Hari-hari menjelang pernikahan terasa begitu mendebarkan. Ardhy bisa melihat rona bahagia adiknya itu. Setelah hari itu para wanita cantik membawakan gaun pengantin untuk Luna, rumahnya menjadi lebih berwarna dengan senandung yang digumamkan Luna.
Hanya saja, Luna merasa semua terasa janggal. Sejak hari itu, Ardhy tak banyak bicara dengannya. Hari disibukkan dengan kerja dan pulang larut malam. Malam ketiga sebelum pernikahan, Luna menanti sang kakak yang belum kunjung pulang sehabis senja.
"Kak Ardhy hari ini lembur lagi? Padahal udah janji mau ngobrol soal undangan," lirih Luna.
Luna menatap tumpukan kertas undangan di atas meja. Tersisa dua puluh undangan yang diberikan Adhitya untuk rekan Ardhy yang hadir nanti. Lelah menunggu hingga Luna tertidur di sofa.
Tak lama, Ardhy pulang dan melihat adiknya tertidur di sofa. Dia menghindari Luna belakangan ini. Rasa kesal dan cemburu menanti Luna bersanding dengan Adhitya di pelaminan akhir Minggu ini.
"Sampai ketiduran gini," gumam Ardhy.
Luna jika sudah nyenyak tertidur, akan susah membangunkannya. Pelan-pelan Ardhy menggendong sang adik untuk memindahkannya ke kasur. Jelas terlihat raut lelah Luna sebab dia disibukkan dengan rencana pernikahan.
Keluarga Adhitya cukup berada, tak membebankan Ardhy dan Luna untuk mengurus semuanya. Mungkin benar adiknya itu bisa hidup enak dengan kekasihnya.
Ardhy tertegun, mendapati jantungnya terus berdegup kencang. Seperti habis lari marathon saja. Melihat paha mulus bening Luna yang terekspos di depan matanya ketika sang adik berbaring memunggunginya. Perasaan aneh apa ini?
Ardhy meneguk ludah. Tangannya gemetar, tetapi tak bisa mengontrol diri dan begitu berhasrat untuk menyapu paha mulus itu. Luna memang sangat cantik. Bentuk tubuh yang seksi dengan d**a penuh yang begitu ideal. Surai hitam yang tergerai di antara wajah putih dengan binar mata cokelat dan hidung mancungnya. Luna tumbuh begitu cepat hingga menjelma jadi seorang wanita dewasa.
Dada Ardhy berdesir, jantung memompa cepat darah hingga membuat wajahnya merah saat jemari itu mengusap pelan paha Luna. Merabanya. Pelan-pelan Ardhy menstabilkan napasnya, berusaha menarik diri karena takut Luna terbangun. Sentuhan itu terasa nikmat.
"Nggak!"
Ardhy tersadar, berlari cepat meninggalkan kamar Luna untuk menyamankan diri di kamarnya. Duduk dengan napas yang naik turun dan degup yang memburu. Apa yang terjadi padanya?
"Aku gila, ya?" lirihnya.
Ardhy mendekati figura besar di dinding. Foto kenangan yang diambil beberapa tahun lalu. Pelukan hangat bersama kecup mesra di pipi. Betapa cantik senyum adiknya itu.
"Luna cuma punya Kak Ardhy. Benar, kan?"
Entah apa yang dipikirkan Ardhy saat ini. Hanya saja, dia masih merasa berat untuk menjemput hari bahagia Luna itu. Luna menjadi milik orang lain.
*
Suara alarm membangunkan tidur Luna. Dengan detak cinta yang sama, kalender tanggal kemarin dirobek untuk berganti hari. Lusa akad akan digelar, malamnya resepsi berlangsung.
Pesan masuk muncul di layar. Seperti biasa, ucapan selamat pagi dari kekasih hati.
[Luna, lagi apa? Kangen.]
Luna menghela napas, tertawa geli karena Adhitya yang dikenalnya tiga tahun ini sangat berbeda dari pemuda yang melamarnya kemarin. Begitu lembut dan sopan.
"Dasar, Buchin ganteng!"
Luna membalas singkat, lalu turun dari kasur. Harum masakan tercium sampai ke hidung. Dia berlari kegirangan karena pagi ini, sepertinya Ardhy tidak berangkat kerja dan akan menemaninya seharian.
"Kak Ardhy!"
Ardhy terhenti sesaat, meletakkan spatula saat tadinya dia menggoreng nasi ketika Luna memeluknya erat dari belakang. Begitu erat, membuat belakangan ini jantung Ardhy terus berdetak tak karuan.
"Seneng banget bisa meluk Kak Ardhy gini. Apa Kak Ardhy marah sama Luna?" tanya Luna, berhias wajah cemberut.
Belum ada sahutan. Ardhy mematikan kompor karena masakannya telah selesai. Luna sedikit menjauh karena Ardhy masih terlihat dingin, hanya sibuk menyajikan nasi goreng pada piring. Saat berbalik, Luna langsung melompat ke pelukan Ardhy, merapatkan diri ke tubuh Ardhy dengan menggantung erat lengannya di bahu kekar sang kakak.
"Luna sayang banget sama Kak Ardhy," bisiknya.
Ardhy terus menggerutu, merasakan hasratnya terus bangkit saat Luna semakin intens menyentuhnya. Bagaimana dia merasakan hasrat terlarang ini pada adik kandung sendiri?
Dadanya menabrak badan Ardhy, mengurai rona merah di wajahnya. Pun dengan deru napas yang berhembus beriring bisik lembut Luna di telinganya.
"Makasih karena udah besarin Luna, jaga Luna sampai detik ini. Kak Ardhy yang terbaik. Luna tau Kak Ardhy masih nggak rela karena Luna nantinya pergi ke rumah Dhitya, tapi Kak Ardhy akan selamanya di hati Luna. Kita bisa ketemu tiap hari, kan?" ungkap Luna dengan bias sendu.
Luna melepaskan pelukannya, sedikit berjinjit agar bisa menjangkau pipi hangat Ardhy. Menciumnya dalam, berulang kali. Menyampaikan rasa kasih dan syukur karena memiliki Ardhy sebagai kakaknya. Sayangnya, belakangan ini Ardhy merasakan hal berbeda. Kasih itu bukan sekadar sayang pada sang adik. Hasratnya berbeda.
Setelah itu, Ardhy harus memasang senyum karena tak ingin Luna semakin sedih. Sarapan bersama, lalu bicara mengenai persiapan pernikahan. Ardhy menikmati masa-masa sampai akhirnya bisa melepas gadis kecilnya itu.
*
Satu hari berlalu lagi. Esok adalah hari pernikahan Luna. Ardhy masih uring-uringan. Apa yang harus dia lakukan? Melihat adiknya tersenyum hanya dengan membicarakan calon suaminya saja, Ardhy mengalahkan egonya. Hari hampir larut, matanya enggan terpejam.
Tangannya gemetar jika mengingat jabat itu akan mengantarkan Luna pada Adhitya. Dialah wali nikah Luna yang akan mengikrarkan ijab dan disambut kabul oleh kekasih Luna itu.
'Nggak. Aku harus apa? Nggak bisa. Luna milikku. Apa aku kabur aja besok, ya? Aku nggak mau nikahkan Luna sama dia. Maaf, Lun. Kak Ardhy nggak mau berbagi Luna buat dia. Kak Ardhy yang jaga Luna sejak kecil. Kenapa Luna harus jadi milik si b******k itu?'
Ardhy terkejut saat mendengar suara decit pintu yang terbuka. Luna berdiri di sana sambil memeluk bantal kesayangannya, lalu naik ke kasur untuk tidur di samping kakaknya itu.
"Eh?" heran Ardhy. "Mau ngapain?"
"Bobok sini. Besok, kan, aku udah harus tinggal di rumah Dhitya. Boleh, ya?" rengek Luna.
Luna tersenyum, tidur tepat di samping kakaknya itu. Tak menyadari perubahan suasana hati Ardhy, Luna hanya ingin tidur semalaman di samping kakak kandungnya itu. Lelah membangkitkan kantuk. Hanya berselang lima belas menit, Luna tenggelam dalam mimpi. Hanya tersisa Ardhy yang sejak tadi memandang bias cantik adik remajanya itu.
Masih degup yang sama, kali ini ibarat sebuah bom yang meledakkan hatinya. Berulang kali dia meneguk ludah hanya karena menatap wajah cantik Luna. Bibir penuhnya yang cantik berwana merah muda. Apakah ini karena dia tak pernah dekat dengan wanita mana pun sebab menaruh konsentrasi kesehariannya untuk Luna?
Pelan-pelan, Ardhy mengangkat tangannya, menyentuh helai rambut Luna yang sedikit mengganggu pandangannya. Wajah itu terlalu cantik. Luna yang semakin dewasa berada di depannya. Entah sejak kapan Ardhy menyadari perasaannya terasa aneh.
"Kenapa si b******k itu harus datang, Lun?" rutuknya.
Sejak hadirnya Adhitya, Ardhy merasa tak bisa memiliki seutuhnya boneka cantik itu. Pelan-pelan diusapnya pipi Luna, mendekati beberapa senti. Dia merasa hampir mati menahan hasrat itu. Detik berlalu, Ardhy menyentuh bibir Luna dengan kecupan singkat. Matanya berulang kali mengerjap, menahan gemuruh jantungnya. Ardhy menjauh, seperti candu melakukannya lagi dengan deru napas memburu.
'Kak Ardhy sayang sama Luna,' batinnya.
Malam diakhiri dengan kecup mesra lagi di bibir Luna, menyesap pelan. Luna tak menyadari hal mengerikan apa yang telah terjadi. Hasrat menggebu Ardhy yang akan menghancurkannya. Siapa sangka jika sang kakak menaruh hasrat terlarang?
*
Hasrat. Cinta. Dua hal yang kini memenuhi hati Ardhy, membelenggu dalam keserakahan. Semalam suntuk memantapkan diri menghindari akad besok, hasratnya luntur sebab kecintaannya pada senyuman Luna. Di sinilah mereka berakhir.
Tiga jam sebelumnya, Ardhy dan Luna sudah tiba di rumah keluarga Adhitya. Hiasan indah akad dengan untaian daun dan mawar putih menghiasi langit-langit ruangan. Di luar juga sudah tampak jajaran kursi, deretan hidangan, juga hiasan cantik lampu dan bunga yang melekat pada kain plafon tenda. Begitu apik. Sederhana, tetapi elegan.
Ardhy mengasingkan diri di sebuah kamar yang disediakan keluarga Adhitya. Mengutuk diri, menahan sakit saat sesekali dia mengingat tawa manis Luna yang sedang dirias. Harus apa dia? Melarikan diri? Atau mengakui bahwa dia tak ingin kehilangan Luna?
"Kenapa jadi gini? Kak Ardhy nggak mau Luna jadi milik dia. Luna cuma milik Kakak," lirihnya.
Sebuah ide mengerikan terlintas di bentaknya. Sebuah pisau silet berada di laci meja rias di sudut. Duduk di depan cermin, menatap nanar rasa takut yang mencengkram dirinya. Kegilaan itu muncul karena rasa kehilangan yang tak bisa dia tanggung.
"Luna nggak akan nikah kalau Kakak sakit, kan?" ujarnya.
Lama mengisi waktu dalam lamunan. Hanya helaan napas gusar sambil diletakkannya pisau itu kembali. Tidak. Dia tak ingin membuat Luna sedih jika sesuatu yang buruk padanya. Kembali digulungnya lengan kemeja itu, memperbaiki dandanannya di depan cermin. Sesuatu yang gila terpikir dalam benaknya.