangannya, Kak?" Papa memelukku, begitu aku mendekat untuk menggelendot padanya. "Capek." Jawabku sekenanya. "Ehem, capek banget ya? Sampai enggak bisa kemana - mana?" Celetuk Arka, yang baru kulihat ternyata sedang mengobrol dengan Merpati. "Capek tahu, perjalanan lintas Negara. Dari Asia Tenggara ke Jepang." Semprotku pada Arka. "Halah cuma beberapa jam penerbangan aja, lebay!" Katanya lagi. Papa segera melerai sebelun kukeluarkan jutsu yang bisa melenyapkan bocah tengik itu. "Sudah, katanya capek. Istirahat dulu sini, minum dulu." Papa menyodorkan segelas air sirup yang disediakan maminya Elang. Mami mertuaku. "Mama bawain baju - baju kamu kesini, dari kemarin sebenarnya sudah dicicil sih." Tanpa sengaja, minuman yang sedang kuteguk tersembur keluar. "Mama!" Teriakku, kok Mama tega mengusirku secara halus seperti ini sih! "Kenapa?" Tanya mama dengan wajah bingung. "Mama ngusir aku?" Spontan semua yang ada disini tertawa, kecuali tante Rianti. "Ya enggak lah, Kak. Kamu kan akan tinggal disini, Mama bawain baju - baju yang akan kamu pakai nanti. Enggak semua kok, masih banyak di lemari kamar kamu." Mama mengelus rambutku. Aku menggerutu, "tunggu aku kek gitu. Enggak sabar banget nyuruh pindah." "Bukannya berterima kasih, malah marah." Tante Rianti bersuara, pemirsaaaah. "Karena itu termasuk privasi, Tante. Agak shock aja, baju - bajuku diangkutin Mama." Mama mengelus punggungku dengan isyarat untuk diam. Tante Rianti mendengus dan bangkit dari duduknya, "makan siang dulu, Dit. Ajak Latief." Serunya dan berlalu menuju meja makan. Elang tersenyum supportif padaku dan mengatakan ingin menunjukkan kamar kami. Aku segera bangkit berdiri dan mengikutinya menaiki tangga. Kamar Elang adalah kamar pria pada umumnya. Bernuansa gelap, dengan wallpaper berwarna hitam bermotif batik dengan ukiran berwarna perak. "Kalau lampunya dimatikan, ukiran ini nyala. Kelihatan kalau sudah malam." Aku mengangguk mendengar penjelasannya. Kamar yang simple, hanya ada satu kursi dan meja berukuran sedang, tempatnya meletakkan laptop dan berkas kerja sepertinya. Dibalik kursi, terdapat rak buku yang tidak terlalu besar, mungkin 1 x 2 meter, yang berisi buku koleksi Elang. Kasurnya berukuran satu. Elang duduk di atasnya, menatapku spekulatif. "Kenapa?" Tanyaku, masih mengedarkan pandangan. Memindai seluruh isi kamar ini dan berakhir di kamar mandi yang tertutup. "Kamu lagi inspeksi ya? Bersih kok, Py. Cuma kadang ya, suka asal naruh barang." Jawabnya. Elang melipat kedua kaki di atas kasur sekarang. "Kita tidur di sini?" Aku menunjuk kasur ber-sprei putih itu. Elang mengangguk, aku meringis. "Beli sofa dong, Mas. Yang multifungsi jadi kasur. Aku tidur disitu aja nanti." Kataku kemudian. Elang mengangkat alisnya, "kamu masih belum percaya sama aku, Py? Seminggu kemarin aku kan enggak ngapa - ngapain kamu." Nada suaranya tersinggung. Aku membuang muka ke luar jendela yang terbuka. "Iya sih, tapi siapa tahu. Mas Elang kan tetap lelaki normal. Eh, normal beneran kan?" Tanyaku penuh selidik ke arahnya. "Iya lah normal, mau coba?" Ia menantang. "Enggak dulu deh, makasi." "Hallo pengantin baru, makan siang dulu. Bikin dedeknya ditunda malem aja ya." Suara Arka dari balik pintu yang setengah terbuka, terdengar menjengkelkan. Apa yang dia pikirkan tentang kami? Dia juga tahu Elang masih mencintai Alya. Ya kan? Siapa yang bisa tiba - tiba mencintai wanita lain, sementara dia sudah berencana selama setengah umurnya untuk menikahi wanita yang dia cintai? Nothing! Ayah dan mami Elang asyik mengobrol dengan kedua orangtuaku, sementara Arka sibuk modusin Merpati. Aku hanya makan dalam diam. Aura ketidaksukaan tante Rianti sangat terasa untukku. Dia bahkan seperti tidak menganggapku ada, padahal ada orangtuaku lho. Hebat. Mama dan Papa sepertinya sangat merasa bersalah dengan kepergian Alya, hingga tidak bisa menemukan harga dirinya untuk menyelamatkanku di depan mertuaku sendiri. Aku meletakkan sendok dengan keras, meneguk air minumku dengan berisik dan pergi dari meja makan. Aku tidak bisa berkompromi dengan sikap tante Rianti yang sangat tidak dewasa menyikapi keputusan Eyang dan papa tentang menikahi Elang denganku. Seolah - olah, dia tidak rela Elang menjadi suamiku. Dikira aku suka apa sama anaknya? Iyuh! Kalau bukan karena papaku tercinta, aku tidak akan mau menerima perjodohan sialan ini. Aku mengeluarkan baju - baju kotor dengan kasar dari dalam koper, kudengar langkah kaki di belakangku. "Py." Tangan Elang menyentuh bahu kananku. Aku bergeming. "Maafin mami ya," dia menghembuskan napas dengan frustasi. "Pelan - pelan, mami akan merubah sikapnya kok ke kamu. Mami masih tidak percaya deng--" "Bilang sama Mami kamu, aku enggak akan menyentuh kamu seujung kuku pun. Kalau itu yang mami takutkan. Sana, jauh - jauh!" Aku menggerakan bahu, mengusir tangannya yang tadi berada disana. Elang mundur, mengucapkan maaf dan keluar dari kamar sembari menutup pintu. Sementara napasku menderu cepat karena emosi. Aku tahu, bukan salahnya. Elang juga korban seperti aku. Tapi, entahlah. Aku benci situasi ini. ~~~tbc~~~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD