Begitu keras pukulan itu hingga botol hancur, membuat darah mengalir dari sisi kepala Adhitya yang sudah meringis kesakitan.
"Arghh!"
Di sana, Luna mematung dengan air mata mengalir. Suaminya itu menatapnya dengan nanar, sisi kepalanya penuh darah dengan napas terputus.
Hal mengerikan di malam pengantin saat Luna hampir pingsan karena mengetahui pelakunya adalah Ardhy, kakaknya sendiri. Meski takut, dia harus berlari untuk menghentikan semuanya. Hanya erang sakit Adhitya yang terdengar lemah, juga tawa mengerikan Ardhy dengan hati terbelenggu benci.
"Lo harus mati!" sinis Ardhy, masih setengah tak sadar.
"Kak Ardhy!"
Saat Luna menarik lengan Ardhy, dia terlempar jatuh karena tak bisa menahan kekuatan sang kakak yang dengan tak merasa ragu untuk melakukan hal keji lainnya. Sepasang pengantin itu mengurai air mata kesakitan. Malam pernikahan berubah jadi petaka.
"Mampus, lo!" sinis Ardhy.
"Dhitya!" teriak Luna.
Mengerikan. Malam indah mungkin akan berganti trauma. Sempat dia mendengar Adhitya memanggil namanya pelan, sebelum akhirnya bagian tajam dari botol yang pecah itu diarahkan Ardhy ke sisi perutnya.
"Ahk!"
Meski sempat menghindar, Adhitya yang sudah hampir pitam karena kehilangan banyak darah, harus merasakan sakit dan tajamnya benda yang menancap di sisi lambungnya. Darah mengalir menggantikan mata yang tertutup.
Di sana, Luna gemetar, berteriak seperti orang gila. Ardhy bangkit dan mendekati sang adik yang berusaha menjangkau Adhitya untuk diselamatkan.
"Lepasin! Kak Ardhy jahat! Tolong Dhitya, Kak," pinta Luna.
Tak peduli Luna menangis histeris, Ardhy hanya terus memeluk erat sang adik. Seringai tawa terdengar. Akhirnya Luna menyadari kakaknya ini tengah mabuk. Tak bisa lepas dari belenggu, Luna berteriak lebih keras agar ada yang mendengar di tengah berisik suara musik dari sisi lain.
"Tolong!"
Apakah Adhitya bisa selamat? Luna terus menatap darah yang mengalir dari kepala dan sisi perut Adhitya. Tak ada kekuatan untuk melepaskan diri. Baru saja mereka bahagia, hal mengerikan ini terjadi.
"Kenapa, Kak? Kak Ardhy harusnya-"
Tubuh Luna bergetar saat Ardhy menjangkau tengkuknya dan mencium bibirnya dengan rakus. Begitu berhasrat dengan cumbuan mesra dan sentuhannya di d**a Luna. Apakah ini mimpi? Bagaimana bisa sang kakak melakukan hal menjijikkan ini?
Luna hanya menangis, berusaha melepaskan diri, meski sulit. Waktu terus terbuang hingga menyadari mungkin saja Adhitya kehabisan darah dan tewas. Tak ada yang menolong dan dia harus menikmati perlakuan tak manusiawi sang kakak.
'Kenapa seperti ini, Tuhan?' batin Luna, nelangsa.
Wanita itu hanya bisa mematung. Menangis seperti percuma. Ardhy akhirnya melepaskan ciumannya dan memegang pipi sang adik. Dia tetap meracau dalam keadaan setengah sadar.
"Kak Ardhy cinta sama Luna. Luna cuma milik Kak Ardhy. Dia udah mati, Luna nikah sama Kak Ardhy aja, ya?" racaunya dengan tawa mengerikan.
Kecupan lagi, menghantarkan Luna pada keputusasaan. Suaminya terbaring di sana, dan dia tak bisa menanggung takdir buruk ini. Saat Ardhy melepas kecupannya, Luna tersenyum lirih.
Ardhy sangat bahagia, membiarkan adiknya itu menangis dan terjatuh di lantai. Dia pun berjalan sempoyongan untuk mendekati Adhitya yang tergeletak di sana. Tawanya terdengar, menarik botol yang masih menancap di perut Adhitya tanpa rasa bersalah.
"Mati, ya?"
