Bertemu dengan Bunda

1082 Words
Aku menguatkan hati untuk bertemu wanita yang paling aku rindukan selama 22 tahun ini, bagaimana keadaannya? bagaimana dia menjalani hidup selama ini? apa dia bahagia? beribu pertanyaan berseliweran di benakku. Tok Tok! aku mengetuk sebuah pintu kamar VIP sebuah rumah sakit. “Masuk” suara lembut menyapa indra pendengaranku, suara yang sangat aku rindukan. Bunda tersenyum lembut saat melihatku, kulihat dia sedang menggenggam tangan Tamara yang sedang tertidur. “Selamat siang Nyonya, perkenalkan saya Zea, asisten pribadi Tamara” ucapku memperkenalkan diri. “Siang Zea, panggil saja tante Maharani” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Aku menjabat tangan bunda dengan mengulas sebuah senyuman. “Ini untuk Tamara” ucapku sambil menyerahkan sekeranjang buah segar. “Terima kasih” bunda menerima keranjang buah dariku. “Apa Tamara baik baik saja?” tanyaku. “Dia sudah tenang sekarang, dia pasti terguncang menghadapi semua ini” lirih bunda. “Kau menyayangi anak orang lain seolah olah itu anak kandungmu, dan malah membuang anak kandungmu sendiri” cibirku dalam hati. “Zea, kau cantik sekali” bunda membelai lembut pipiku. “Terima kasih, Tante” aku tersenyum kikuk. “Namamu sama dengan nama anak pertama Tante, jika dia masih hidup, dia pasti cantik sepertimu” air mata menggenang di pelupuk mata bunda. Aku membeku saat mendengar ucapan bunda, dia menganggapku sudah mati? “Saya turut berduka, Tante” lirihku. Bunda menggelengkan kepalanya sambil menghapus air matanya. “Terima kasih sudah menjadi teman Tamara, apa kau sudah makan Zea?” tanya bunda mengalihkan topik pembicaraan. “Belum Tante” jawabku. “Temani Tante makan ya, mumpung Tamara tidur, dia baru saja minum obat” ucap bunda . Aku mengikutinya ke kantin rumah sakit, lalu memesan makanan. “Tante, apa tidak sebaiknya Tante di rumah saja, istirahat, aku dengar Tante tiba disini empat jam lalu, perjalanan dari Amsterdam ke sini bukannya lebih dari 15 jam ya Tante?” ucapku. “Aku tidak apa apa, aku bisa beristirahat sambil menjaga Tamara” ucap bunda. Jujur saja, aku iri pada Tamara yang mendapatkan kasih sayang dari bunda. “Zea, sudah berapa lama bekerja di Hirawan Grup?” tanya bunda. “Lima tahun, Tante” jawabku. “Sudah lama juga ya” kekehnya. “Iya Tante, tapi baru pertama kali saya ketemu sama Tante” kekehku. “Sebenarnya Tante memang tidak mau menginjakkan kaki di Indonesia, kalau bukan karena skandal Tamara, Tante tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki disini” ucapnya. “Boleh saya tahu kenapa?” aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. “Terlalu banyak kenangan menyakitkan disini, puncaknya saat 19 tahun yang lalu, polisi mengabarkan anak pertama Tante menjadi korban sindikat penculik anak, setelah dua tahun mencarinya seperti orang gila, kabar menyakitkan itu datang, Zeana dinyatakan tewas” bahu bunda bergetar, dia menangis di hadapanku. Ingin sekali aku memeluknya, mengatakan bahwa putrimu masih hidup dan ada di hadapannya saat ini, namun yang bisa aku lakukan hanyalah menggenggam tangannya untuk sedikit menyalurkan kekuatan untuknya. “Maafin Tante ya Zea, malah jadi mellow gini” bunda menghapus air matanya. Aku hanya tersenyum dan menepuk nepuk lembut tangan bunda mendengar ceritanya, dendamku pada Hirawan semakin berkobar di dalam diriku. Bunda tidak pernah membuangku, dia mencariku dengan segenap jiwa dan raganya, hanya saja Hirawan si b******n itu berbohong, dia yang menjualku ke sindikat penculik anak lalu dia berpura pura mencariku dan akhirnya mengabarkan kematianku. ** Apartemen Zea Aku merebahkan tubuh di kasur kesayanganku, hari ini sungguh sangat melelahkan. Emosi dan mood ku naik turun seperti roller coaster. Selain bertemu bunda, aku mengingat kembali peristiwa tadi malam, mengapa Dave melakukan ini semua padaku? Inti tubuhku masih terasa tidak nyaman hingga saat ini, kilasan kejadiaan saat Dave berada di atasku dengan wajah penuh kepuasan berjubel masuk di kepalaku. Aku menggelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran kotor tentang Dave. Dave tahu aku yang menjebak Tamara, dia juga menyebutku jalang hingga memperkosaku. Seingatku, aku tidak pernah cari masalah dengan lelaki itu. Orang tuaku tipe yang sangat konservatif, dari dulu aku selalu diajarkan untuk menjaga kehormatanku dan menjauhi s*x bebas. Ada sedikit kesedihan di dalam hatiku mengingat kehormatanku sudah di rebut paksa oleh Dave yang bukan suamiku, tapi aku bukan tipe wanita yang akan menangisi itu semua. Dave telah mengambil sesuatu yang berharga dariku, aku meminta imbalan yang sepadan untuk perbuatannya itu, yaitu kepemilikan pabrik kosmetik milik Alexader Grup. ** Keesokan harinya Salsa menjemputku di apartemen, dia bilang Inge akan memperkenalkan kekasih barunya dan meminta kami kumpul di kafe tempat biasa kami nongkrong. “Sa, kenapa musti pagi pagi sih? ini kan weekend jadwal gue bangun siang!” runtukku. “Ini udah jam 10 Zea!” Salsa berdecak pinggang. Dengan malas aku mandi dan berganti pakaian, aku hanya memakai celana jeans dan kaos panjang, lalu mengikat rambutku seperti ekor kuda. “Siapa pacar barunya Inge?” tanyaku saat memasangkan sabuk pengaman. “Lu terlalu sibuk sama kerjaan sih, jadinya gak update kan, ntar ajalah tanya sendiri sama si Inge” cibir Salsa. “Santi dateng?” tanyaku. Salsa menganggukkan kepalanya, sekitar lima belas menit berkendara, kami tiba di kafe favorit kami, disana sudah ada Inge dan Santi, juga dedek Al yang sangat menggemaskan. Kami berempat bersahabat dari SMP, hubungan kami sudah seperti saudara kandung, orang tua kami sudah saling mengenal dan menganggap kami seperti anak mereka sendiri. “Sayaaaaang!” aku merebut Al dari pangkuan Santi. Al tertawa saat aku memangku dan menciuminya dengan gemas. “Bikin sendiri! jangan uwel uwel anak gue mulu, tar lecet!” cibir Santi. “Pelit banget deh!” sinisku, Al duduk di pangkuanku dengan nyaman. “Lu kemana aja si Je, tiap kita ngumpul gak pernah ikut?’ tanya Inge. “Lu gak nonton berita apa? itu anak bosnya si Jeje kena skandal, pasti dia yang disuruh beresin” kekeh Salsa. “Ih iya, terus gimana itu jadinya? heboh banget deh perasaan semua berita ama akun gosip pasti bahas itu” tanya Inge kepo. “Gue suruh lakiknya ngawinin si Tamara” ceplosku. “Elu kayak pak RT di kampung gue aja, kalo ada yang ke gep jap jip jup langsung dikawinin” Santi terbahak bahak menertawakan ucapannya sendiri. “Kurang di arak keliling kampung aja kayaknya ya” kekehku. “Jangan terlalu kecapekan Je, lu juga harus seimbangin kehidupan sama karir elu!” nasehat Inge. “Iya, eh ceritain dong pacar baru lo!” pintaku pada Inge. “Dia idaman gue banget lah pokoknya! gue udah ngincer dia dari 6 bulan yang lalu terus seminggu yang lalu dia nembak gue” Inge bercerita dengan semangat. “Feeling gue tuh cowok bad boy” tebakku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD