Bab 8

1588 Words
Tri berjalan tanpa arah tujuan yang jelas. Usai perbincangan tadi ia langsung pergi ke luar tanpa pamit kepada siapa pun. Untung keponakannya tak melihatnya kalau tahu ia pasti ingin ikut. Tri bisa leluasa menjelajah kota. Pikirannya sangat kacau dan butuh menenangkan pikir. Berlama-laam tinggal di tempat sang kakak bisa membuatnya gila. Ia tak tahu entah berapa jauh melangkahkan kakinya, yang jelas sudah dua jam ia berkeliling. Ia sengaja mematikan gawainya agar tak ada yang mengganggunya karena sudah tentu emak dan kakaknya akan mencari keberadaannya. Kini ia duduk di bangku taman menatap bunga-bunga indah yang berwarna-warni, benar-benar menentramkan jiwa. Hanya ada beberapa orang yang tinggal di kawasan taman karena matahari sudah mulai tinggi. Tri menarik nafas panjang, mencoba mengeluarkan segara sesak yang ada. Pembahasan tentang perjodohan dengan kakek tua itu membuat jiwanya mengamuk. Kesal, marah dan sedih bercampur menjadi satu. Tri tak bisa lagi menangis. Pertemuan dengan keluarganya berakhir dengan luka yang semakin dalam. Seharusnya ia tak perlu datang menjenguk kakak iparnya. Seandainya tadi malam tak hujan ia ingin pulang ke Jakarta. Di sana ia menemukan banyak hal yang tak mengenakan bukan hanya topik perjodohannya yang dibahas, Shinta yang terlalu pamer kemewahan yang Tri yakini banyak barang yang merupakan cicilan membuatnya sebal. Dwi yang sukses menjadi dosen pun ternyata memiliki banyak masalah. Ia terlalu memanjakan suaminya dan sering abai terhadap orang tua. Meskipun demikian orang tuanya tak pernah protes. Gadis betubuh mungil itu berdiri, ia ingin melanjutkan perjalanan pulangnya. Ia yakin jika rumah yang memberi ketenangan adalah kontrakan petaknya. Keluarganya adalah Engkong Udin dan Adam. Ia sengaja menyebrangi jalan untuk membeli minuman di sebuah minimarket. Kerongkongannya terasa kering. Beruntung ia sosok yang tak pernah lupa membawa dompet kemana pun pergi, sehingga ia tak akan terlantar. Kini ditangannya ada sebotol minuman. Tri kembali berjalan menuju jalan raya untuk mencegat angkot dan hendak kembali ke Jakarta. Biarlah keluarganya tak tahu. Ia tak peduli sebab mereka juga tak peduli lagi kepadanya. Tentang ranselnya yang tertinggal biarlah, ransel itu sudah jelek dan isinya juga hanya baju ganti yang sama sekali tak bermerek. Jika Shinta merasa jijik dan kotor ia bisa menyingkirkannya. Ia tak masalah, dibuang pun tak mengapa. Gadis yang memakai kaos oblong itu berjalan pelan menyebrangi jalan, saking asyiknya melamun ia tak sadar ada mobil yang melaju cukup kencang ke arahnya. Cekkitt Mobil berhenti mendadak. "Aw..!!" Tri berteriak. Tri terjatuh karena menghindari mobil itu. Ia berjalan lambat dan tak hati-hati. Yri memejamkan matanya. Ia pikir dirinya tertabrak, beruntung Allah masih menyayanginya. Ia lolos dari kecelakaan namun jantungnya berdetak kencang pertanda luar biasa kaget. Pengemudi mobil itu turun dan langsung memburu Tri. "Maaf, Mbak, Saya mengemudi terlalu kencang. Ga apa-apa?" Pria tampan dengan tubuh tingginya itu tampak khawatir. Ia merasa bersalah. Pandangan matanyan langsung terarah kepada gadis yang kini menunduk sambil bersimpuh menahan sakit. Suara itu, sepertinya tak asing lagi di telinga Tri. Gadis berambut pendek yang tengah memegagni kakinya itu segera menoleh ke arah pemilik suara. Betapa terkejutnya ketika melihat sosok tinggi bermata coklat. Ya, Pria itu lagi. "Kamu." Tri menunjuk ke arah pria yang sudah beberapa kali tak sengaja bertemu dengannya di jalan. "Tri." Dia adalah Lucky, yang dua hari bertemu di kereta. Pria itu masih sangat mengenalinya. "Kok dalam waktu dekat kita bisa berulangkali bertemu di tempat berbeda. Apa jangan-jangan kita ini jodoh ya." Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal dengan senyuman yang merekah di bibir pinknya. Sepertinya ia bukan perokok. Mendengar ucapan Lucky, Tri merasa kesal. Memangnya cerita FTV apa. "Jangan melantur! Lihat sandalku juga putus. Kamu bisa nyetir ga sih." Tri menunjuk ke arah sendal jepitnya. Itu sendal milik ART kakaknya. Meskipun ia juga bersalah tak hati-hati, namun Tri tetap menyalahkan Lucky. "Sekali lagi maaf. Nanti aku ganti." Lucky berusaha membantu Tri membenahi posisinya. "Kaki kamu berdarah!" Lucky yang memiliki Hemophobia langsung memalingkan wajahnya. Terlalu lama melihat darah bisa membuatnya pingsan. "Aku antar ke rumah sakit, ya." Lucky tampak panik. "Eh, ga usah. Cuma luka kecil saja. Ini kuku kakiku sepertinya mau copot." Tri mengeluarkan sapurtangannya dan segera membalut lukanya, agar darahnya berhenti. "Tunggu sebentar," Lucky berdiri lalu menuju mobilnya, selang dua menit kembali berada di hadapan Tri dengan sepasang sandal warna merah jambu. Sebenarnya ia bukan hanya.mengambil sandal.melainkan mengambil air minum. "Ini sandal keponakan saya, sepertinya cukup di kamu." Tanpa segan ia meeltakkan di dekat kaki Tri. "Frozen!!?" Tri mengerutkan keningnya begitu melihat sandal yang dibawa Lucky. "Pakai saja, daripada kamu ga pakai sandal. Apalagi kaki kamu sedang terluka." Lucky berucap penuh perhatian. "Baiklah," Tri terpaksa memakainya. Ia seperti bocah SD. "Nanti kita beli yang baru" Lucky merasa bertanggung jawab. "Ok." Tentu saja Tri setuju. Meskipun harganya hanya sepuluh ribu perak Tri tetap minta diganti bila perlu dengan sandal bermerek. "Sekarang, kamu ikut aku." Lucky membantu Tri berdiri dan menuntunnya. Sepertinya kaki Tri terkilir. Ia merasa sakit dan linu. "Kamu ga akan nyulik saya, kan?" Tri menatap Lucky tajam sebelum masuk ke dalam mobil sedan putih milik Lucky. Ia patut waspada terhadap orang asing. Jaman sekarang sulit dibedakan mana yang baik dan tidak. "Nyulik? Hmm, aku ga yakin kamu laku dijual. Kecuali kalau untuk jadi TKW atau babysitter anakku." Lucky terbahak. Tampang Tri mana laku di pasaran apalagi tingkahnya yang judes dan kasar. Anak? Tri memasang alrm waspada. Pria itu ternyata telah beranak istri. Ini bahaya. Ia paling anti akrab dengan pria beristri. "Aku antar kamu pulang, sebelumnya kita cari sandal dulu." Lucky mengatakan niatnya. Akhirnya Tri bersedia. Sepanjamg jalan ia berdiam. Pikirannya kosong dan melayang-layang. "Kamu sudah menikah?" Entah kenapa mulut Tri lancang menanyakan status pria yang memberinya tumpangan. "Namaku Lucky, kamu boleh panggil Lucky, atau Mas juga boleh. Sepertinya umur kamu juga masih dua puluhan." Lucky menyebut namanya. Sepertinya Tri lupa. "Aku pernah nikah, tapi istriku meninggal saat melahirkan anak kami." Lucky memasang tampang sedihnya. "Maaf, saya tak bermaksud menyinggung perasan Mas Lucky. " Tri merasa tak enak hati. Bahasan yang sedih pasti membuat siapapun tak nyaman. "Ga apa-apa. Aku udah ikhlas. Mungkin itu yang terbaik untuknya." Lucky terlihat menahan kesedihannya. Kedua kembali terdiam. "Kok ke sini sih?" Tri heran saat mobil yang dikemudikan Lucky memasuki kawasan parkiran sebuah klinik kesehatan. "Kita obati luka kamu, tadi kan ga mau ke rumah sakit." Lucky tak ingin terjadi seauatu kepada Tri. "Saya teh kan sudah bilang, kalau lukanya tidak apa-apa. Lagian sudah dibalut kok." Tri menolak turun. "Kamu perlu diperiksa takutnya infeksi, memangnya kamu mau terserang tetanus lalu kakinya diamputasi." Pria tampan itu menakut-nakuti. "Mas Lucky jangan ngomong sembarangan." Tri terpancing emosinya. "Kok marah," lucky menahan tawanya. "Ga lucu." Tri mencebik. Lucky tetap menyeret Tri keluar mobil menuju klinik. Tri akhirnya mendapatkan perawatan. Kakinya diperban dengan baik. Kedduanya telah kembali berada dalam mobil. "Sekarang kamu mau kemana?" Lucky menanyakan tujuan Tri. "Saya mau balik ke Jakarta." Tri memang ingin kembali. Ia tak ingin berlama-lama tinggal di rumah kakaknya. "Saya antar ya. Kebetulan urusan saya di sini sudah selesai." Lucky tersenyum manis. Senyuman yang tak biasa yang membuat jantungnya sedikit memompa lebih keras. Oh Tuhan, Tri terpesona. Oops tahan dulu, tadi dia bilang sudah punya anak, eh dia Duda. "Kalau boleh tahu kamu di sini sedang apa?" Lucky mencoba mewawancara Tri. Ia pwnasaran dengan sosok gadis yang kini duduk di sampingnya. Tri pun menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Entah keberanian darimana, tampa ragu dan canggung ia mengisahkan hidupnya kepada orang asing. Lucky menyimak dengan baik. "Sayang sekali, kamu yang sabar. Gimana kalau kita makan siang bersama dulu sebelum melanjutkan perjalanan." Lucky menunjukkan kepeduliannya. Pria itu rupanya mendengar bunyi keroncongan di perut Tri. Sejak tadi ia memang kelaparan. "Ga usah repot-repot, Mas. Saya.butuh sandal." Tri basa basi. "Oke, nanti kita beli. Mau makan dimana?" Lucky memberikan tawarannya. "Terserah, Mas Lucky saja." Tri tak akan menawar karwna Lucky yang membayar. Lucky membawanya ke restoran seafood. "Lho kok ini rumah makan seafood sih, maaf Mas aku alergi makanan laut." Belum juga belok, Tri sudah mengajukan protes. "Kamu gimana sih, katanya dimana aja terserah." Lucky menatap Tri. "Maaf, tapi beneran saya alergi." Tri lupa tentang hal itu. "Ya sudah kita cari tempat lain." Lucky kembali menyalakan mesin mobilnya. "Mas, lihat itu di seberang ada gerobak bakso. Mending makan makso sama es campur saja." Tri menunjuk ke seberang jalan. "Oke, lah. " Lucky pun setuju. Sebenarnya ia kurang suka makanan berlemak. Namun demi Tri ia rela nongkrong di tukang bakso. Tri makan dengan lahap hingga dua porsi. Tentu saja ia sudh sangat lapar dan miwme bakso adalah makanan favoritnya. Lucky pun heran melihat gaya makan Tri. Tak memyangka meskipun tubuhnya kecil makannya banyak. Usai makan, Lucky melanjutkan perjalanannya menuju ibukota tentunya setelah mapir ke toko sepatu. Tri sudah memikiki sandal baru, ia senagja memikih sendiri. Model sandal gunung kesukaannya. Sepanjang perjalanan keduanya tak sedikitpun melakukan percakapan, sebab Tri malah tidur nyenyak dengan dengkuran halusnya. Paduan rasa kenyang, lelah dan dinginnya AC mobil membuat kantuknya tak tertahankan. Lucky tersenyum manis melirik Tri. Di matanya gadis itu sangat unik dan menarik. Belum lama kenal namun ia merasa nyaman. Satu jam kemudian keduanya tiba di alamat yang Tri berikan. Sejak dua menit lalu Tri sudah terbangun. "Udah nyampe ya," Tri memgucek matanya. "Iya, rumah kamu sebelah mana?" Lucky ingin mengantar hingga lokasi "Ga usah sampai sana, di sini saja." Tri bersiap turun. Lucky tak memaksa. "Terima kasih banyak ya, sudah mengantar." Tri sengaja minta diturunkan di gang. Ia tak mau menimbulkan keributan tetangga. Bisa heboh jika ia diantar pleh pria kaya yang tampan mirip artis sinetron. "Sama-sama. Sampai bertemu lagi." Tri pergi meninggalkan Lucky dengan berjalan tergesa tanpa menolehnya lagi. *** Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD