Bab 11

1108 Words
“Berhasil?” tanya Clove begitu aku dan Ginger muncul di hadapannya. Dia sedang duduk bersama Salt di meja depan perapian, terlihat gelisah seolah menunggu sesuatu. Aku melihat Ginger mengangguk. Menuang air dari teko ke dalam gelas dan meminumnya dengan sekali teguk. “Sugar bisa mengeluarkan kemampuan telekinesisnya. Dia melemparku dan menumbangkan dua batang pohon,” kata Ginger datar, menarik kursi dan duduk di samping Clove. Kedua orang itu—Clove dan juga Salt—kini menatapku. Salt dengan tatapan biasanya, dan Clove dengan mata yang berbinar, terlihat bersemangat. Sementara aku hanya diam dan ikut duduk, belum begitu mengerti kenapa mereka membicarakan kemampuanku. “Sekarang aku mengerti,” kata Clove berdiri dan mengambil sendok dari tempatnya, kembali duduk, meletakkan sendok itu di meja, sekitar tiga puluh centi dari hadapanku. “Coba konsentrasi, Sugar. Pindahkan sendok ini.” Aku tidak membantah, mulai fokus pada sendok yang ada di depanku. Menit berlalu, benda itu sama sekali tidak bergerak. “Pikirkan sesuatu yang membuatmu sedih, marah atau bahkan takut,” instruksi Clove, “dan tetap berpikir menyuruh benda itu bergerak.” Aku menanam pikiran untuk menggerakkan sendok itu, kemudian mencoba memikirkan sesuatu yang membuatku sedih. Jakarta. Aku merindukan tempat itu, aku merindukan apartemen, merindukan menatap bulan separuh dari halte bus ketika harus pulang terlambat karena lembur. Lalu, aku memikirkan bagaimana mereka—teman-teman kantorku—bergunjing, mengatai aku perawan tua. Rasa bosan dengan kehidupanku yang selalu sial dan bahkan kesialanku selalu bertambah dari waktu ke waktu. Pikiran itu membuat dadaku terasa sesak, sakit seolah sesuatu yang tak kasatmata meremas jantungku, marah dengan kondisiku. Sendok itu berguncang, lama-lama semakin kencang, kemudian tiba-tiba saja terlontar dan menghasilkan bunyi berdenting saat menyentuh teko dari tembaga sebelum kemudian akhirnya jatuh ke lantai. “Haa…!” seru Ginger puas, disusul tepukan tangan dari Clove, bahkan Salt pun tersenyum. Aku mengerjap. “Aku bisa,” gumamku takjub. “Tentu, kau Pure Treasure.” Clove menopang dagu dengan kedua tangannya, menatapku dengan sorot matanya yang penuh misteri. “Ehm, ada yang harus kulakukan,” kata Ginger berdiri, “menjadikan pohon yang tumbang jadi kayu bakar.” Dia melirikku, seolah menegaskan bahwa kayu itu tumbang karenaku. “Kau mau ikut, Salt?” Secepat kilat aku menoleh pada Salt. Dia, tanpa menjawab berdiri dan mengikuti Ginger. Aku menatap kepergian keduanya. Ketika mereka sudah benar-benar tidak terlihat, aku kembali menatap ke depan, melihat Clove yang kini tersenyum-senyum padaku. “Apa?” tanyaku curiga. Clove masih diam, tetap dengan sorot mata dan senyum yang penuh misteri. Aku memicingkan mata, dan dengan ekspresi tanpa dosa dia menanyakan sesuatu yang mampu membuatku salah tingkah. “Kau suka pada Ginger?”  “Tidak!” sahutku terbelalak, tapi diam-diam meredam jantungku yang berdegup lebih kencang. “Kau tak bisa membohongiku,” katanya masih tersenyum, mengubah posisinya hingga hanya bertopang dagu dengan satu tangan. Maniknya tetap tertuju pada manikku. “Dengar, Tuan Sok Tahu! Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, jadi sebaiknya aku pergi,” kataku bersiap berdiri. Clove meraih tanganku cepat, menyuruhku duduk kembali dengan isyaratnya. “Okey, lupakan soal itu. Ada yang mau kubicarakan denganmu, itulah sebabnya Ginger dan Salt meninggalkan kita.” Menangkap keseriusan pada ucapannya, aku kembali ke posisi semula. “Apa?” tanyaku menarik tanganku yang digenggamnya. “Latihanmu beberapa hari yang lalu sepertinya tidak menghasilkan apa-apa, itu membuatku berpikir. Mengingat lagi saat pertama kau mengeluarkan kemampuan telekinesismu.” Clove diam sesaat, aku masih mendengarkan. “Kau dalam keadaan takut saat itu, benar?” Aku mengangguk. Teringat kembali ketakutan akan tubuhku yang meledak. “Terpikirkan olehku kalau kemampuanmu hanya akan keluar jika emosimu berperan, dan aku ingin memastikan tentang itu.” Pada bagian ini, Clove terlihat salah tingkah. Menggaruk-garuk leher belakangnya dengan kikuk. Aku memicingkan mata curiga. “Aku tahu kau memperhatikan Ginger, mungkin sebenarnya kau suka padanya, jadi kupinta Salt tidur di kamar Ginger selama beberapa malam, berharap kau melihatnya suatu pagi….” Ucapannya benar-benar membuatku terkejut, hawa panas langsung menjalar dari leher ke wajahku. “Wajahmu mengatakan kalau aku benar,” kata Clove dengan cengiran lebar, memperlihatkan giginya yang berderet rapi. “Kau merah padam,” lanjutnya lagi menunjuk wajahku. Aku menepis tangannya pelan, mencondongkan tubuhku mendekat ke arah Clove. “Jadi kau bilang pada Ginger dan Salt kalau aku suka Ginger?” bisikku. “Tentu saja tidak!” sahut pria itu. “Aku bilang, mungkin jika kau menemukan ada yang terlihat main-main dengan misi ini, akan membuatmmu marah dan bisa memunculkan kemampuan telekinesismu. Setelah sebelumnya kuceritakan teoriku, tentunya.” Aku menarik napas lega, mengerti dengan penjelasan Clove. Dengan menyuruh Salt tidur di kamar Ginger, mereka ingin menunjukkan jika kedua orang itu tidak serius menjalankan misi, dan kemungkinan besar akan membuatku marah. Tapi, bagaimanapun, aku harus meluruskan hal ini pada Clove. “Dengar, Clove. Jangan pernah berpikir aku menyukai Ginger melebihi aku menyukai kalian. Bagiku dia sama seperti teman-teman yang lain,” tegasku menatap pria itu tepat di maniknya. Clove tersenyum, membalas tatapanku dengan sorot mata penuh canda. “Aku mengerti.” “Okey,” kataku lega, menegakkan tubuh. “Jadi, mereka, maksudku Ginger dan Salt, tidak berbuat apa-apa saat tidur bersama?” tanyaku pelan, mencuri tatap pada pria itu. Clove menyeringai dengan cara yang menyebalkan. “Haa … sorry, Sugar. Aku tidak tahu. Itu urusan mereka jika ingin memanfaatkan kesempatan itu,” katanya berdiri dan mengedipkan sebelah matanya sebelum berlalu dari hadapanku. ****   Beberapa hari kemudian, aku benar-benar sudah menguasai kemampuan telekinesisku. Meski menurut Matthew belum sempurna. “Kau harus berhenti mengandalkan emosi untuk mengendalikan kemampuanmu, Nona,” katanya ketika kami berkumpul malam itu. “Dia akan melakukannya,” sahut Clove mengunyah apel yang dihidangkan Percy. “Bagaimana caranya?” tanyaku pada Matt, melirik Clove sebal. “Bermeditasilah setiap ada kesempatan.” “Aku tidak pernah meditasi,” sahutku. “Aku akan mengajarimu,” kata Matt tersenyum, “sekarang juga. Ikuti aku, Nona. Kau juga Chili.” Aku melirik Chili yang berdiri enggan, mengikuti Matt. Aku menyusul di belakang mereka. Matt membawa kami ke tepi sungai, dia melompat ke atas salah satu batu besar dan menyuruh kami melakukan hal yang sama. Aku dan Chili memilih batu kami masing-masing. “Duduklah seperti posisiku,” kata Matt pelan, yang sudah duduk bersila dengan kedua tangan di atas lutut. “Tegakkan tubuh kalian, pejamkan mata, relax….” Aku melakukan seperti apa yang ia suruh. Hening.  Lalu perlahan, suara-suara yang tidak kudengar sebelumnya terdengar jelas. Suara angin yang berembus, membelai dedauanan hingga menimbulkan bunyi gemerisik; suara aliran sungai, bahkan gemericik air jatuh dari hulu sungai tertangkap telinga. Aku terhanyut dalam ketenangan … entah berapa lama. “Cukup.” Perintah Matt dan suara tepukan tangannya membangunkanku. Aku membuka mata, melihat Chili pun melakukan hal yang sama. “Meditasi mengajari kalian untuk berkonsentrasi. Jadi, lakukan setiap ada kesempatan. Kalian akan bisa mengendalikan kemampuan yang kalian miliki.” Matt menatap kami serius. “Percayalah, menjadi Treasure itu sangat berat, dan itu bukanlah pilihan…” gumamnya menerawang. Tiba-tiba saja aku merasa ada batu besar yang dijatuhkan ke pundakkau. Ah, kenapa mesti aku? “Kita harus kembali,” kata Matt melompat turun. Sepertinya kami cukup lama bermeditasi, udara dingin yang menusuk menandakan hari sudah berganti. Bulan penuh yang menggantung mulai condong ke peraduan, namun cahayanya masih cukup menerangi jalan yang kami lewati. Aku mensejajarkan langkah dengan Chili, lebih ke ingin mengajaknya mengobrol. “Aku baru sekali melihatmu melakukan teleportasi.” “Aku tidak terlalu suka dengan kemampuan itu,” gumam Chili acuh. “O, ya? Kenapa?” “Bukan urusanmu.” Jawabannya membuatku terbelalak. Sebelumnya, kita memang belum pernah berbincang secara langsung, tapi aku tidak mengira Chili benar-benar dingin. Sepertinya hanya Pepper yang mampu dekat dengan pria itu. Rasa kesal membuatku berjalan melewatinya dan memilih untuk berada di samping Matt. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD