Bab9 - Caca

1430 Words
Ting tung! Ting tung! Suara bel membuat Caca yang berdiam diri di dalam kamar jadi terkesiap. Dia beranjak dari ranjang tidur. Melangkah membuka pintu dengan takut-takut. Yang teringat adalah, suaminya pergi jadi hanya ada dirinya di dalam apartemen ini. Caca diam di depan pintu, menatap ke arah layar samping pintu yang menampilkan wajah seorang lelaki. kedua matanya menyipit menajamkan penglihatan. ‘Dia siapa?’ ‘Orang buta?’ ‘Pijat tuna netra?’ batin Caca, bertanya dalam hati. Ting tung! Ting tung! Bel kembali dipencet karna tidak juga dibukakan pintu. Caca menggigit bibir, berfikir beberapa kali untuk membuka. Bagaimana kalau ternyata dia penjahat? Apa yang bisa dia lakukan dengan keadaan tubuh yang terlilit selimut seperti sekarang ini? Caca balik badan, melangkah dengan sedikit berlari masuk ke dapur. Lalu kembali lagi ke depan pintu dengan satu tangan yang membawa pisau. Buat jaga-jaga, kan? Begitu pintu terbuka, satu tangan Caca langsung mengarahkan pisau ke arah Nino yang berdiri di depannya. Kedua mata menatap ke arah tangan Nino yang mengulurkan tas jinjing warna cokelat e’ek sapi. “Ini pesanannya pak Va’as, Nona,” kata Nino. Karna kedua matanya ditutup pakai kain hitam, jadilah arah ngasihnya nggak pas ke Caca. Caca menghela nafas saat tau jika ini adalah anak buahnya Va’as. Dia menerima tas serta plastik putih berisi makanan. “Uumm, makasih ya.” Nino membungkukkan badan. “Saya permisi, Nona.” “Hhmm.” Mendengar sahutan kata singkat dari Caca, Nino mundur beberapa langkah. Tangannya melambai-lambai mencari pegangan. Lalu mulai berjalan dengan tangan yang berpegangan pada dinding lorong menuju ke lift. Kening Caca berlipat melihat Nino yang menjauh. “Kenapa sih dia?” gumamnya lirih. Tak mau pusing, Caca memilih menutup pintu dan membawa tas serta plastik itu masuk menuju ke kamarnya. Enggak kerja karna sudah dipecat, jadi dia mau ngapain? Yang jelas dia punya kartu atm yang isi saldonya ada 200 juta. Bagi dia yang biasa pegang duit 100 ribuan, menghabiskan uang segitu banyak tentu bukan hal yang singkat. Setelah selesai makan dan mandi, Caca memutuskan untuk pergi keluar. Tujuannya adalah ke mesin atm karna uang cash-nya bersisa ribuan. Melangkah keluar dari gedung apartemen dengan berjalan kaki. Mau nyari angkot di sekitaran gedung susah. Kalau mau naik taxi, uang cash Caca nggak cukup. Bayar transfer bisa sih, tapi Caca kan nggak punya hp. Jadilah dia panas-panasan nyari halte untuk menunggu bus. Hampir satu jam, bus baru lewat dan Caca langsung masuk. Bus-nya nggak penuh karna ini sudah bukan jam kerja atau jam orang-orang bepergian. Dia duduk di dekat seorang lelaki yang terlihat lebih tua dari dirinya. Lalu diam dengan tas kecil yang berada di pangkuan. Kedua manik matanya bergerak melirik layar hp yang diusap-usap si lelaki di sebelahnya itu. Tatapan Caca terarah ke foto yang di klik, lalu di zoom sampai dia bisa melihat jelas kalau foto itu adalah Aruna, adik tirinya. [Iya, aku udah di jalan ini] satu deret chat yang langsung diklik kirim dan terlihat jika terbaca karna centang abunya sudah berubah menjadi warna biru. ‘Aruna janjian sama lelaki ini?’ batin Caca. Tangannya mencengkeram tali tas. Tak ingin jika si lelaki tau kalau dia ikut membaca chatnya, Caca menatap ke lain arah, ke depan ke arah kemudi sana. ‘Masa’ dia janjian sama lelaki tua kaya’ gini sih?’ kalimat ini berseliweran di kepala. Menit berlalu bus berhenti. Caca menatap lelaki di sebelahnya yang beranjak berdiri dan melangkah turun. Dia menggigit bibir, jadi bingung mau bagaimana. Dia memutuskan ikut turun karna sangat penasaran dengan apa yang tadi dilihat. Caca melirik ke arah lelaki yang berjalan melewati trotoar, menjauh dari halte. “Buk, numpang tanya. Mesin atm yang paling dekat sebelah mana ya?” tanya Caca ke ibuk-ibuk yang tadi juga turun bersamanya. “Jalan ke sana, mbak. Ada di sebelah gedung hotel VIL,” kata si ibuk sembari menunjuk ke arah di mana si lelaki tadi pergi. Kebetulan banget kan, kalau tujuannya searah seperti ini? “Oh, terima kasih, Buk.” Caca melangkah lebar mengejar si lelaki yang membuatnya cukup penasaran. Berusaha bersikap tak mencurigakan ketika si lelaki tadi beberapa kali menoleh dan memperhatikannya. Caca melangkah terus saat si lelaki berhenti di depan sebuah caffe. ‘Cckk, kenapa dia berhenti di situ?’ gumam Caca dalam hati. ‘Mana hotelnya masih jauh. Bakalan kehilangan jejak aku.’ Dia ngedumel sendirian. Langkah kaki Caca terhenti tepat di depan mesin atm yang berada di samping toko emas. Dia berdiri di depan pintu mesin untuk antri ambil. Nggak lama Caca masuk, memasukkan kartu atm-nya dan mengecek saldo. Kedua mata berbinar dengan bibir yang terkulum menahan tawa. Untuk pertama kali dia melihat nominal uang banyak di layar sana. apa lagi itu adalah uangnya pribadi. Rasa senangnya tidak bisa dijelaskan seperti apa. Hari ini dia mau ambil banyak sekalian karna berniat mau beli hp dan belanja untuk mengisi kulkas. Sepuluh juta, sepertinya sudah cukup. Caca melangkah keluar setelah menyimpan uang dan kartu atm itu di dalam tas. “Mbak Caca,” pekik Aruna yang berada dalam antrian atm. Reflek banget kedua mata Caca melebar, terkejut melihat adik tirinya ada di sini. “Run,” sapanya, menatap ke sekeliling toko, kali aja ada mama Tari di sini, kan? “Eh!” pekik Caca karna tangannya ditarik Aruna untuk mengikutinya menjauh dari toko emas yang ramai. Caca langsung mempertahankan tasnya yang akan direbut Aurna. “Cckk!” decak Aruna kesal. Tangannya menengadah. “Keenakan banget sekarang, mbak! Udah nggak di rumah, jadi bisa foya-foya sama uang gajimu!” Caca menghela nafas mendengar kalimat tak penting itu. “Mana, bagi uangnya!” pintanya, galak. Caca memeluk tasnya yang ada banyak uangnya itu. “Aku sudah diusir sama mamamu. Aku nggak lagi numpang tidur di rumah milik almarhum ibuku. Dan aku nggak ada tanggungan untuk menghidupi kamu sama mamamu. Kalau kamu butuh uang, ya minta sama mamamu. Kalau enggak, ya kamu kerja saja. Udah lulus SMA, mending kerja biar tau kalau cari uang itu susah. Enggak seenak minta dan makai.” Kedua mata Aruna melebar mendengar kalimat panjang Caca. “Yang ngurusin kamu dari kecil itu mamaku, lho! Kalau mama nggak ngurus kamu, enggak mungkin kamu bisa hidup sampai gede begini.” Caca menggeleng dengan lantunan istigfar beberapa kali di dalam hati. “Aku nggak mengusir kamu sama mamamu, itu aku anggap sebagai balas budi, Run. Aku bantu menghidupi kamu dan semua kebutuhan sejak lima tahun lalu, itu juga balas budi. Kurasa semua itu tidak sebanding dengan cara kamu dan mamamu memperlakukanku.” “Mbak!” “Oh iya, aku sudah diusir. Jadi jangan ganggu aku lagi. Aku sama kamu itu memang saudara kandung karna ayah kita sama. Ada darah sama yang mengalir di tubuh kita, tapi kuanggap kamu tetap saudara tiriku karna kita lahir dari rahim yang beda.” Caca membuka tasnya, mengeluarkan selembar uang warna merah yang tadi baru saja diambil. “Ini aku titip.” Dengan cepat Aruna mengambil uang itu dari tangan Caca. Caca mendengus melihat kelakuan adiknya yang mata duitan. “Itu utangku ke mamamu. Karna malam itu aku udah menghilangkan uangnya.” Aruna mencibirkan satu sudut bibir. “Itu urusan kamu sama mama. Yang jelas, ini uang buat aku.” Ngomongnya dengan senyum senang karna sudah dapat uang. Detik kemudian Aruna buru-buru membuka tas karna hp-nya bergetar lama. tertera jika ada telpon masuk di layar sana. “Hallo, mas,” sapa Aruna. “Iya, aku udah ada di dekat hotel kok.” Bibir yang terlapisi lipstik warna nude itu tersenyum tipis. “Kamar nomor berapa, mas?” tanyanya kemudian. “Oh, oke. Nanti aku nyusul.” Kedua mata Caca memicing, curiga. “Kamu janjian sama siapa, Run?” tanya Caca, penasaran. “Kepo!” sungut Aruna dengan lirikan tajam. Dia balik badan dan kembali pada antrian di mesin atm. Caca menatap curiga. Dia memilih mencari tempat yang pas untuk menuntaskan kekepoannya ini. Memang sudah nggak peduli dengan semua yang akan dilakukan Aruna, tapi dia benar-benar penasaran. Apa lagi tau soal chat milik lelaki yang di bus tadi. Tatapan Caca tertuju ke arah kedai yang ada tepat di depan hotel. Caca berdiri di pinggir jalan untuk menyabrang. Tatapannya mendekik saat sebuah mobil warna merah melaju pelan dan berhenti tepat di depannya. Tak lama pintu kacanya terbuka memperlihatkan wajah Va’as yang duduk di kursi kemudi sana. “Masuk.” perintah lelaki itu. Caca menoleh, menatap Aruna yang menatapnya terkejut. “Tapi saya—” “Apa perlu aku menggendongmu?” Kalimat ancaman yang membuat Caca mendengus dengan bibir yang mengerucut. dia membuka pintu dan masuk. tak menunggu, mobil merah itu melaju cepat meninggalkan area hotel. ‘Mbak Caca jual diri sama orang kaya raya?! O-em-gi?! Pantesan tadi duit merahnya ada banyak banget!’ gumam Aruna dengan wajah yang masih melotot. 10/09/2023-12;20
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD