Bab 14

1237 Words
Kembali ke rumah Matt dan Percy. Kami berkumpul di meja depan perapian dalam diam, sampai satu per satu kembali ke kamar masing-masing. Termasuk Matt dan Percy. Hanya tinggal aku dan Ginger sekarang, duduk berhadapan. “Jadi, apa yang kau cari di duniamu?” tanya Ginger menyeringai. “Bukan urusanmu,” sahutku, berdiri dan meninggalkan pria itu sendiri. “Selamat malam, Sugar. Tidur yang nyenyak, besok hari sibuk buat kita,” kata Ginger. Aku tak menjawab apa-apa, masuk ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. Ucapan Ginger seolah sebuah perintah bagi alam bawah sadarku, langsung tertidur begitu kepalaku menyentul bantal. Keesokan paginya aku dibangunkan cahaya yang menerobos masuk, dengan musik kicauan burung menyambut hari di luar. Sesaat terdiam sebelum benar-benar terbangun. “Sugar!” Suara Pepper diiringi ketukan di pintu membuatku segera beranjak bangun. Membuka pintu. “Aku khawatir kau kenapa-kenapa,” cengir gadis itu menerobos masuk, duduk di pinggiran ranjang. “Biasanya kau bangun paling awal.” “Aku tidur nyenyak sekali,” jawabku menguap, “ternyenyak selama berada di Mate Sphere,” gumamku lagi. “Percy sudah menyiapkan sarapan, dia menyuruhku memanggilmu.” “Okay, aku akan cuci muka dulu.” Tidak berjarak terlalu lama sejak aku mencuci muka, kami sudah berkumpul di tanah lapang yang luas. Tentu saja aku harus terburu-buru menghabiskan sarapan dan menyusul mereka secepatnya. Ternyata Matt sudah menyiapkan semuanya, target untuk latihan menembak; sasaran uintuk memanah dan melempar belati, mendadak tempat ini terlihat seperti ajang berlatih militer. Selain melatih tembakanku yang tak tahu kenapa selalu tepat, aku juga melatih kemampuan telekinesisku. Melihat Ginger yang sedang menarik busurnya untuk melepaskan anak panah, sebuah ide jahil terlintas. Aku tersenyum lebar, menunggu. Ketika anak panah itu mulai melesat, aku berkonsentrasi untuk menggeser anak panah itu agar melenceng. Tapi, entah dengan cara apa dia malah membuat energi yang kukerahkan membantu anak panah itu melesat semakin cepat dan menancap tepat sasaran. “Haa … bagaimana bisa?!” seruku tak percaya. Berlari ke anak panah yang kini sudah menancap ke sasaran, tepat di tengahnya. Ginger mengetukkan ujung busurnya ke kepalaku pelan. “Mau menjahiliku, heh?” seringainya. “Aku yakin bisa menggeser anak panah itu tadi,” kataku masih tak percaya. “Bagaimana jika kujawab, itu karena aku pemanah hebat,” bisiknya di telingaku. Aku memutar bola mata. Lagi-lagi dia bertingkah menyebalkan. “Kau pernah mencoba menembak sambil bergerak?” tanya Ginger. “Berlari atau melompat?” Aku mengangkat bahu. “Tidak.” “Jika berada di pertarungan, kita tidak selalu diam. Cobalah menembak sambil berlari.” Dia menghampiri target-target menembakku dan menggesernya menjauh antara satu dengan yang lain. Hingga posisinya agak jauh dariku. “Cobalah!” teriaknya. “Lari dari sana,”—menunjuk target yang paling ujung—“dan tembak target sampai di sini.” Aku menurut, berjalan cepat ke arah target yang paling ujung. Dengan jarak, mulai menembak dan berlari ke target selanjutnya, menembak tanpa berhenti berlari hingga sampai pada target terakhir. “Bagaimana?” tanyaku menghampiri Ginger dengan napas tersengal. Ginger berlari meneliti satu per satu hasil tembakanku, aku mengikuti dari belakang. “Satu meleset dari sepuluh sasaran. Lumayan,” sahutnya. “Apa itu artinya hebat?” Aku tersenyum lebar, bertanya lebih untuk menggodanya. “Sedikit,” sahutnya datar. “Hanya sedikit?” Ginger berpaling menatapku. Sesaat kami saling terpaku, wajahnya terlalu dekat… sangat dekat denganku.  “Okay, kau hebat,” gumamnya serak, menjilat bibir bawahnya. Dan seolah tersadar, dia memalingkan wajah menghindari tatapanku. Seketika aku juga tersadar. Mengangkat bahu dan berjalan meninggalkannya, mendekati Clove yang asyik dengan buku bacaan. Aku duduk di sebelah pria itu, di atas batang pohon yang tumbang. “Ehm.” Menoleh menatap Clove, aku hanya melihat pria itu masih membaca, seolah tidak peduli dengan kehadiranku. Tapi, aku menangkap senyum kecil di sudut bibir pria itu. Menyenggol bahunya, aku bertanya, “Apa?” Clove menoleh padaku, sorot jenaka nampak di balik kacamatanya. Dia menaik turunkan alis dengan senyum terkulum di bibir. “Kenapa?” tanyaku lagi. “Tidak, hanya saja aku mencium aroma asmara di sini,” gumamnya tertawa. Aku menginjak kakinya kesal, berdiri dan meninggalkan pria penggoda itu. Kembali ke rumah Matt dengan pipi yang memanas, tanpa peduli dengan jerit kesakitan Clove. Aku tahu pasti apa yang dimaksud, dia pasti memperhatikan aku dan Ginger sejak awal. “Sugar!” Pepper menyusul. “Kenapa? Kau terlihat kesal.” Aku mendengus. “Tidak. Hanya Clove yang membuatku sedikit kesal.” Pepper tertawa. “Dia biasa melakuakn itu,” beri tahunya. Aku lupa Pepper lebih dulu melakukan perjalanan bersama Clove dan Chili. “Di mana Chili?” tanyaku teringat pada pria itu. Pepper mengangkat bahu. “Tadi bersamaku, tapi menghilang begitu saja. Dia memang sering seperti itu.” “Sering apa?” “Sering menghilang begitu saja.” Aku mengernyit. “Kupikir kau sangat dekat dengannya….” “Ya … tapi, aku tidak terlalu mengurusi urusan pribadinya. Sudahlah, lupakan dia. Ayo minta sirup raspberry pada Percy, aku haus.” Pepper menarik tanganku masuk ke rumah mencari Percy. **** Perjalanan yang sebenarnya baru saja dimulai. Menurut Genio, keputusan kami untuk berjalan menuju arah matahari terbenam sudah benar, dan dia berpesan, kami harus siap dengan segala sesuatu yang mungkin terjadi. Karena akan ada banyak kejadian tak terduga dalam perjalanan mencari energi menghancurkan. Malam sebelum keberangkatan, Percy mengumpulkan kami di depan perapian, seperti biasa. Di dekat ia berdiri, sebuah peti dari kayu yang warnanya sudah kehitaman dimakan usia tergelatak, mengundang perhatian kami. “Aku punya sesuatu untuk kalian,” katanya tenang. Dia—dibantu Matt—membuka tutup peti. “Kemarilah!” perintahnya. Aku dan yang lain mendekat, mengerubungi peti dengan rasa penasaran yang tinggi. Ada tumpukan pakaian di dalamnya. “Para tetua sudah menyiapkan ini untuk kalian kenakan, memiliki fungsi lebih dari sekadar baju,” beri tahu Percy, sementara Matt membagikan benda itu satu per satu pada kami. “Pakaian ini tahan api?” tanya Clove.  “Bukan hanya tahan api,” sahut Percy tersenyum, “tapi juga membuat kalian lebih bebas bergerak. Menghangatkan kalian ketika udara sangat dingin dan tidak membuat kalian kepanasan ketika mentari bersinar menyengat. Baju itu akan menyesuaikan dengan bentuk dan kondisi tubuh kalian, percayalah, itu bukan pakaian ketat seperti yang biasa dikenakan superhero di dunia kalian,” lanjut Percy panjang lebar sambil tertawa ketika mengatakan tentang pakaian superhero di dunia kami. Ucapannya membuatku tersenyum, dia benar sekali soal pakaian ketat superhero yang kami miliki. Pagi harinya, aku mengenakan pakaian itu. Stelan kulit berwarna hitam, terdiri dari: atasan tanpa lengan, celana panjang dan mantel yang panjangnya hampir sampai lutut. Dilengkapi dengan ikat pinggang besar dengan dua sarung pistol di kanan kirinya. Lalu kurapikan rambutku dengan menjalinnya jadi satu. Saat keluar kamar kutemukan yang lainnya sudah berkumpul di ruang makan. Secara garis besar, pakaian yang kami kenakan sama, hanya perlengkapannya yang berbeda. Kalau aku dengan ikat pinggang besar di pinggang, Ginger mempunyai tempat anak panah yang baru. Begitu juga dengan Salt, tapi aku tidak melihat perbedaan yang mencolok dari Pepper, Chili dan Clove selain baju yang mereka kenakan. “Kau terlihat cantik, Sugar,” kata Clove dengan cengiran di wajahnya. Aku tersenyum canggung, duduk di samping pria itu. “Terima kasih.” “Dengar, ini keren!” kata Clove lagi, menggeser kursinya mendekat padaku. “Aku tidak perlu lagi membawa ransel ke mana-mana.” Keningku mengernyit, menatap Clove penuh tanya. Clove membuka mantel bagian muka sedikit, memperlihatkan saku yang ada di bagian dalam mantel. Dia merogoh saku tersebut dan mengeluarkan gelas kimia miliknya, memasukkan lagi benda itu, dan ketika tangannya keluar, sebuah botol berisi cairan merah sudah ada dalam genggamannya. Beberapa kali mengeluarkan benda secara bergantian. Kemudian menatapku—yang terbelalak—dengan cengiran semakin lebar. “Bagaimana bisa?” “Dengan saku ini, aku bisa mengambil benda apa pun yang kubutuhkan, bukankah itu keren?” “Ya, itu membuatmu seperti Nobita yang mencuri kantung ajaib Doraemon,” celetuk Ginger tiba-tiba. Aku ingin tertawa, tapi melihat ekspresi tidak suka Clove, berusaha sebisa mungkin untuk menahannya. “Jangan dengarkan dia, Clove. Itu benar-benar keren,” kataku menghibur. Ginger berdiri, dengan stelan yang dikenakannya, dia terlihat lebih menjulang dan mengintimidasi. Secara tidak sadar aku terpana, pria itu benar-benar … tampan. Perpaduan antara pahlawan legenda dengan superior modern. “Sembunyikan air liurmu,” bisik Clove membuatku tersedak—sial!—air liur. Dengan wajah yang memanas, menginjak kaki pria itu kesal.  Clove terkekeh sambil mengaduh. “Apa kalian tidak bisa berhenti main-main?” tegur Ginger menyorot tajam ke arah kami. “Kita harus mulai perjalanan sekarang.” “Hei, aku bahkan belum makan!” protesku. “Cepatlah!” kata Ginger, dan dia meninggalkan meja makan. Disusul Salt, aku memperhatikan mereka yang berjalan bersisian sambil saling berbisik. Sampai suapan terakhir, hanya tinggal Clove yang masih bersamaku. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD