“Lima taun ada kayaknya ya?” jawab Salsa.
“Sayang, jangan sampe kayak si Jeje ya, lebih ngutamain ngurusin idup bosnya daripada idup sendiri” pinta Inge dengan puppy eyes nya.
“Siap yang Mulia” Rega mengacak rambut Inge dengan mesra.
“Gue pengen si Jeje cepet nikah terus punya anak, biar resign dari Hirawan Grup” celetuk Santi.
“Gue setuju, selama lima tahun dia selalu pura pura kuat dan tegar, padahal kita tahu sendiri perlakuan pak Hirawan sama keluarganya gimana ke Jeje” cibir Salsa.
"Setauku Zea adalah tangan kanan pak Hirawan dan dia sangat disegani" ucap Rega.
"Sepertinya lebih tepat jika disebut b***k daripada tangan kanan" cibir Inge.
“Ga, kalo ada cowok yang baik hati rajin menabung dan tidak sombong, coba kenalin sama Zea atau Salsa” kekeh Santi.
“Dih! bebeb aku di suruh jadi mak comblang” protes Inge.
“Kali aja kalo si Jeje punya pacar dia gak bakalan segitunya sama kerjaannya” ucap Santi.
“Si Jeje kayaknya lebih milih pacaran sama kerjaannya deh dari pada sama cowok” kekeh Salsa.
**
Kantor WO Cinta Abadi
“Zea, sini Sayang!” bunda melambaikan tangannya saat aku masuk ke kantor WO Cinta Abadi.
Aku tersenyum dan langsung menghampiri bunda.
“Tamara sudah baik baik saja?” tanyaku.
Bunda menganggukkan kepalanya.
“Hanya saja, ayahnya memaksanya untuk buru buru menikah” lirih bunda.
“Aku tidak mau menikah dengan Ricky, Bu” lirih Tamara.
“Apa kau mau pergi ke Belanda saja bersama Ibu?” tawar bunda.
“Tapi Ayah tidak akan memaafkanku” Tamara memeluk ibunya sambil menangis.
“Kebahagiaan putri Ibu yang selalu menjadi prioritas di atas segalanya” bunda mengelus punggung Tamara dengan lembut.
Aku mengepalkan tanganku dengan erat, seharusnya aku yang disana! harusnya aku yang menerima semua kasih sayang dari bunda, bukan Tamara!
Aku menghela nafas panjang, jika Tamara kabur ke Belanda, itu bukan ide buruk, saham Hirawan Grup akan terus merosot, apalagi ditambah kekecewaan Uriawan Grup karena menganggap Hirawan mempermainkan mereka, setahuku undangan sudah dicetak dan beberapa sudah di sebarkan. Hirawan Grup akan kolaps dengan sendirinya.
“Bagaimana menurutmu, Zea?” tanya Tamara.
“Kau sudah dewasa, kau bisa memilih jalan hidupmu sendiri” ucapku bijak.
“Bantu aku berbicara pada ayah” cicit Tamara.
Aku menganggukkan kepalaku, aku harus menjaga imej di depan bunda, jika bunda tidak ada disini, Tamara pasti sudah habis aku maki maki.
“Ibu juga akan membantumu” ucap bunda dengan nada lembut.
“Kita harus cepat berbicara dengan Tuan Hirawan mengenai ini, yang aku tahu, undangan mulai disebar tadi pagi” ucapku.
“Ayo kita pulang!” ajak bunda.
**
Kediaman Keluarga Hirawan.
Aku, bunda dan Tamara menghadap Hirawan di ruangan kerjanya.
“Ada apa ini? Zea, bagaimana persiapan pernikahannya?” tanya Hirawan.
“Bos, ada yang ingin Tamara sampaikan” jawabku.
“Bukankah diskusi kita sudah selesai tadi malam?” desis Hirawan.
“Aku tidak mau menikah Ayah, aku akan ikut Ibu saja ke Belanda” Tamara berbicara dengan nada ketakutan.
Kilat kemarahan terlihat jelas di mata Hirawan.
“Sayang, bisakah kau berfikir tentang kebahagiaan putri kita satu satunya?” lirih bunda sebelum Hirawan mengeluarkan amarahnya.
Hatiku terasa pilu saat bunda mengucapkan kata putri kita satu satunya.
“Apa kau mengajarkan putri kesayanganmu itu untuk kabur dan tidak bertanggung jawab?” desis Hirawan.
“Tamara bilang, dia tidak mencintai Ricky, pernikahan seperti apa nanti yang akan dia jalani?” ucap bunda mantap.
“Jika dia tidak mencintai Ricky, mengapa dia tidur dengannya?” ucap Hirawan setengah berteriak.
“Aku dijebak, Ayah!” cicit Tamara.
“Kau jangan terlalu memanjakannya Maharani! aku bukannya tidak menyayangi Tamara, aku sedang mengajarkannya untuk bertanggung jawab atas segala perbuatannya!” ucap Hirawan menormalkan kembali nada bicaranya.
“Apa tidak ada jalan lain selain pernikahan?” tanya bunda .
“Kau sangat menyayangi putrimu itu bukan? tapi apa kau tidak memikirkan nasib putri putri karyawan Hirawan Grup? jika Tamara tidak menikah dengan Ricky, saham Hirawan akan semakin merosot, dan kebangkrutan Hirawan Grup tinggal menghitung hari, jika kita bangkrut, aku masih bisa bertahan dengan bisnis lainnya, tapi apa yang terjadi dengan karyawan karyawan yang akan terkena PHK?” ucap Hirawan.
Bunda bungkam mendengar ucapan Hirawan.
“Apa kau mau gara gara putrimu yang tidak bertanggung jawab itu nasib semua karyawan Hirawan Grup berakhir dengan PHK? tolong jangan ajarkan Tamara untuk lari dari tanggung jawab” lirih Hirawan.
Tubuh Tamara melorot kebawah, dia ambruk menangis di lantai. Dia tahu Ibunya adalah wanita berhati lembut, dia tidak mungkin mengorbankan nasib seluruh karyawan Hirawan Grup demi keegoisan dan kebodohan putrinya.
“Zea, siapkan pernikahannya, jika dia tidak mau memilih gaun pengantin, pilihkan saja sesuai seleramu” perintah Hirawan.
Aku menatap bunda, lalu dia mengangguk.
“Zea, aku akan menemanimu menyiapkan pernikahan Tamara” ucap bunda.
Aku kembali ke kantor WO Cinta Abadi bersama bunda, sedangkan Tamara beristirahat di kamarnya.
Aku agak canggung saat bunda memintaku memakai gaun pengantin. Dengan terpaksa aku memakai gaun pengantin dengan potongan rok sangat lebar, aku dibantu dua orang karyawan WO Cinta Abadi untuk memakainya, sungguh gaun yang merepotkan, batinku.
“Kau sangat cantik, Zea” puji bunda saat melihatku memakai gaun pengantin.
Hatiku bergemuruh mendengar pujian dari bunda , semoga saja di hari pernikahanku kelak, bunda menemaniku memilih gaun pengantin seperti sekarang, doaku dalam hati.
“Zea, apa Ricky mencintai Tamara?” tanya bunda saat kami memilih dekorasi dan makanan.
“Setahuku, Ricky jatuh cinta pada Tamara sudah sejak lama” jawabku.
“Syukurlah” lirih bunda.
Bunda memilihkanku sebuah gaun berwarna peach, beliau memintaku memakainya saat pernikahan Tamara, aku menerimanya dengan senang hati.
**
Aku kembali ke apartemenku sekitar jam 10 malam diantar supir keluarga Hirawan.
“Astagfirullah! Inge lo ngagetin gue aja!” semburku saat melihat Inge sedang duduk termenung di dalam apartemenku.
Inge hanya melirikku dengan pandangan sedih.
“Ada apa?” tanyaku sambil membelai rambutnya.
“Nyokap ama bokap udah fix mau cerai, mereka udah daftar ke pengadilan” Inge memeluk tubuhku erat.
“Yang sabar ya Nge, lo kudu kuat!” ucapku menenangkan Inge.
“Gue nginep di apartemen lo ya” pinta Inge.
Aku hanya menganggukkan kepalaku.
“Gimana persiapan pernikahan Tamara?” tanya Inge saat berbaring di sampingku.
“Udah beres lah, tinggal perintilannya aja” jawabku.
“Semoga setelah Tamara menikah, beban kerja lo berkurang” lirih Inge.
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Inge.