Bab 9

1397 Words
Tiba di teras rumah kontrakannya, Tri segera membuka kunci pintu, beruntung ia selalu menyimpan kunci rumah di dalam dompetnya, bayangkan saja kalau ia menaruhnya di tas mungkin kunci itu akan ketinggalan. Suasana sekitar tampak sepi karena semua tetangga Tri adalah para pekerja yang baru akan pulang selepas Isya nanti. Setelah diam sejenak dan mengambil segelas air minum ia segera keluar lagi, melangkahkan kakinya menuju sebuah bangunan khas betawi dengan halaman luas, rumah siapa lagi yang dituju kalau bukan rumah Engkong Udin, tempat dimana Adam juga tinggal. Gadis yang lahir tanggal tiga bulan tiga itu tak sabar ingin bertemu sahabatnya, pemuda yang selalu menjadi teman curhatnya. Tri ingin mengeluarkan segala kekesalan hatinya. Oleh-oleh yang dibawanya dari Depok. "Assalamualaikum." Ia mengucap salam begitu tiba di halaman rumah. "Waalaikumsalam, " jawab Engkong Udin yang tengah sibuk membaca buku agama di teras. Tri membuka sandalnya dan mendekat ke arah Engkong Udin. Ia berikan tangannya untuk mencium punggung tangan pria tua yang selalu baik kepadanya. Gadis tomboy itu selalu menghormatinya. "Adam mana, Kong?" Tri langsung menanyakan keberadaan Adam. Ia butuh tempat untuk berkeluh kesah. "Masih di kampus. Bentar lagi juga balik." Engkong Udin mengalihkan atensinya ke arah Tri yang masih berdiri seolah enggan ikut duduk bersama. Pria itu menutup buku dan melepas kacamata bacanya. Mendengar jawaban kakeknya Adam, Tri tampak kecewa. Di saat dirinya butuh Adam, pemuda itu malah tak ada. Tri mengubah posisinya, turut duduk bersama pria tua berpeci hitam itu. "Lu kapan balik, Neng?" Engkong Udin menatapnya dengan sorot tajam berusaha menyelami perasaannya. Ada yang tak beres dengan gadis di hadapannya "Sepuluh menit yang lalu, Tapi maaf ya, Tri ga bawa apa-apa." Terlihat penyesalan di wajah kusutnya. Kepulangannya ini sangat dadakan. Kalau tak terjadi perdebatan dengan keluarganya mengenai perjodohan itu, Tri tak mungkin pulang secepat ini. Ia masih ingin jalan-jalan dan membawakan sesuatu untuk Adam dan kakeknya. "Ga usah mikirin yang begituan. Engkong seneng lihat lu dah balik kemari lagi." Engkong Udin tak pernah mengharapkan pemberian apapun dari Tri. Melihat gadis itu ceria dan sehat adalah hal yang membuatnya senang. Tri dan Adam adalah dua cucu kesayangannya. Ia sering berdoan agar mereka berdua bisa berjodoh. "Tri ga enak aja, masa pulang dari luar kota dengan tangan kosong. Apalagi habis pulang dari hajatan." Tri sudah tebiasa membelikan oleh-oleh untuk Engkong Udin yang sudah dianggapnya sebagai kakeknya sendiri. Seandainya tadi tak menumpang mobil Lucky, ia bisa leluasa mampir kesana kemari. Sebenarnya tadi bisa saja ia minta tolong, namun ia merasa malu memanfaatkan Lucky. "Bau-baunya, ada sesuatu yang kurang sedap deh, Neng." Engkong Udin memberikan tebakannya. Ia tahu banyak hal tentang gadis cantik yang kini bersandar di kursi rotan. "Tri baik-baik saja, Kong. Ga usah khawatir." Tri berusaha menyembunyikan masalahnya. Ia hanya butuh Adam dan tak ingin berbagi dengan Engkong Udin yang nantinya ikut pusing memikirkannya. "Kalo, lu mau lu bisa cerita sama Engkong." Engkong Udin menatap Tri. "Ga ada apa-apa." Tri berusaha tersenyum. "Terus itu kaki lu kenapa?" Engkong Udin mengalihkan pandangannya ke arah kaki Tri. Pria itu khawatir akan kondisinya. "Kesandung di jalan. Cuma luka kecil aja. Diperban tuh biar ga infeksim" Tri memberikan alasan. Namun tidak menceritakan pertemuannya dengan Lucky dan kecelakannya. Lagipula itu bukan hal yang penting. Tri tak mau Engkong Uding mengomel. "Makanya hati-hati kalau jalan." Pria berusia 70 itu memberikan nasihatnya. "Ya sudah, Tri mau istirahat dulu ya , Kong." Gadis itu pamit, ia butuh menenangkan pikir. Meskipun curhat banyak dengan Lucky, namun ia hanya pria asing yang tak.berarti apa-apa.. Sementara Adam, dialah sosok yang selalu menjadi teman dalam suka maupun duka. Engkong Udin tak ingin memaksa Tri bercerita. Pada saatnya gadis itu akan jujur kepadanya seperti yang sudah-sudah. Kembali ke kontrakannya adalah pilihan yang tepat karena ia memang butuh istirahat untuk menjernihkan pikirannya yang kacau. Di dalam kontrakannya, Tri terdiam. Ia nyalakan ponselnya dan benar saja, Tama puluhan kali menghubunginya. "Saya sudah di Jakarta." Hanya pesan itu yang disampaikan olehnya. Dua menit kemudian kakak lelakinya menelpon lagi. Tri malas menjawabnya. Biarlah mereka berpikir dan sadar jika ia tengah marah karena perjodohan gila yang dirancang kedua orang tuanya. Tri sudah lelah, sangat lelah. Jika dalam waktu dekat ada yang mengajaknya menikah, dia tampan dan kaya raya, asalkan statusnya single, Tri akan langsung menerimanya agar terbebas dari sosok Juragan Kardi. Tiba-tiba ia jadi ingat pria bernama Lucky yang belum lama dikenalnya. Meskioun barubtiga kali bertemu ia merasa ada ketertarikan. Kenapa ia jadi memikirkannya terus. Melupakan pria tampan memang sangat sulit. "Astaghfurullah," Tri menepok jidatnya, ia lupa dimana kartu nama orang itu. Pasti di sana ada nomor kontaknya. Eh, tapi untuk apa juga ia menyimpannya. Lucky juga tak bertanya nomor miliknya. Entah mengapa ia berharap dapat kembali berjumpa dengan pria yang mengaku duda anak satu itu. Kalau dipikir-pikir Lucky itu memiliki daya tarik luar biasa. Sayangbya Tri belum banyak berbincang. Dalam perjalanan tadi, ia malah tidur nyenyak. Ia berusaha menyadarkan dirinya, menepis pikiran aneh yang merasuki kepalanya. Ya Allah, tidak mungkin dirinya jatuh cinta kepada pria itu. Kenal saja belum lama. Mereka bahkan baru tiga kali bertemu. Belum banyak informasi yang ia ketahuibtentang duda satu anak yang entah dimana rumahnya. Mengapa Tri bisa sebodoh itu tak mempertanyakan beberaa hal penting tentang alamat rumah dan pekerjaannya. Tri sendiri malah sangat banyak memgungkapkan permasalahannya. Sadar, Tri sadar! kamu jangan tertipu oleh penampilan. Bisa saja dia lelaki jahat atau playboy. Tri pernah jatuh cinta satu kali waktu duduk di bangku SMA, namun tak sampai jadian karena orang yang dicintainya itu sama sekali tak meliriknya. Orang yang dicintainya itu malah menghinanya. Tri terlalu pengecut untuk terus mengejarnya karena ia sadar akan kekurangan dirinya. Sejak saat itu malas jatuh cinta. Lamunan Tri buyar saat terdengar suara Adam. "Assalamualaikum, Teteh Cantik." Tri langsung membukakan pintu untuk Adam. "Waalaikumsalam. Akhrinya dirimu nongol juga, padahal mah saya sudah putus asa menunggu dari tadi."Tri tampak bahagia dengan kehadiran orang yang tengah dinantikannya sejak selama dua jam. Pemuda itu tersenyum sok kegantengan. Selalu seperti itu. Tebar pesona, sayangnya Tri tak pernah terpesona. Adam itu dia anggap saudaranya. Meskipun usianya lebih muda, namun Tri menganggap Adam adalah abangnya. Ia sosok dewasa yang selalu melindungi dan memberikan pencerahan. Jauh berbeda dengan Tama. "Tadi Engkong bilang situ nyari aku. Emang ada apaan? Kangen aku ya?" Adam to the point. Senyumnya semakin mengembang. "Geer amat sih." Tri menjulurkan lidahnya. "Wajarlah, kan kita ga ketemu dua hari dua malam. Aku kepikiran kami terus mama sulit babget dihuhubungi. " Adam terkekeh. Sebenarnya ia yang kangen Tri, tak bertemu sehari rasanya seperti sebulan, dua hari sama dengan dua bulan. Adam duduk bersila di atas karpet dengan punggung bersandar ke dinding. "Mau minum kopi dulu?"Tri memberikan tawaran sebelum berbincang lebih lanjut. "Teh Tariik saja." Adam malah menawar. "Oke." Tri tak masalah. Stok minumannya cukup banyak. Kopi, teh, jus semua ada. Lima menit kemudian ia kembali dengan dua cangkir teh tarik. Ia meletakkannya di meja kecil dekat TV. "Saya simpan di sini ya," "Ok, thanks." "Saya ingin curhat sama kamu." Tri membuka percakapan. "Ceritakan! Mau curhat apa? Aku siap dengar kok." Adam penasaran. Curahan hati gadis di hadapannya itu pasti tentang keluarganya. "Saya kesal sama Emak dan Bapak. Mereka masih tetap ingin menjodohkan saya dengan Juragan Kardi." Tri duduk di hadapan Adam. "Bukannya kamu sudah menolak?" Adam ingin mendengar kisahnya lebih lanjut. "Emak dan Bapak bersikukuh meminta saya menikah dengan bandot tua itu. Saya menyesal sudah pergi ke sana. A Tama sama Teh Dwi juga malah memberikan dukungan, bukannya membela saya yang sedang tertindas. Mereka semua benar-benar tak berperasaan, entah dimana hati nuraninya. " Tri menceritakan semuanya. Betapa malang nasibnya. "Sabar ya, Teh. Pokoknya kalau nanti mereka tetap mendesak, tolak terus! Aku bakalan membela teteh. Kalau bisa kamu ga usah balik ke kampung lagi " Adam memberikan sarannya. "Bulan depan saya malah disuruh pulang kampung karena pria tua itu hendak datang melamar." Tri mengadikan semua ptikajumku buruk ayah ibunnya. "Pokoknya Teteh tetap tinggal di sini!" Adam tak rela jika Tri sampai jatuh ke tangan lelaki tua bangka yang cocok menjadi kakeknya. Sesungguhnya hati kecilnya memiliki perasaan khusus kepada Tri. Sayangnya ia selalu brrusaha meredamnya. Adam tak mau persahabatan dengan gadis itu rusak. Mencari pacar baru itu mudah namun mencari sahabat yang susah. "Terima kasih banyak ya, Dam. Kamu udah mau mendengar keluh kesahku."Tri merasa lega, beban di dadanya lumayan berkurang. "Sama-sama." Ia meminum teh tariknya yang mulai dingin dan setelah ia pamit lagi. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD