Bab 19

1271 Words
Pagi-pagi sekali Tri sudah pamit keluar dari rumah kontrakannya, sememtara Nini dan Aki menonton berita. "Ni, Ki, Tri mau ke warung dulu ya." "Iya, hati-hati." Oa berniat belanja ke tukang sayur yang ada di dekat kontrakannya. Gadis itu tak perlu repot berangkat ke pasar sebab warung sayur tempatnya belanja itu menyediakan berbagai kebutuhan pokok yang lengkap. Mulai dari sayuran, ikan, bahan pangan, bumbu dan lainnya ada. "Ya Allah, tumben Neng Tri belanja." Seorang ibu bertubuh montok menyapanya. Bergabung bersama kawanan ibu-ibu butuh kekuatan yang ekstra terutama dalam menangkal segala ucapannya. "Iya, kebetulan lagi ada keluarga yamg berkunjung." Tri beralasan. "Itu kakek dan nenek kamu ya?" Tanya salah seorang yang berkerudung. Dia merupakan tetamgga kontrakannya. "Iya." Tri mengangguk. "Pasti datang ke sini ngomongin rencana pernikahan kamu sama Adam ya, kemarin kalian kan datangnya bareng Adam." Wanita berkerudumg itu kembali bertanya penuh rasa ingin tahu. Tri sampai kesal. Secara tak langsung ibu yang satu itu telah menyebar gosip murahan tentang dirinya dan cucu pemilik kontrakan. Dengan cepat Tri menyelesaikan urusan belanjanya. "Permisi ya, ibu-ibu. Saya duluan." Tri segera meninggalkan mereka yang ia yakini melanjutkan sesi gosipnya. Tri berjalan kembali menyusuri pinggir jalan. Dari kejauhan, ia melihat Adam. "Hai Dam?" Tri menyapa Adam yang berada di atas motor. Pemuda tampan itu tampak rapi keluar dari gerbang halaman. "Mau kemana?" tanya Tri lagi. Ia tahu persis jadwal kuliah sahabatnya itu. Hari ini ia tak ada kuliah pagi. "Jemput Engkong dulu. Habis gitu ke kampus." Pemuda itu menghentikan laju motornya dan menepi ke dekat Tri berdiri. Ia buka kaca helmnya. "Oh." Tri tersenyum seraya menrlidik penampilan Adam yang selalu rapi dengan setelan casualnya. "Teteh habis belanja?" Ia menatap kantong belanjaan Tri yang penuh berisi sayuran dan bahan makanan lainnya. "Iya." Gadis bersweater hitam itu mengangguk seraya tersenyum malu-malu. Ia yang biasanya jarang masak di pagi hari mendadak rajin seperti ibu-ibu tetangga kebanyakan. Ia lakukan karena ada kakek dan neneknya. "So sweet banget..." Adam memberikan pujiannya. Tri memang luar biasa. "Apaan sih, Dam. Kasian kan Nini sama Aki kalau dikasih makanan beli jadi terus, ga sehat dan ga higienis. Jadi saya mau masak sendiri, biar bisa menghemat juga sih." Tri memberikan alasanya. Ia bukan sosok yang rajin kecuali terpaksa. Pun saat Engkong Udin sakit ia juga terpaksa harus memberikan pelayanan. "Keren aja, udah kaya cewek bersuami. Pagi-pagi ke tukang sayur." Adam berujar penuh kekaguman, diakhiri tawa kecilnya yang menawan. Tri pun selalu takjub dengan senyuman maut Adam. Tri yakin wanita yang melahirkan Adam itu pasti cantik soalnya ayahnya Adam kadarbketampananya standar "Ih kamu mah nyebelin." Tri jadi membayangkan dirinya berdaster dan tiapa hari ke warung sayur kumpul bareng emak-emak. Tadi saja banyak bertanya ini itu kepadanya. Malah ada yang menyangka ia adalah pacarnya Adam. Ngomong-ngomong kosakata suami ia jadi memikirkan perjodohannya dengan pria tua bernama Juragan Kardi Kertarajasa. Ih amit-amit, jangan sampai terjadi. "Udah siang, sana berangkat." Tri mengusir Adam. "Oke, oke, aku pergi dulu ya." Adam pamitan. Terlibat percakapan dengan Tri tak akan selesai dalam waktu sekejap. Gadis itu terlalu asyik untuk digoda. "Iya, hati-hati di jalan jangan ngebut." Tri berpesan. Adam membunyikan klakson motornya sebagai tanda perpisahan. Tri melanjutkan perjalannya. **** Hari ini Tri tak akan dulu berjualan sebab masih ingin menemani kakek dan neneknya. Mereka sedang masa adaptasi dan butuh didampingi. Tri ingin mereka betah tinggal bersamanya. Usai sarapan Tri langsung memandikan Nini Icih dengan air hangat setelah itu ia mengajaknya berjemur dan berjalan-jalan menggunakan kursi roda yang didapat dari Engkong Udin. Neneknya harus mendapatkan hiburan dengan melihat pemandangan sekitar kontrakan sebab rumah kontrakannya terlalu sempit. Tri sengaja mengajaknya ke rumah Engkong Udin sebab tempat itu merupakan kawasan ternyaman untuk berdiam diri. "Assalamualaikum." Tri mengucapkan salam begitu tiba di dekat teras. "Waalaikumsalam." Engkong Udin menoleh ke arah tamunya. "Apa kabar Ceuceu?" Engkong Udin menyapa Nini Icih dengan ramah. Pria lansia itu baru selesai menyapu halaman. "Alhamdulillah sehat Bang Engkong." Nini Icih tersenyum. Suasana halaman pemilik kontrakan itu sangat Asri dipenuhi aneka tanaman hias. Nini merasa betah. Rasa rindu terhadap kampung halaman sedikit terobati. Engkong Udin mengerutkan keningnya karena merasa janggal dengan ucapan neneknya Tri. Bang Engkong! "Ha..ha..ha.." sementara Tribtak kuasa menahan tawanya. "Nini...plis atuh jangan manggil Bang plus Engkong. Kalau mau panggil Bang Udin saja." Tri melayangkan protesnya. Nini pun menyadari kesalahan yang telah dibuatnya. "Eh, Maaf Nini lupa." Kalau dieja sekali lagi Bang Engkong terdengar seperti kata Bangkong yang artinya kodok dalam bahasa sunda. Nini merasa malu telah berkata tidak sopan kepada pria tua yang sangat dihormati oleh cucunya itu. "Maaf, Bang, saya teh lupa nama Abang. Hanya ingat Engkong saja." Nini Icih tersipu malu. "Udeh, kagak ape-ape." Ia pun tersenyum dan memakluminya. "Engkong rajin amat, pulang dari pasar langsung beberes, ga tidur lagi." Engkong Udin tergolong pria tua yang rajin. "Agak siangan baru tidur, ini mh kepagian." Ia terkekeh. "Ayo duduk di teras!" Ia mempersilakan tamunya. "Makasih Kong, Tri lagi ngajak Nini jalan-jalan." Tri mendoring kursi rodanya perlahan menaiki undakan menuju teras. "Bagus banget nih jalan-jalan biar refresh. Pulang dari sini dijamin sehat. Tri memang telaten. Kalo aye lagi sakit, dia juga yang ngerawat ampe sembuh. Rela ga jualan demi jagain aye di rumah sakit." Engkong Udin memberikan pujiannya. Sebenarnya ia berharap Tri akan menjadi menantunya. "Tri memang cucu saya yang paling bisa diandalkan." Nini Icih pun memberikan pujiannya. "Aye tuh udeh nganggep dia seperti cucu sendiri." Engkong Udin jujur. Dalam hatinya ia memanjatkan puji dan syukur karena cucunya memiliki keluarga baru di tempatnya yang sekarang. Tri terlihat bahagia. Sungguh berbeda dengan keadaan di kampung dulu. "Sudah..sudah...Nini sama. Engkong tidak perlu muji-muji Tri. Nanti hidung Tri terbang. " Tri terkekeh. Dua orang lansia itu berlebihan dalam memberikan penilaian terhaap dirinya yang sebenrnya banyak kurangnya. Satu jam lebih Tri dan Nini bersama Engkong Udin tertawa dan bersenda gurau sambil minum teh hangat dan pisng goreng. Mereka melupakan sosok Aki Somad yang sedari tadi menunggu di rumah kontrakan Tri. Pria itu bahkan sampai memyusul istri dan cucunya yangbtak kunjung pulang. "Assalamualaikum, Aki menunggu kalian ternyata ada di sini." Aki Somad menahan rasa kesalnya. "Aki!" Tri kaget. Ia lupa tidak memgatakan mau ke rumah Engkong Udin. "Aki pikir kalian sedang jalan-jalan keliling kota Jakarta." Ia memberikan sindiran. "Silahkan duduk, Kang Somad!" Engkong Udin meminta suami Nini Icih itu ikut bergabung. "Terimakasih banyak, Bang. Lain kali saja. Saya mah cuma mau menjemput istri saya." Aki Somad menahan emosinya. Tri bisa membacanya jika kakeknya itu tengah cemburu. Ia tertawa dalam hati ternyata lansia juga punya rasa cemburu terhadap pasangannya. *** Mereka bertiga sudah kembli berada di rumah kontrakan Tri, duduk di teras rumah. "Ari si Aki kenapa sewot begitu?" Nini Icih tidak suka dengan perangai suaminya yang tak biasa. Ia lebih mirip ABG. "Nini sih, malah kelayapan sama Tri di rumah duda." Pria yang rambutnya dipenuhi uban itu beralasan. "Euleuh-euleuh, Aki teh jeles sama Nini? Kami hanya bersilaturahim. Kemarin akinya si Adam itu kan meminta kita. mengunjunginya." Nini Icih tertawa. "Harusnya Aki diajak, kalian malah bersenda gurau. Sementara Aki kelimpungan mencari kalian." Aki Somad memperlihatkan wajah kesalnya. Tri merasa bersalah karena dirinya yang mengajak sang nenek jalan-jalan. "Sudah, sudah ! Nini sama Aki teh jangan bertengkar, malu sama tetangga!" Tri menghentikan perdebatan mereka. "Ayo baikan!" Tri meminta keduanya berdamai. "Maafkan Aki ya Ni!" Aki mengulurkan jari kelingkingnya. "Nini juga minta maaf." Nini Icih pun sama mengulurkan kelingkingnya Mereka menyatukan kelingking mereka sebagai tanda perdamaian. "Nah, gitu dong. Tri sayang kalian." Tri langsung memeluk kakek dan neneknya. Acara peluk-pelukan mereka terganggu oleh sebuah panggilan masuk.di ponsel milik Tri. "Emak nelpon!!" Tri menatap kakek dan neneknya bergantian meminta pendapat untuk memgangkatnya atau tidak. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD