“Kita akan ke mana, Pak?” tanya Caca, melirik suaminya yang menyetir.
Detik berlalu Caca menghela nafas dalam. Pertanyaannya tidak mendapatkan respon. Va’as diam fokus menatap ke jalan, sama sekali tak meliriknya sedikit pun. Dia memilih menjatuhkan punggung ke sandaran belakang dan ikut diam menatap jalan. Pikirannya kembali pada adik tirinya yang janjian sama si lelaki tadi.
Sangat penasaran dan beneran pengen ngepoin. Bibir Caca mengerucut mengingat kedatangan Va’as tadi. Coba tadi Va’as nggak datang dan minta dia masuk mobil, pasti Caca nggak akan penasaran seperti sekarang ini.
Di zaman sekarang, yang namanya masuk ke hotel dan menyebutkan nomor kamar. Ngapain kalau enggak pencet-pencetan? Apa lagi sudah jelas itu lelaki dan wanita. Cckk, sepolosnya Caca yang belum pernah ngapa-ngapain, dia juga bisa mikir ke arah yang terpencet sana.
“Turun.”
Satu kata yang membuat Caca berjingkat, kaget. Dia terlalu asik melamun dengan bayangan Aruna yang bertemu dengan si lelaki tadi. Caca melepaskan sabuk pengaman dan mematuhi perintah. Menyusul turun karna Va’as sudah turun lebih dulu. Dia menggigit bibir karna ternyata Va’as ngajakin pulang ke rumah tinggal mami Iren.
Di pintu depan sana mami Iren terlihat berdiri dengan senyum khasnya. Iya, senyum biasa saja, tapi bagi Caca kaya’ mencekam. Nggak pernah ada masalah sih sama mami Iren. Dia juga nggak dendam soal pijat yang bikin pinggangnya jadi sakit itu. Ini gara-gara cerita si Uva yang punya mertua buruk, jadilah Caca horor sama mertua.
Mami Iren meraih wajah anak lelakinya, mengecup pipi Va’as kiri dan kanan. Caca sampai tak kedip menatap sesayang apa ibu itu ke anak. Tangannya mencengkeram tas kecil yang melingkar di depan d**a. Udah sering melihat mama Tari yang sayang ke Aruna, tapi … untuk yang di depannya ini rasa hangatnya terasa amat sangat berbeda.
“Caca,” panggil mami Iren.
Caca sedikit terkesiap. Dia melanjutkan langkah, tangannya terulur. Sopan dia mengecup punggung tangan mami mertuanya. Kedua mata Caca melebar saat ternyata dia juga mendapatkan perlakuan yang sama. Di cipika-cipiki sama mami iren.
“Sehat, kan?” tanya mami Iren dengan sangat ramah.
Caca mengangguk dengan wajah yang berbinar. Entah, tapi melihat welcomenya mami Iren, kehororan yang Caca rasakan memudar.
“Ayok masuk, kita makan siang bareng,” ajak mami Iren dengan tangan yang merangkul.
Va’as menatap heran pada maminya yang kaya’ bahagia banget ngegandeng Caca masuk. Bahkan mami Iren sampai menarikkan kursinya dan menyuruh Caca untuk duduk di kursi sebelahnya.
“Makasih, Mi,” ucap Caca dengan sneyum canggungnya.
Va’as melirik Caca, lalu melirik maminya yang mulai mendudukkan diri. Tak lama bik Susi datang membawa semangkuk opor ayam. Lalu pergi lagi mengambil sesuatu yang lainnya.
“Ada apa, Mi?” tanya Va’as yang merasa curiga sama maminya.
Mami melirik anak gantengnya. “Apa?” dia balik bertanya.
Va’as mendengus, memulai mengambil sendok nasi. “Pasti ada maunya,” gumamnya lirih.
Mami Iren tertawa malu karna anaknya bisa membaca apa yang dia mau. “Hari ini biarkan Caca di sini.”
Tangan Caca yang akan mengambil nasi itu berhenti. Dia menoleh dan menatap mami mertuanya yang tentu saja menatap padanya. Tadi udah nggak horor sih, tapi sekarang mendadak horornya balik lagi.
“Temenin mami jalan-jalan. Suntuk mami,” lanjut mami Iren.
Va’as hanya diam menyimak, dia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya. Lalu menoleh ke Caca saat kakinya disenggol. Mulut yang tadi sibuk mengunyah itu berhenti bergerak. Dia diam menatap wajah Caca yang menatapnya aneh. Iya, kaya’ … uumm … Va’as juga nggak tau sih.
‘Pak, jangan boleh, pliiss ….’ Jerit Caca dalam hati.
Mau ngomong gini, takut mami Iren tersinggung dan tentunya dia nggak enak hati. jadilah Caca hanya bisa mengedip-ngedipkan mata dengan ekspresi wajah yang menandakan kalau dia ngampet pengen ngomong.
Va’as belum pernah dekat dengan wanita sebelumnya, jadi dia mana ngerti, kan?
Va’as menunduk, menatap sendoknya lalu menyodorkan sendok bersisi nasi dan potongan ati ayam kecil itu ke Caca. Posisinya kan mereka lagi makan, si Caca minta apaan coba, kalau bukan minta disuapi?
“Aaak!” interupsi Va’as, mirip si bapak judes yang menyuapi anaknya.
Dan interupsi itu membuat mami Iren mengangkat kepala, memerhatikan dua anak di hadapannya ini.
Caca jadi salah tingkah karna ditatap Va’as dan mami Iren. Perlahan dia membuka mulut, membiarkan sendok yang ada di depannya itu masuk.
“Enak, kan?” tanya Va’as saat melihat Caca yang mulai mengunyah. “Nggak usah ragu buat makan. Makan saja.” selanjutnya dia mulai menatap piringnya dan kembali makan.
Mami Iren menunduk, mulai menyuapkan sendok ke mulut dengan bibir yang menahan tawa. Tawa bahagia pastinya. Iya sih, awalnya nggak suka sama Caca karna si Caca yang memang buluk dan tidak sepadan. Tetapi melihat Va’as yang perhatian seperti tadi, ada sedikit kelegaan karna ternyata Va’as benar-benar telah menyukai seorang wanita. Va’as tidak kelainan seperti yang dikatakan teman-temannya di luar sana.
“Aku harus kembali ke kantor. Kerjaanku ada banyak,” kata Va’as setelah makanan habis.
Kalimat yang membuat Caca susah menelan makanan yang sudah dikunyah lama. Dia melirik suami yang menatap ke maminya.
“Yasudah, balik ke kantor saja. Biarkan Caca di sini dulu,” kata mami Iren.
Tangan Caca yang memegang sendok mengencang. Kaya’ mau ngegondelin jas suami, tapi nggak bisa. Dia hanya diam menatap suaminya yang mulai beranjak dari duduk dan melangkah pergi.
“Ca, setelah makan ikut mami ke mall ya,” ajak mami Iren.
Caca mengangguk cepat. Dia kembali menyuapkan makanan ke mulut dengan gemuruh yang memenuhi pikiran. Paham kan? Dia yang nggak cantik dan dari keluarga miskin harus jalan bareng sama orang cantik dan glamour begitu? Insecure banget.
**
Pukul 7.30pm
Mobil hitam milik mami Iren pribadi memasuki halaman luas rumah tinggal. Caca melangkah turun setelah mami mertuanya turun lebih dulu. Dia mengikuti maminya menuju ke teras rumah dan masuk.
“Langsung istirahat aja, Ca.” suruh mami Iren.
Caca menganggukkan kepala dengan senyum tipis. Dia mulai melangkah menaiki undakan tangga. Cukup happy walau ada rasa takutnya. Ternyata mami Iren tidak sehoror yang ada dibayangannya. Mami Iren juga tidak sejahat mertua Uva.
“Ca,” panggil mami Iren.
Caca yang sudah ada di pertengahan tangga itu menoleh. Kembali turun karna panggilan mertuanya. “Kenapa, Mi?”
“Ini, dibawa sekalian.” Mami menyerhakan dua paper bag ke Caca.
Caca menatap paper bag yang dia nggak tau apa isinya. “Ini buat … aku?”
Mami menganggukkan kepala. “Kalau mau tidur, pakai ini,” katanya sembari menepuk lengan bahu Caca.
Caca tersenyum dengan anggukan. “Makasih, Mi,” katanya. Dia balik badan dan lanjut naik ke lantai atas dengan membawa paper bag itu.
Memasuki kamar yang menjadi kamarnya Va’as dan tentu saja kamar dia juga. Caca menaruh paper bag itu di atas ranjang dan membukanya. Kedua matanya melebar melihat kain tipis berwarna hitam e’ek cacing.
“Hah?!” pekiknya tak percaya. “Ini apaan sih,” gumamnya heran. “Ya kali aku pakai baju kaya’ gini? Buat apaan coba?” Caca mengerucutkan bibir, melemparkan baju tipis itu ke ranjang. “Bisa-bisa aku masuk angin.”
Caca menjatuhkan p****t di tepian ranjang dengan sentaan nafas kasar. Tangannya mengusap leher yang terasa pegal. Terhitung dia jalan-jalan dari pagi dan ternyata lumayan melelahkan. Caca menjatuhkan kepala ke ranjang. Diam menatap langit-langit kamar.
Kali ini yang muncul di kepala adalah tentang jalan-jalannya bareng mami Iren. Detik kemudian Caca tersenyum mengingat mami Iren yang ternyata sangat baik.
Caca mengangkat lengan tangan, menciumnya. Dia tersenyum saat wangi tubuhnya masih menempel. Mereka tadi pergi ke salon. Caca memulai perawatan wajah dan dibelikan satu paket produk kecantikan.
“Va, mertuaku baik. Kupikir semua mertua itu sama. Tapi ternyata mami Iren baik. hihihi ….” Dia ngomong sendiri.
**
Va’as berkeliling memeriksa ke tempat produksi yang kedua di pabriknya. Ya, dia memang sering terjun sendiri karna tidak mau ada kesalahan dalam pengemasannya. Dia diam menatap mesin pengemas bekerja dan seorang lelaki yang berjaga di mesin ini.
Melihat cara karyawan bekerja, lanjut keliling ke bagian yang lain sampai dia merasa yakin jika tidak membuang uang secara Cuma-Cuma.
Va’as melepaskan masker yang menutupi wajah setelah keluar dari ruang produksi. “Awasi. Jangan sampai ada kesalahan.
Johan mengangguk patuh.
“Jangan sampai lelaki itu masuk dan mendapatkan celah,” lanjutnya lirih.
“Siap, Pak.” Johan menyahut lirih juga.
Va’as melangkah pergi, membiarkan Johan menghandle pekerjaan itu. Ini sudah tengah malam dan waktunya untuk istirahat. Meskipun dia gila kerja, tapi Va’as masih butuh tidur juga.
Begitu masuk ke mobil, tangannya mengetuk stir mobil. Dia bingung akan pulang ke mana. Padahal, dia tidak pernah kebingungan hanya untuk pulang. Satu sudut bibir tertarik ke atas mengingat pemandangan kemarin malam. Dirasa dia sudah tau harus pulang ke mana.
Tepat pukul satu malam mobil Va’as masuk ke halaman rumah tinggal maminya. Dia bergegas turun dan masuk ke dalam setelah bik Susi membukakan pintu.
“As, baru pulang?” mendengar suara bel, jadi mami Iren bangun.
Va’as menarik dasi dari lehernya. “Iya, baru selesai. Mami tidur lagi saja.”
Mami Iren mengangguk. “Kamu juga, langsung istirahat saja ya.”
“Hhmm.” Va’as berlalu menaiki undakan tangga setelah menjawab singkat.
Dengan tak sabar Va’as membuka pintu kamar. Tatapannya langsung tertuju ke arah ranjang sana. Di sana ada Caca yang sudah tidur dengan selimut yang membungkus tubuh. Va’as melemparkan jasnya ke kursi, membuka beberapa kancing kemeja dan melangkah mendekati Caca. Dia diam berdiri di sisi ranjang menatap wajah terlelap itu. Keningnya berlipat melihat ada yang sedikit berbeda di wajah Caca.
Yang pasti Caca terlihat lebih bersih dan cantik karna tadi perawatan.
Dia sedikit membungkuk untuk memerhatikan apa yang berbeda. Namun, tepat ketika kedua lututnya hampir tertekuk, pantatnya menyentuh sisi meja yang memang sudah lama berada di sebelah ranjang. Tubuhnya jadi tersungkur dan jatuh ke depan.
Va’as gelagapan, kedua tangannya yang hampir bertumpu di tubuh Caca itu dengan cepat beralih ke kasur sebelah kanan Caca sana. Va’as salto sampai berguling dan berpindah posisi di ranjang kanan sana.
Bhuk!
“Aaagh ….” Keluhnya ketika kakinya menghantam dinding kaca dengan posisi kaki di atas dan tubuh tiduran.
Kasurnya bergerak dan suara ribut itu berhasil membuat Caca terbangun. Kedua mata Caca menyipit menatap ke samping, tepat pada suami yang kaya’ bayi lagi mainan kaki.
“Pak Va’as ngapain?” tanyanya, menatap heran.
“Kayang,” jawab Va’as ngasal.
11/09/2023-12;56