Takdir begitu kejam hingga Luna tak bisa menanggungnya lagi. Gadis itu tertegun menatap sang suami di sana. Apakah Adhitya sudah meninggal? Hanya bisa mematung. Menatap nanar suami yang baru tadi tersenyum manis untuknya. Beberapa menit tadinya berlalu dengan cumbu mesra.
Kini, suaminya itu tak bergerak sama sekali, di tengah tawa seringai Ardhy yang terus menepuk pipinya untuk membuka mata.
Tak puas dengan kejahatannya, Ardhy segera mendekati Luna. Shock, takut, Luna berlari untuk menghindari kejaran sang kakak. Malam pernikahan mengerikan yang tak pernah dia perkirakan.
"Luna mau ke mana, Sayang?"
"Kak, please!"
Luna tersandung hingga jatuh ke lantai. Pria itu menahan bahunya dengan keras agar Luna tak bisa melarikan diri. Gaun tidur itu sobek hingga dia puas menatap bahu molek sang adik. Kembali dia meraja dengan kecupan dan sentuhan iblisnya.
Luna mencari cara untuk lari, sesekali menyeret tubuhnya jauh ketika Ardhy melepaskan ciumannya.
Gadis itu menemukan batu di samping duduknya, lalu memukul keras kepala Ardhy hingga pria itu limbung dan kesakitan. Tak ingin menjadi bulan-bulanan lagi, Luna beranjak. Naas, dia terpeleset jatuh hingga membentur ujung kolam. Kesadarannya menipis. Saat berusaha bangkit, langkahnya limbung hingga hampir pingsan. Jatuh ke dalam kolam.
Ardhy beralih menatap Luna saat adiknya itu jatuh ke dalam kolam sedalam tiga meter itu. Membiarkan tubuhnya menyatu dengan dinginnya air. Meski kaki dan tangannya berusaha mencapai permukaan, dia terlalu lemah untuk menyelamatkan diri.
Di atas sana, Ardhy berteriak histeris karena dirinya tak bisa berenang untuk menyelamatkan Luna.
"Luna!"
Dalam hening malam, Luna masih bertahan dengan napas tersisa. Dia bahkan tak punya tenaga lagi untuk berenang dan naik ke permukaan.
Menutup mata dan membayangkan tawa dan senyum cantik Adhitya beberapa hari terakhir. Sesak akan rasa sakit. Berpikir Adhitya mungkin sudah meninggal sekarang, entah jadi apa hidupnya nanti saat menghadapi perasaan mengerikan terkait cinta sang kakak.
'Aku cinta kamu, Dhit. Maaf belum sempat kasih tau kamu,' batinnya.
*
Beberapa menit lalu, mobil sedan hitam milik Adira berhenti tepat di depan pelataran rumahnya. Dia memutuskan kembali pulang untuk urusan penting. Mobil pengawal yang lain berhenti tepat di belakangnya.
"Harusnya biar mereka saja yang pulang kalau cuma ambil paspor yang tertinggal, Pak," kata sang supir.
"Nggak apa-apa. Sekalian mau ketemu Dhitya aja, kangen."
Adira masuk diikuti para pengawal. Sudah sunyi karena waktu hampir tengah malam, walau masih terdengar suara musik dari halaman belakang sebab mereka masih membereskan yang tersisa. Beliau masuk dengan langkah pelan, begitu usil dengan menempelkan telinganya di pintu kamar.
"Ehm!"
Suara deheman para pengawal itu membuat Adira tersenyum. Ini malam pertama putra kesayangannya itu. Begitu penasaran sekali, seolah tak percaya putra menyebalkan itu sudah menjadi seorang suami.
"Jangan nguping, Pak! Nanti si bapak jadi pengen nikah lagi," guyon pria itu sedikit cengengesan.
Adira menggaruk kepala setengah botak itu, lalu menghela napas seraya tertawa.
"Ah, anakku cepat sekali dewasa. Kayaknya dia udah nggak sabar pengen bikin bocil yang sama bengeknya kayak dia."
Saat Adira beranjak menuju sisi lorong kamarnya, suara teriakan samar terdengar dari luar walau dibayangi iringan musik dari sisi lain.
"Tolong!!!"
Suara jerit itu memaksa para pengawal siaga untuk berpencar. Adira segera menghentak knop pintu karena yakin hanya seorang wanita di rumahnya. Suara Luna, menantunya. Kamar terbuka dan tak ada sepasang pengantin itu.
"Dhitya!"
Suara Adira terdengar memburu, segera bergerak ke sisi jendela yang terbuka. Dilihatnya kejadian mengerikan itu. Putranya bersimbah darah di lantai, juga riak air kolam dan pria berkupluk dengan tangan bernoda merah.
Jantungnya berdegup kencang. Untungnya para pengawal tadi sudah sigap dan mengamankan lokasi kejadian, meringkus Ardhy yang masih setengah mabuk.
Hanya satu pukulan membuatnya ambruk. Pengawal itu dengan sigap melakukan upaya penyelamatan. Membawa Adhitya yang masih berdetak nadinya, yang lain turun ke kolam untuk menyelamatkan Luna. Malam mencekam.
Adira menatap nanar kejadian itu. Sang putra yang baru saja tersenyum dengan indahnya, melepas masa lajang dengan senyum manis. Lenyap. Kejadian mengerikan di malam pernikahan.
"Dhit, bertahanlah!"
*
Lima hari berlalu sejak insiden tragis. Adira berada di samping ranjang sebuah kamar VIP. Berhasil menyelamatkan sang putra yang terkena tusukan beling dan pukulan keras di kepalanya, setidaknya dia bersyukur. Digenggamnya tangan yang berbalut infus, menanti dengan senyum beriring suara heart rate monitor. Sesekali menciumnya, lalu menghapus pipi hangat itu.
"Jagoanku, bangun! Maaf, harusnya papa nggak ninggalin kamu," lirihnya.
Mempercayakan detik dalam genggaman takdir. Air mata Adira tak henti menetes. Meski sangat nakal, putranya ini sangat baik dan penurut. Hubungan keduanya sangat harmonis layaknya teman. Rasa takut yang mencengkram jika Adhitya tak bangun lagi. Adhitya belum siuman walau kondisi kritisnya sudah berlalu.
Tak lama, seorang dokter mendekati beliau dan menawarkan senyum. Adira menyambut teman lamanya itu. Memeriksa sebentar dengan stetoskop, lalu duduk di sofa untuk bicara serius.
"Dhitya sudah melalui masa kritisnya. Setelah ini, keputusannya ada padamu. Apa kau yakin akan membawanya ke Jepang?" tanya dokter berkacamata itu.
Adira mengangguk, mengusap pelan kepala sang putra tanpa menoleh.
"Biarkan yang lalu jadi mimpi buruknya. Nggak tau apa yang terjadi saat Dhitya bangun nanti, aku akan terus di sampingnya."
"Ya, sebaiknya memang begitu. Carikan dia seorang psikiater. Aku yakin kita akan butuh dia untuk kesembuhan mental Dhitya nantinya. Tapi, bagaimana menantumu?" tanya sang dokter, penasaran.
Luna dirawat di rumah sakit yang sama. Tak ada jawaban yang terdengar. Tatapan Adira terlihat dingin. Beranjak dari ruang VIP itu, lalu terhenti di sudut kamar yang berada di lantai tiga.
Seorang pemuda sedang duduk di depan ruangan, dengan wajah cemas dan mata sembab. Salah seorang dari teman putranya. Saat mendekat, tatapan mereka beradu tajam.
"Belum ada perkembangan, Bintang?" tanya Adira.
Bintang, seorang teman Adhitya yang mencintai Luna. Adira duduk di sampingnya, menanti kabar dari pemuda itu. "Dokter bilang paru-parunya bermasalah karena menelan banyak air saat tenggelam. Otaknya terkena imbas karena kurang mendapatkan pasokan oksigen. Dia nggak akan mungkin bangun dalam waktu dekat ini, Om," lirih Bintang sambil menghapus kasar wajahnya.
Hening mengisi keduanya. Adira bangkit dan membuka knop pintu, menatap sang menantu cantik yang terbaring sama lemahnya dengan Adhitya. Mengambil langkah beberapa tapak, menyentuh tangan pucat itu. Keduanya masih muda dan harus menanggung beban seberat ini.
"Aku tau ini bukan salahmu. Bagaimanapun, kamu ini menantuku. Apa yang terjadi pada Dhitya juga bukan salahmu. Tapi seandainya saja aku lebih berhati-hati, putraku pasti akan baik-baik saja. Apakah ini kesalahanku dengan merestui kalian? Yang kupunya cuma dia," lirihnya.